007-2 Tahapan Puji & Syukur | Minhaj-ul-Abidin

Dari Buku:

Minhajul ‘Abidin
Oleh: Imam al-Ghazali

Penerjemah: Moh. Syamsi Hasan
Penerbit: Penerbit Amalia Surabaya

Rangkaian Pos: 007 Tahapan Puji & Syukur | Minhaj-ul-Abidin

Jika ditanyakan: “Apakah yang dimaksud dengan puji dan syukur dan maknanya serta bagaimana hukumnya?”

Ketahuilah, bahwa para ulama membedakan antara puji dan syukur. Mereka berpendapat bahwa puji itu dapat berupa tasbih dan tahlil. Maka, puji itu termasuk amal ibadah lahir. Sedangkan syukur adalah sebangsa kesabaran dan kepasrahan. Maka syukur termasuk amal ibadah batin. Sebab, syukur itu bandingannya adalah kufur, sedangkan puji bandingannya caci maki. Puji (al-ḥamdu) maknanya lebih umum dan lebih banyak bentuknya daripada syukur (asy-syukru). Sementara syukur lebih sedikit dan lebih khusus.

Allah s.w.t. berfirman:

وَ قَلِيْلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُوْرُ

Artinya:

Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih.” (Saba’: 13).

Dengan demikian, jelaslah perbedaan makna antara keduanya. Kemudian, yang dinamakan puji ialah pujian bagus yang disertai dengan tindakan yang baik pula. Penjelasan definisi ini, sesuai dengan pendapat guruku.

Sedangkan mengenai makna syukur terdapat banyak perkataan di kalangan ulama. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās r.a., beliau berkata: “Syukur adalah mendayafungsikan segenap anggota badan untuk taat dan bakti kepada Dzāt yang menguasai semua makhluk, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.”

Sebagian guruku berpendapat sama dengan pendapat Ibnu ‘Abbās. Guruku berkata: “Syukur adalah melakukan taat secara lahir dan batin, serta menjauhi maksiat lahir dan batin.” Ulama lain berkata: “Syukur adalah menjaga diri dari perbuatan maksiat.”

Anda harus menjaga hati, lisan dan semua anggota tubuh, sehingga anda tidak berbuat maksiat apapun, kepada Allah.

Perbedaan pendapat yang terakhir ini dengan pendapat tersebut di atas adalah penetapan penjagaan sebagai suatu arti yang tetap, lebih dari sekedar menjauhi maksiat. Maksud menjauhi maksiat adalah tidak berbuat maksiat ketika terdapat perkara yang menarik untuk berbuat maksiat. Dan keadaan menjauhi maksiat bukanlah suatu arti yang bisa menyebabkan orang disebut sebagai orang yang sibuk menjauhi dan menjaga diri dari kekufuran.

Guru berkata: “Syukur adalah mengagungkan Dzāt yang memberi nikmat, untuk mengimbangi nikmat yang diterimanya, sampai pada batas yang membuatnya tidak dianggap mengingkari nikmat.”

Seandainya anda berkata: Pengagungan orang yang diberi kebaikan terhadap yang memberi kebaikan merupakan sebuah kelaziman, agar kiranya yang demikian itu sebagai pembenaran atas kebaikan Allah terhadap seorang hamba. Maka perbuatan yang demikian itu merupakan suatu kebaikan. Dalam masalah ini telah aku jelaskan secara terperinci di dalam kitab Iḥyā’ ‘Ulūm-id-dīn dan kitab yang lain.

Walhasil, ungkapan syukur dari seorang hamba adalah sebuah tindakan pengagungan yang mencegah terjadinya sebutan: “mengingkari Dzāt yang memberi kebaikan kepadanya.” Ungkapan syukur itu, dapat dilakukan dengan menyebut-nyebut kebaikan yang memberi nikmat dan kebaikan prilaku orang yang bersyukur. Sekaligus menunjukkan buruknya orang yang melakukan pengingkaran terhadap nikmat.

Aku katakan, setidaknya yang menjadi hak pemberi nikmat dengan nikmatnya itu ialah, agar kenikmatan yang diberikan itu tidak dipergunakan untuk melakukan kemaksiatan. Alangkah buruknya orang yang menjadikan nikmat yang telah diberikan kepadanya, sebagai alat untuk mendurhakai si pemberi nikmat.

Dengan demikian, pada hakikatnya kewajiban bersyukur yang sebenarnya bagi seorang hamba adalah melakukan pengagungan kepada Allah, di mana pengagungan itu dapat menghalang-halangi antara dia dengan maksiat, sesuai dengan ingatannya kepada nikmat Allah itu. Jika hal ini telah dilakukan, berarti dia telah melakukan pokok bersyukur. Kemudian mengimbangi pengagungan itu dengan rajin taat dan bersungguh-sungguh dalam berkhidmat kepada Allah. Karena, rajin dan taat berkhidmat kepada Allah termasuk di antara hak nikmat. Maka, menjaga diri dari kemaksiatan adalah menjadi sebuah keharusan bagi setiap hamba.

Jika anda bertanya: “Apakah materi syukur itu?” Ketahuilah, bahwa materi syukur itu adalah segala kenikmatan, baik kenikmatan keagamaan maupun kenikmatan dunia.

Adapun berbagai macam penderitaan dan musibah di dunia, baik yang menimpa pada diri, keluarga atau harta, dalam persoalan ini, apakah seorang hamba wajib mensyukurinya atau tidak? Para ulama telah membicarakannya. Sebagian ulama ada yang berkata: “Hamba tidak wajib bersyukur atas terjadinya penderitaan dan musibah dari sisi penderitaan dan musibah itu sendiri, tetapi ia hanya wajib menghadapinya dengan sabar dan tabah.”

Karena, syukur hanyalah berkaitan dengan kenikmatan, bukan lainnya. Selanjutnya para ulama berkata: “Di dalam setiap penderitaan, pasti terdapat nikmat di dekatnya. Karena itu, hamba wajib bersyukur terhadap nikmat yang menyertai penderitaan itu, bukannya mensyukuri penderitaan itu sendiri.”

Nikmat itu adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu ‘Umar r.a.: “Tidaklah aku dicoba dengan suatu cobaan, melainkan aku rasakan di dalamnya terkandung empat macam kenikmatan, yaitu:

1. Musibah itu tidak berkenaan dengan agama.

2. Musibah itu bukanlah yang paling berat.

3. Tidak dihalangi untuk mendapatkan keridhaan-Nya.

4. Nikmat mengharapkan memperoleh pahala.”

Ada pula yang mengatakan: “Di antara nikmat yang terkandung dalam musibah, yaitu bahwa musibah itu pasti berakhir, tidak akan terjadi selamanya. Lagi pula musibah itu datangnya dari Allah, bukan dari selain-Nya. Seandainya musibah itu disebabkan oleh makhluk, maka musibah itu bermanfaat untuk anda dan madharat atas makhluk tersebut, bukan sebaliknya. Dengan demikian, hamba wajib bersyukur atas nikmat-nikmat yang menyertai penderitaan.”

Ulama lain mengatakan, dan pendapat inilah yang lebih utama menurut guruku: “Penderitakan dunia itu termasuk perkara yang wajib disyukuri oleh hamba. Sebab semuanya akan mendatangkan manfaat yang besar, pahala berlimpah dan akan memperoleh ganti yang lebih baik dikemudian hari. Kebaikan yang menyertainya kemudian, jika dibandingkan dengan penderitaan-penderitaan itu sangatlah tidak imbang, kenikmatan dan kebaikan terjadi pasca musibah jauh lebih besar daripada musibah itu sendiri.”

Sebagai perumpamaan atas hal tersebut ialah seperti orang yang memberi anda minum jamu yang tidak enak dan pahit rasanya, dan tentunya anda tidak menyukainya, karena penyakit yang anda derita cukup kronis. Atau anda harus dicanduk jamu karena adanya penyakit yang parah. Jamu tersebut menyebabkan kesembuhan dan kesehatan tubuh, sehingga bisa kembali bekerja dengan nyaman. Jadi, sakit sebentar, karena pahitnya jamu atau luka bekam, namun sebenarnya merupakan nikmat yang besar dan pemberian yang benar-benar ada manfaatnya, meskipun melihat bentuk lahirnya, anda tidak suka dan tidak sesuai selera nafsu. Tetapi pada akhirnya, setelah merasakan kenikmatan yang timbul setelahnya, tentu anda akan memuji si pemberi jamu atau si tukang bekam, bahkan anda akan membalas budi baiknya semampu anda. Demikian pula halnya dengan penderitaan-penderitaan yang anda hadapi.

Tidakkah anda tahu bagaimana Nabi Muḥammad s.a.w. juga memuji dan bersyukur kepada Allah dalam menghadapi penderitaan, sebagaimana beliau memuji dan bersyukur ketika menerima nikmat dari Allah. Nabi s.a.w. bersabda:

الْحَمْدُ للهِ عَلَى مَا سَاءَ وَ سَرَّ

Artinya:

Segala puji bagi Allah, atas apa yang menyusahkan dan yang menyenangkan.

Tidakkah anda juga telah mengetahui firman Allah s.w.t.:

فَعَسى أَنْ تَكْرَهُوْا شَيْئًا وَ يَجْعَلَ اللهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا

Artinya:

Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (an-Nisā’: 19).

Segala yang dikatakan baik oleh Allah adalah lebih baik daripada apa yang kamu bayangkan.

Sebagai penguat atas pernyataan ini, adalah nikmat itu bukanlah sesuatu yang dipandang baik dan menyenangkan oleh nafsu dan selera syahwat. Tetapi nikmat itu adalah setiap perkara yang dapat menambah keluhuran derajat. Oleh sebab itu, dinamakan nikmat dalam arti tambahan kebaikan dan derajat.

Jika penderitaan merupakan penyebab bertambahnya kemuliaan dan keluhuran derajat seseorang, maka penderitaan itu pada hakikatnya penderitaan dan musibah. Pahamilah hal ini dengan baik, semoga memperoleh petunjuk Allah.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *