9. تَنَوَّعَتْ أَجْنَاسُ الْأَعْمَالِ لَتَنَوُّعِ وَارِدَاتِ الْأَحْوَالِ
Jenis ‘amal itu bermacam-macam karena asupan hati juga beragam.
– Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī –
Yang dimaksud asupan hati di sini adalah makrifat Tuhan dan rahasia ruhani yang masuk ke dalam relung hati. Asupan hati ini akan mendorong munculnya sifat-sifat dan aḥwāl (keadaan) terpuji. Ada yang membuahkan karisma. Ada yang mendorong kelembutan. Ada pula yang memupuk kedermawanan.
Kerapkali kau dapati sebagian murīd yang rajin shalat, ada pula yang rajin puasa, dan sebagainya. Sebabnya adalah perbedaan asupan Ilahi yang mengakibatkan perbedaan kecenderungan seseorang. Setiap orang harus ber‘amal sesuai dengan kecenderungannya jika ia belum mendapat bimbingan dari gurunya. Sebaliknya, apabila ia telah mendapat bimbingan guru, ia tidak boleh ber‘amal, kecuali dengan izin sang guru.
Kesimpulannya, beragamanya wirid dan zikir yang dilakukan para murīd adalah akibat dari beragamnya asupan yang masuk ke hati mereka. Setiap murīd harus ber‘amal sesuai dengan asupan hatinya atau sesuai bimbingan guru. Ia tidak boleh ber‘amal berdasarkan asupan hati orang lain. Orang lain pun tidak boleh menentangnya hanya karena tidak melakukan apa yang dilakukannya.
10. اَلْأَعْمَالُ صُوَرٌ قَائِمَةٌ وَ أَرْوَاحُهَا وُجُوْدُ سِرِّ الْإِخْلَاصِ فِيْهَا
‘Amal itu seumpama jasad, sedangkan keikhlasan adalah ruhnya.
– Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī –
‘Amal itu ibarat jasad yang tak bernyawa, sedangkan keikhlasan laksana ruh yang menjadikan jasad itu hidup. Keikhlasan setiap orang berbeda-beda. Keikhlasan para ‘ābid (ahli ibadah) berbentuk bersihnya ‘amal mereka dari sifat riyā’ yang nyata maupun yang tersamar dan dari niat yang didasari hawa nafsu. Mereka beramal karena Allah, mengharap pahala-Nya, serta ingin selamat dari adzab dan siksa-Nya. Namun demikian, mereka menisbatkan ‘amal itu pada diri mereka dan menjadikannya sebagai tempat bergantung untuk meraih apa yang mereka inginkan.
Sementara itu, bentuk keikhlasan para muḥibbīn (pecinta Allah) tergambar dalam niat ‘amal mereka yang ditujukan sebagai wujud pengagungan dan penghormatan mereka terhadap Allah; yang memang layak mendapatkannya. Dalam ber‘amal, mereka tidak bertujuan mendapat pahala atau takut dari siksa-Nya.
Oleh sebab itu, Rābi‘ah al-Adawiyyah berkata: “Aku tidak menyembah-Mu karena takut neraka-Mu atau berharap surga-Mu.”
Sementara itu, keikhlasan para ‘ārif berbentuk kesaksian dan pandangan mereka bahwa Allah semata yang menggerakkan dan mendiamkan mereka. Mereka tidak merasa memiliki daya dan upaya dalam hal itu. Oleh karena itu, mereka tidak ber‘amal, kecuali dengan bantuan Allah, bukan dengan daya dan kekuatan mereka. Tingkat keikhlasan para ‘ārif ini merupakan tingkat keikhlasan tertinggi.
Kemudian, dalam hikmah berikut, Ibnu ‘Athā’illāh memberi tips bagaimana cara meraih dan menumbuhkan keikhlasan.