(Pasal): Ketahuilah, bahwa pada hakikatnya jalan yang kita bahas ini, tidaklah seperti jauh dekatnya perjalanan fisik yang dapat ditempuh seseorang dengan jalan kaki, kemudian orang bisa menempuhnya menurut kuat tidaknya tubuh. Tetapi, jalan ini adalah jalan rohani yang ditempuh dengan hati, pikiran menurut i‘tiqād dan ketajaman penglihatan.
Pangkalnya adalah turunnya nur dari langit dan penglihatan yang bersifat ketuhanan yang masuk di hati seorang hamba, lalu ia merenungkannya, sehingga ia dapat melihat urusan dunia dan akhirat dengan sebenarnya.
Kemudian, untuk mendapatkan nur ini, kadang-kadang seorang hamba mencarinya selama seratus tahun, tetapi tidak dapat menemukan dan tidak didapat pula pengaruhnya. Hal ini karena salah dalam pencariannya, gegabah dalam menekuni dan tidak mengetahui jalannya. Ada juga yang mendapatkan nur ini setelah berusaha selama lima puluh tahun, sepuluh tahun, sehari, satu jam, dan ada pula yang hanya dalam waktu sekejap, atas pertolongan Tuhan Yang Maha Perkasa.
Memang Dia-lah Allah yang memberi hidayah, tetapi hamba diperintahkan bersungguh-sungguh untuk berusaha memperolehnya. Hamba wajib melaksanakan apa yang diperintahkan Allah, sedangkan perkara itu ada yang dibagikan dan ada yang ditentukan. Allah itu adil hukum-Nya, melakukan apa saja yang dia kehendaki dan menetapkan apa saja yang Dia kehendaki.
Jika anda bertanya: “Betapa besarnya kekhawatiran persoalan ini, dan betapa berat perkaranya?” Aku katakan, demi umurku, perkataan anda itu benar, bahwa perkaranya memang sangat berat dan besar pula kekhawatirannya.”
Oleh sebab itu, Allah berfirman:
لَقَدْ خَلَقْنَا الإِنْسَانَ فِيْ كَبَدٍ
Artinya:
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (al-Balad: 4).
Dan Allah s.w.t. juga berfirman:
إِنَّا عَرَضْنَا الأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَ الأَرْضِ وَ الْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَ أَشْفَقْنَ مِنْهَا وَ حَمَلَهَا الإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُوْمًا جَهُوْلاً
Artinya:
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh.” (al-Aḥzāb: 72).
Karena itu pula Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
لَوْ عَلِمْتُمْ مَا أَعْلَمُ لَبَكَيْتُمْ كَثِيْرًا وَ لَضَحِكْتُمْ قَلِيْلاً
Artinya:
“Seandainya anda mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya anda akan banyak menangis dan sedikit tertawa.”
Dan diriwayatkan bahwa ada penyeru yang berseru di langit: “Kalau saja ketika mereka diciptakan mengetahui mengapa mereka diciptakan. Kalau saja ketika mereka telah mengetahui mau meng-‘amal-kan apa yang mereka ketahui itu.”
Ulama salaf meriwayatkan dari Abū Bakar ash-Shiddīq r.a., beliau berkata: “Ingin rasanya aku menjadi dedaunan hijau yang dimakan oleh hewan.” Perkataan ini lantaran beliau takut siksa Allah.
Diriwayatkan dari ‘Umar bin Khaththāb r.a., bahwa ketika beliau mendengar seseorang membaca ayat:
هَلْ أَتى عَلَى الإِنْسَانِ حِيْنٌ مِّنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْئًا مَّذْكُوْرًا
Artinya:
“Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?” (al-Insān: 1).
‘Umar r.a., menyahut: “Andai saja masa itu segera usai.”
Al-Qatādah al-Jarrah berkata: “Ingin rasanya aku menjadi seekor domba saja bagi keluargaku. Lalu dagingku dibagikan dan kuahku dicicipi. Kalau saja aku tidak diciptakan menjadi manusia.”
Dari Wahb bin Munabbih, beliau berkata: “Anak cucu Ādam diciptakan dalam keadaan dungu. Seandainya tidak ada kedunguannya, maka hidupnya tidak akan bisa merasa enak.”
Dari Fudhail bin ‘Iyādh, beliau berkata: “Aku tidak iri kepada malaikat yang dekat dengan Allah dan kepada nabi yang diutus, juga terhadap hamba saleh. Apakah mereka itu tidak akan dicela pada hari kiamat kelak? Tetapi aku iri hati kepada orang yang tidak diciptakan Allah.”
Diriwayatkan dari ‘Athā’ as-Sulamī, beliau berkata: “Seandainya ada api dinyalakan, lalu dikatakan: “Barang siapa mencampakkan dirinya ke dalam api, maka ia tidak akan menjadi apa-apa, tentu aku khawatir kalau-kalau aku mati sebelum sampai pada api itu, karena kegembiraanku.”
Wahai manusia, jika demikian, betapa gawat dan dahsyat urusannya, peristiwa itu sungguh amat berat dan dahsyat lebih dahsyat dari apa yang ada dalam dugaan anda. Tetapi, urusan ini merupakan suatu perkara yang sudah ada ketetapannya dalam ilmu Allah yang qadim dan suatu peraturan yang diberlakukan oleh Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dengan demikian, maka tidak ada jalan lain bagi seorang hamba, kecuali bersungguh-sungguh dalam beribadah, berpegang kepada tali Allah dan senantiasa merendahkan diri kepada-Nya, dengan berharap semoga kiranya Allah berkenan mengasihinya, sehingga ia bisa selamat lantaran mendapat karunia Allah.
Jika anda bertanya: “Mengapa urusannya bisa begitu dan untuk apa?”
Pertanyaan semacam ini, menunjukkan atas kelalaian besar anda. Semestinya anda katakan: “Semua itu, berkaitan dengan apa yang dicari oleh hamba yang lemah. Tahukah anda apa yang dicari hamba yang lemah?”
Secara garis besar, sesungguhnya yang dicari hamba yang lemah itu paling tidak ada dua hal, yaitu:
1. Menginginkan keselamatan dunia akhirat.
2. Mendapatkan kerajaan di dunia dan akhirat.
Adapun mengenai selamat di dunia, anda harus mengetahui bahwa dunia dengan segala godaannya, penyakit dan bahayanya tidaklah dapat dihindari oleh para malaikat yang dekat dengan Allah sekalipun. Sebagaimana pernah kita dengar cerita tentang Hārūt dan Mārūt. Sehingga diriwayatkan, ketika malaikat mengusung roh seorang hamba ke langit, maka malaikat langit merasa heran dan berkata: “Bagaimana manusia ini bisa selamat dari dunia, negeri kebinasaan, sedangkan malaikat yang merupakan makhluk pilihan saja mengalami kebinasaan di sana?”
Sementara akhirat, situasi kedahsyatannya sungguh sangat hebat. Sehingga para nabi dan rasul pun berteriak: “Nafsī, nafsī (selamatkan diriku, selamatkan diriku), karena kedahsyatan situasinya. Tidak ada yang ku mohon kepada-Mu wahai Tuhanku, kecuali keselamatan diriku.” Hingga terdapat sebuah riwayat, seandainya ada seorang melakukan ‘amal tujuh puluh orang nabi, pasti ia menyangka bahwa dirinya tidak akan selamat.
Oleh sebab itu, barang siapa menginginkan selamat dari fitnah dunia, maka hendaklah ia keluar dari dunia ini dengan berbekal Islam, maka ia akan selamat dan tidak terkena bencana. Dan barang siapa yang menginginkan selamat dari kedahsyatan situasi di akhirat, maka hendaklah ia masuk surga dengan selamat. Apakah hal semacam itu mudah?
Sedangkan mengenai kerajaan dan kemuliaan yang dikaruniakan Allah kepada hamba adalah lestarinya kekuasaan dan pemenuhan kehendak hamba. Hal semacam itu, di dunia hanya diberikan kepada para wali Allah dan orang-orang pilihan yang ridha’ kepada qadhā’ Allah. Semua daratan dan lautan bagi mereka hanyalah setapak kaki. Semua batu dan tanah keras bagi mereka, sewaktu-waktu bisa menjadi emas atau perak. Semua jin dan manusia, burung dan binatang lainnya dituduhkan kepada mereka. Apa yang mereka inginkan tentu terwujud.
Karenanya, mereka tidak menginginkan apapun kecuali yang dikehendaki Allah, sedangkan apa yang dikehendaki Allah pasti terwujud. Mereka tidak pernah takut kepada semua makhluk. Tetapi justru sebaliknya, semua makhluk segan kepadanya. Mereka tidak berbakti kepada siapapun, kecuali kepada Allah. Selain Allah, semuanya berkhidmat kepadanya.
Itulah kerajaan para wali selama di dunia. Sementara kerajaan di akhirat, sebagaimana firman Allah s.w.t.:
وَ إِذَا رَأَيْتَ ثَمَّ رَأَيْتَ نَعِيْمًا وَ مُلْكًا كَبِيْرًا
Artinya:
“Dan apabila kamu melihat di sana (surga), niscaya kamu akan melihat berbagai macam kenikmatan dan kerajaan yang besar.” (al-Insān: 20).
Alangkah agung apa yang difirmankan oleh Dzāt yang menguasai keagungan, bahwa kerajaan akhirat adalah kerajaan yang besar. Dan anda menjadi tahu, bahwa dunia seisinya ini sangatlah sedikit. Seandainya apa yang ada di dunia ini tetap abadi sejak permulaan hingga akhirnya, maka tetap saja sedikit.
Masing-masing di antara kita, tentu saja bagiannya juga sedikit sekali. Tetapi ada juga orang yang rela berkurban harta benda, bahkan jiwa demi mendapatkannya yang sedikit itu. Sehingga suatu saat memperoleh sedikit itu, sementara apa yang didapatkannya itu tidaklah kekal.
Jika ia berhasil mendapatkan yang sedikit itu, maka ia dapat beralasan, bahkan merasa beruntung dan tidak menganggap banyak kerugian jiwa dan harta yang ia kurbankan. Sebagaimana diceritakan dari Imra’-ul-Qais dalam syairnya berikut:
بَكَى صَاحِبِيْ لَمَّا رَأَى الدِّرْبَ دُوْنَهُ
وَ أَيْقَنَ أَنَّا لاَحِقَانِ بِقَيْصَرَا
فَقُلْتُ لَهُ لاَ تَبْكِ عَبْنَكَ إِنَّمَا
نُحَاوِلُ مَلَكًا أَوْ نَمُوْتُ فَنُعْذَرَا
“Temanku menangis
ketika melihat jalan didekatnya
mereka meyakinkan bahwa kami berdua pasti bertemu Kaisar.
Aku lalu berkata padanya,
janganlah kamu menangis!
Kita berusaha agar memperoleh kerajaan
atau kita mati,
lalu dimaafkan.”
Bagaimanakah keadaan orang yang mencari kerajaan besar di negeri keabadian yang penuh kenikmatan yang kekal? Apakah ia menganggap banyak shalatnya yang hanya dua rakaat karena Allah atau sedekah dua dirham, atau tidak tidur dua malam? Tidak, bahkan seandainya orang itu memiliki sejuta jiwa, sejuta roh, dan sejuta umur, lalu setiap umur sama dengan umur dunia atau lebih banyak dan lebih besar. Selanjutnya, ia menyerahkan semuanya guna mendapatkan nikmat yang besar itu, tentu semua itu masih terhitung amat sedikit sekali. Dan seandainya setelah menyerahkan semuanya, ia berhasil mendapatkan apa yang dicari, maka itu merupakan keuntungan besar. Dan keberhasilan itu semata-mata karena karunia Allah Yang Maha Memberi. Karena itu, bangunlah dari keterlelapan kelalaian tidur anda, wahai orang-orang yang miskin.