01-1 Dalil Kewajiban Wudhu’ – Bidayat-ul-Mujtahid

Bidāyat-ul-Mujtahid
Oleh: Ibnu Rusyd

Penerjemah: Beni Sarbeni, ‘Abdul Hadi, Zuhdi.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Buku 1

Rangkaian Pos: 001 & 002 Pembahasan Tentang Bersuci Dari Hadats & Kitab Wudhu' - Bidayat-ul-Mujtahid

كِتَابُ الطَّهَارَةِ مِنَ الْحَدَثِ

PEMBAHASAN TENTANG BERSUCI DARI HADATS

 

Kaum muslimin sepakat bahwa bersuci secara hukum ada dua macam: bersuci dari hadats dan bersuci dari najis.

Mereka pun sepakat bahwa bersuci dari hadats terbagi tiga bagian: wudhū’, mandi junub, dan tayammum sebagai pengganti keduanya, dalilnya adalah ayat tentang wudhū’ yang mencakup semuanya, sekarang kita mulai dengan wudhū’.

 

كِتَابُ الْوُضُوْءِ

KITAB WUDHŪ’

 

Masalah ini terangkum dalam lima bab:

 

Bab I

Dalil Kewajiban Wudhū’

 

Dalil diwajibkannya wudhū’ adalah al-Qur’ān, Sunnah dan Ijma‘.

Al-Qur’ān:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَ أَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.” (QS. al-Mā’idah [5]: 6).

Kaum muslim sepakat bahwa menunaikan seruan ini adalah wajib hukumnya bagi setiap orang yang diwajibkan shalat jika sudah masuk waktunya.

Adapun Sunnah: Sabda Rasūlullāh s.a.w.:

لَا يَقْبَلُ اللهُ صَلَاةً بِغَيْرِ طَهُوْرٍ وَ لَا صَدَقَةً مِنْ غُلُوْلٍ.

Allah tidak akan menerima shalat tanpa bersuci, dan sedekah dari hasil kianat.” (11)

Demikian pula sabda berliau:

لَا يَقْبَلُ اللهُ صَلَاةَ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ.

Allah tidak akan menerima shalat orang yang berhadats sehingga dia berwudhū’.” (22)

Adapun Ijma‘: Tidak dinukil dari salah seorang muslim pun adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini, seandainya ada perbedaan pendapat maka akan dinukil, karena kebiasaan menurut hal itu.

Lalu kepada siapakah wudhū’ itu diwajibkan, sesungguhnya ia diwajibkan kepada orang baligh yang berakal, hal ini telah ditetapkan dengan Sunnah dan Ijma‘.

Sunnah, tepatnya adalah sabda Rasūlullāh s.a.w.:

Qalam diangkat dari tiga orang,” lalu beliau menyebutkan di antaranya: “Anak kecil hingga ia bermimpi (jima‘) dan orang gila hingga ia sadar.” (33)

Adapun Ijma‘, sesungguhnya tidak dinukil termasuk perbedaan pendapat dalam masalah ini.

Ulama fikih berbeda pendapat, apakah Islam di antara syarat kewajibannya? Sebenarnya ini masalah yang tidak banyak dibutuhkan dalam fikih, karena berhubungan dengan hukum akhirat.

Adapun kapan diwajibkan? Wudhū’ diwajibkan jika hendak melakukan shalat, atau seorang hendak melakukan sesuatu di mana wudhū’ merupakan salah satu syaratnya, walaupun tidak berkaitan dengan waktu.

Kewajibannya jika masuk waktu shalat bagi orang yang berhadats adalah sesuatu yang tidak diperbebatkan, berlandaskan kepada firman Allah s.w.t.:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat……” (QS. al-Mā’idah [5]: 6).

Dengan demikian Allah mewajibkan wudhū’ jika hendak melakukan shalat, dan di antara syarat shalat adalah masuknya waktu shalat.

Lalu dalil kewajibannya jika hendak melakukan berbagai perbuatan yang salah satu syaratnya adalah wudhū’ akan dibahas nanti jika menyebutkan berbagai amalan-amalan tersebut, dan perbedaan pendapat di kalangan ulama tentangnya.

Catatan:


  1. 1). Sanadnya shaḥīḥ. HR. Abū Dāūd (59), an-Nisā’ī (1/87, 88) (5/56), Ibnu Mājah (271), Aḥmad (5/74, 75), ath-Thayālisī (1319), Abū ‘Awānah (1/235), dan al-Baihaqī (1/42, 23) semuanya dari hadits Usāmah bin ‘Umair, dalam masalah ini pun ada hadits dari Anas yang diriwayatkan oleh Ibnu Mājah (273), Abū ‘Awānah (1/235), dan dari Ibnu ‘Umar yang diriwayatkan oleh Muslim (224), at-Tirmidzī (1), Aḥmad (2/20, 39, 51), juga dari Abū Hurairah yang diriwayatkan oleh Abū ‘Awānah (1/236). 
  2. 2). Shaḥīḥ. HR. al-Bukhārī (135, 6954), Aḥmad (2/308), al-Baihaqī (1/171), semuanya dari hadits Abū Hurairah, sementara lafazh al-Bukhārī adalah: لَا تُقْبَلُ صَلَاةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ.Tidak diterima shalat orang yang berhadats sehingga dia berwudhū’.” 
  3. 3). Shaḥīḥ. HR. Abū Dāūd (43980), an-Nisā’ī (1/87, 88) (5/56), Ibnu Mājah (271), Aḥmad (5/74, 75), ad-Dārimī (2/171), Ibn-ul-Jarūd (148) dan disetujui oleh adz-Dzahabī, yang semuanya diriwayatkan dari hadits ‘Ā’isyah, dalam masalah ini pun ada hadits ‘Alī yang diriwayatkan oleh Abū Dāūd (4401, 4402, 4403). At-Tirmidzī (1423), Aḥmad (1/154, 158), ath-Thayālisī (90) dan dinilai shaḥīḥ oleh al-Ḥākim (1/258), (2/59). 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *