Pengotor dan pembuat cacat ibadah yang kedua ialah sifat ‘ujub (membangga-banggakan ‘amal ibadah dengan sombong). Kewajiban menjauhi sifat ‘ujub ini, karena dua perkara, yaitu:
1. Karena ‘ujub dapat menghalangi petunjuk dan pengokohan dari Allah. Sebab, orang yang ‘ujub adalah orang yang dihinakan. Apabila seseorang tidak memperoleh petunjuk dan pengokohan dari Allah, maka dia akan segera mengalami kebinasaan. Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
ثَلاَثٌ مُهْلِكَاتُ شُحٌّ مُطَاعٌ وَ هَوًى مُتَّبَعٌ وَ إِعْجَابُ الْمَرْءِ
Artinya:
“Ada tiga perkara yang merusak, yaitu kikir yang ditaati, hawa nafsu yang dituruti, dan membanggakan diri sendiri dengan sombong.”
2. ‘Ujub akan merusak ‘amal saleh. Oleh sebab itu, Nabi ‘Īsā a.s. berkata: “Hai kaum Ḥawāriyīn, banyak lampu mati sebab ditiup angin. Dan betapa banyak ahli ibadah yang rusak ibadahnya sebab ‘ujub.”
Apabila yang menjadi maksud dan faedah orang hidup adalah ibadah, sedangkan ‘ujub itu menghalangi hamba hingga tidak bisa memperoleh kebaikan. Kalaupun dapat memperoleh kebaikan, maka hanyalah sedikit saja, sementara ‘ujub bisa merusak sampai tidak tersisa. Oleh sebab itu, sudah semestinya orang tersebut berhati-hati dan takut akan datangnya ‘ujub. Mohonlah penjagaan dari Allah serta pertolongan dan petunjuk-Nya.
Jika ditanyakan: “Apakah hakikat ‘ujub itu, apa pula arti dan pengaruhnya, serta apa pula hukumnya? Jelaskanlah semua itu kepada kami.”
Ketahuilah, bahwa yang dinamakan ‘ujub ialah mengagung-agungkan amal saleh yang telah dilakukan. Sedangkan mengenai pengertian ‘ujub secara terperinci menurut ulama kita, adalah penuturan seorang hamba terhadap hasil kemuliaan ‘amal saleh, dengan sesuatu yang tidak disandarkan kepada Allah, atau manusia atau nafsu. Mereka berkata: “‘Ujub itu terkadang menjurus pada ketiga-tiganya, yakni menyebut kemuliaan ‘amal itu dari tiga arah sekaligus, yaitu nafsu, makhluk dan sesuatu selain Allah. Kadang-kadang ‘ujub itu terjadi pada dua aspek, yaitu menuturkan ‘amal dengan dua sisi dari tiga hal tersebut. Dan kadang-kadang secara mandiri, yaitu dengan menyebutkan kemuliaan ‘amal dari satu arah saja.”
Lawan ‘ujub adalah menyadari akan karunia Allah, sadar bahwa ‘amal itu sebab pertolongan Allah. Dia yang memuliakan, mengagungkan pahala ‘amal dan melipatkannya. Kesadaran akan ingatan semacam ini adalah wajib, ketika menjadi dorongan akan timbulnya ‘ujub. Dan sunnah dalam semua wakut, ketika tidak terjadi hal-hal yang mendorong munculnya sikap ‘ujub.
Adapun mengenai pengaruh ‘ujub terhadap ‘amal, sebagian ulama berkata: “Orang yang ‘ujub itu menyebabkan leburnya pahala amalnya. Kalau ia bertobat sebelum mati, ia bisa selamat. Tetapi kalau tidak, maka hanguslah pahala ‘amalnya.” Ini adalah pendapat Muḥammad bin Shabīr, salah seorang guru golongan Kirāmiyah.
Menurut Muḥammad bin Shabīr yang dinamakan ihbath (lebur) ialah hilangnya semua nama-nama baik dari ‘amal, sehingga orang itu tidak mempunyai hak pahala dan pujian sama sekali. Sedangkan menurut yang lain ihbath (lebur), ialah hilangnya kelipatan pahala, bukan yang lainnya.
Jika anda bertanya: “Bagaimana bisa menjadi tidak jelas atas seorang hamba yang ma‘rifat kepada Allah, sesungguhnya berkat kemuliaan dan karunia-Nya, Allah memberikan petunjuk terhadap ‘amal saleh, mengagungkan pangkatnya dan memperbanyak pahala baginya?”
Ketahuilah, dalam masalah ini terdapat faedah yang halus dan dalam serta simpanan yang berharga, bahwa dalam masalah ‘ujub ini, manusia dapat dikualifikasikan menjaga tiga golongan, yaitu:
1. Golongan yang selalu membanggakan diri, yaitu golongan Mu‘tazilah dan Qadariyah. Mereka merupakan orang-orang yang tidak memandang karunia Allah dalam setiap aktivitas yang mereka lakukan. Mereka mengingkari pertolongan dan petunjuk Allah serta kehalusan rahmat-Nya. Hal itu, terjadi karena mereka dikuasai oleh syubhat.
2. Golongan yang senantiasa ingat karunia Allah dalam kondisi apapun. Merekalah orang-orang yang luhur, tidak sedikit pun membangga-banggakan ‘amal yang mereka lakukan. Hal itu, disebabkan mereka memperoleh kemuliaan dengan kecerdasan mata batin dan mendapatkan pengokohan secara khusus berkat rahmat-Nya.
3. Golongan yang mencampuradukkan, yaitu kebanyakan orang-orang ahli sunnah. Kadang-kadang mereka sadar, lalu menyebut-nyebut karunia Allah. Sekali tempo mereka lupa, lalu membangga-banggakan ‘amal yang mereka lakukan, karena kealpaan yang datang menyusul menguasainya dan melemahnya kesungguhan serta berkurangnya kecerdasan mata hati.
Jika anda bertanya: “Bagaimana keadaan perbuatan (af‘āl) kaum orang-orang Qadariyah dan Mu‘tazilah?”
Ketahuilah, bahwa dalam masalah tersebut, terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Ada yang berkata bahwa ‘amal mereka lebur, karena kedudukan i‘tiqād-nya. Ada pula yang berkata bahwa ‘amal mereka tidak serta-merta lebur semua. Sebab masih adanya i‘tiqād, bahwa mereka termasuk golongan Islam. ‘Amal yang lebur hanyalah khusus ‘amal disingggahi sikap ‘ujub. Sebagaimana i‘tiqad Ahli Sunnah, bahwa masih adanya unsur ‘ujub tidak mencegah setiap ‘amal, hingga secara khusus ditepisnya dengan menyebut anugerah Allah s.w.t.
Jika ditanyakan: “Apakah selain ‘ujub dan riyā’, ada perkara lain yang merusak ‘amal?” Jawabnya: “Ya, ada. Selain ‘ujub dan riyā’, terdapat beberapa perkara yang dapat merusak ‘amal. Tetapi, ‘ujub dan riyā’ itu aku sebutkan dalam pembahasan ini secara khusus, sebab keduanya merupakan yang pokok, dan menjadi sumber munculnya berbagai penyakit yang merusak dan membuat cacat ‘amal ibadah.
Sebagian guruku berkata, adalah menjadi keharusan bagi seorang hamba wajib untuk menjaga dan memelihara ‘amalnya dari sepuluh perkara yang mengotori dan merusak ‘amal, yaitu:
1. Nifāq (kemunafikan).
2. Riyā’.
3. Mencampuradukkan dengan unsur-unsur yang dapat merusak ‘amal.
4. Mengungkit-ungkit.
5. Menyakiti orang lain.
6. Menyesali ‘amal baik.
7. ‘Ujub.
8. Merasa rugi melakukan ‘amal.
9. Menganggap remeh suatu ‘amal kebaikan.
10. Takut dicela orang lain.
Selanjutnya guruku juga menyebutkan lawan dari masing-masing sepuluh perkara yang dapat merusak dan membuat cacat ‘amal tersebut, yaitu:
1. Ikhlas dalam ber‘amal.
2. Ikhlas dalam mencapai pahala.
3. Menyatukan tujuan ‘amal.
4. Menyerahkan ‘amal kepada Allah.
5. Menjaga diri jangan sampai menyakiti orang lain.
6. Memantapkan diri.
7. Ingat karunia Allah.
8. Menganggap beruntung melakukan kebaikan.
9. Memandang agung terhadap petunjuk Allah.
10. Takut kepada Allah.
Demikianlah secara berurutan lawan dari sepuluh perkara yang merusak ‘amal, sebagaimana tersebut di atas.
Ketahuilah, sesungguhnya nifāq itu dapat menghilangkan pahala ‘amal; riyā’ bisa menyebabkan tertolaknya ‘amal; mengungkit-ungkit dan menyakiti orang lain dapat melebur pahala sedekah, seketika itu juga – menurut sebagian ulama yang terakhir ini dapat membatalkan kelipatan pahala sedekah, bukan pahala pokok sedekah; menyesali ‘amal bisa melebur pahala ‘amal, menurut kesepakatan ulama; ‘ujub dapat menghilangkan kelipatan pahala ‘amal; merasa rugi melakukan ‘amal dan menganggap remeh ‘amal serta takut dicela orang lain, bisa memperingan bobot ‘amal, sehingga kebaikan ‘amal itu menjadi hilang.
Aku katakan, dikabulkan atau ditolaknya ‘amal oleh Allah s.w.t. bagi orang yang ahli mencapai keberhasilan, bergantung kepada macam sikapnya, apakah ia mengagungkan atau menganggap remeh.
Sedangkan ihbath ialah menghilangkan berbagai manfaat ‘amal yang dikerjakan atau sebab-sebabnya. Sehingga ihbath bisa jadi menghilangkan pahala atau terkadang menghilangkan berlipatgandanya pahala.
Pahala adalah suatu manfaat yang timbul atas dasar akal orang yang mengerjakan ‘amal, penyertaan dan kondisinya. Kelipatan pahala adalah tambahan kelipatan dari pahala pokok. Sedangkan bobot ‘amal adalah tambahan yang didapat sebab tuntutan tanda-tanda keadaan penyertaan yang lain, seperti bersikap iḥsān (baik) kepada seorang ahli kebaikan, kepada kedua orang tua, dan kepada salah seorang nabi. Maka dalam satu ‘amal bisa timbul bobot, tetapi tidak terdapat kelipatan pahala.
Penjelasan ini, merupakan intisari dari pokok permasalahan yang aku bahas ini. Maka pahamilah, semoga Allah memberikan petunjuk kepada kita.