Ditundanya Pemberian Allah Jangan Melemahkan Semangatmu Untuk Meminta – Syarah al-Hikam – asy-Syarqawi

Al-Ḥikam
Kitab Tasawuf Sepanjang Masa
Judul Asli: Syarḥ-ul-Ḥikami Ibni ‘Athā’illāh-il-Iskandarī

Pensyarah: Syaikh ‘Abdullāh asy-Syarqawī
Penerjemah: Iman Firdaus, Lc.
Diterbitkan oleh: Turos Pustaka

Ditundanya Pemberian Allah Jangan Melemahkan Semangatmu Untuk Meminta.

 

6. لَا يَكُنْ تَأَخُّرُ أَمَدِ الْعَطَاءِ مَعَ الْإِلْحَاحِ فِي الدُّعَاءِ مُوْجِبًا لِيَأْسِكَ فَهُوَ ضَمِنَ لَكَ الْإِجَابَةَ فِيْمَا يَخْتَارُهُ لَكَ لَا فِيْمَا تَخْتَارُ لِنَفْسِكَ وَ فِي الْوَقْتِ الَّذِيْ يُرِيْدُ لَا فِي الْوَقْتِ الَّذِيْ تُرِيْدُ

Jangan sampai tertundanya karunia Tuhan kepadamu, setelah kau mengulang-ulang doamu, membuatmu putus asa. Karena Dia menjamin pengabulan doa sesuai pilihan-Nya, bukan sesuai pilihanmu; pada waktu yang diinginkan-Nya, bukan pada waktu yang kauinginkan.

– Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī –

Allah s.w.t. menegaskan bahwa Dia akan mengabulkan semua doa. Dia berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” (al-Mu’min [40]: 60).

Doa yang pengabulannya ditunda, mungkin, lebih baik bagi seorang murīd daripada doa yang pengabulannya disegerakan. Karena bisa jadi, penundaan doa itu ditujukan agar ia semakin bersungguh-sungguh dalam beribadah dan semakin merasa takut kepada Allah. Dalam situasi ini, biasanya setan akan datang dan membisikinya: “Jika benar tekadmu kuat, Tuhanmu pasti sudah mengabulkan doamu, menghilangkan sifat-sifat kemanusiaanmu yang buruk, dan mewujudkan segala keinginanmu.” Sehingga sang murīd pun tidak sadar bahwa ditundanya pengabulan doa itu adalah lebih baik baginya.

Bisa jadi pula, ditundanya pengabulan doa tersebut, disebabkan oleh sifat buruk sang murīd yang terlalu banyak dan tidak bisa dihilangkan kecuali dalam waktu yang lama, sehingga mujāhadah dan riyādhah yang dilakukannya masih belum berpengaruh pada pengabulan doa-doanya.

Orang-orang ‘ārif mengumpamakan alam ini dengan tanah yang dipenuhi tumbuhan berduri. Kadang durinya besar-besar dan banyak sehingga sulit dilalui dan bisa melukai. Kadang durinya kecil-kecil, sedikit, dan mudah dihilangkan. Demikian pula sifat-sifat jiwa, ada yang sangat buruk dan berjumlah banyak sehingga untuk menghilangkannya membutuhkan waktu yang lama dan perjuangan yang panjang. Terkadang sifat-sifat itu tidak terlalu buruk dan hanya sedikit sehingga tidak perlu waktu lama dan perjuangan panjang untuk membersihkannya. Ketika tujuan utama seorang murīd adalah menghilangkan sifat buruk jiwa, meski itu memakan waktu yang lama dan berakhir di ujung usia, semua penderitaan dan perjuangannya selama masa itu tidaklah seberapa dibandingkan dengan tujuan utama itu.

 

  1. لَا يُشَكِّكَنَّكَ فِي الْوَعْدِ عَدَمُ وُقُوْعِ الْمَوْعُوْدِ وَ إِنْ تَعَيَّنَ زَمَنُهُ لِئَلَّا يَكُوْنَ ذلِكَ قَدْحًا فِيْ بَصِيْرَتِكَ وَ إِخْمَادًا لِنُوْرِ سَرِيْرَتِكَ

Janji yang tak dipenuhi Tuhanmu pada waktunya jangan sampai membuatmu ragu. Agar keraguan itu tidak menjadi perusak pandanganmu dan pemadam cahaya kalbumu.

– Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī –

Jika Allah menjanjikanmu melalui mimpi, ilham, atau melalui perantaraan malaikat-Nya bahwa pada masa tertentu kelak kau akan mendapatkan kemenangan atau kesejahteraan, lalu janji itu tak terwujud pada waktunya, hal itu jangan sampai membuatmu ragu akan kebenaran janji-Nya. Bisa jadi pemenuhan janji itu bergantung pada beberapa sebab dan syarat, dan hanya Allah yang tahu hikmah di balik itu.

Contohnya, yang terjadi pada beberapa wali Allah, yang dijanjikan bahwa kelak, di tahun sekian, mereka akan meraih kemuliaan. Namun kemudian, pada tahun yang dijanjikan itu, orang-orang justru banyak yang menghina dan menjatuhkan kehormatannya. Begitu juga yang terjadi pada Rasūlullāh di tahun Perjanjian Hudaibiyah. Saat itu, Rasūlullāh dijanjikan Allah mendapat kemenangan. Namun ternyata, kemenangan tersebut tidak terjadi pada tahun itu, tetapi di tahun sesudahnya.

Jika seorang murīd mendapat janji dari Tuhan Yang Maha Rahmat, tetapi janji itu belum terwujud, ia tidak boleh meragukan janji tersebut. Ia harus tahu diri dan tetap bersikap sopan terhadap Tuhannya serta tetap tenang menanti janji itu. Ia tidak patut sangsi dan goyah keyakinan menghadapinya. Barang siapa melakukan hal itu, berarti ia telah mengenal Tuhannya (‘ārif), berpandangan sehat, dan berhati terang. Jika tidak, berarti sebaliknya, ia tidak mengenal Tuhannya, memiliki pandangan yang rusak, dan berhati gelap.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *