Jika anda bertanya: “ Apakah setiap ‘amal membutuhkan ikhlas secara sendiri-sendiri?”
Ketahuilah, bahwa para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Menurut satu pendapat bahwa ikhlas wajib pada setiap ‘amal secara sendiri-sendiri. Ada yang mengatakan bahwa ikhlas satu bisa mengenai sejumlah ibadah. Adapun amal yang mempunyai rukun-rukun, seperti shalat dan wudhu, maka cukup bagi keduanya satu ikhlas, karena sebagian rukun bersambung dengan lainnya, baik dan buruknya, jadi seperti satu ‘amal.
Jika anda bertanya: “Kalau seseorang ketika beramal baik mengharapkan manfaat dari Allah, tidak menghendaki apa pun dari manusia, seperti ingin dipuji, popularitas atau menginginkan manfaat daripadanya. Apakah yang demikian itu dikatakan riyā’?”
Ketahuilah, bahwa yang demikian itu adalah riyā’ yang murni. Para ulama kita berpendapat, bahwa yang diperhitungkan adalah maksudnya, bukan apa yang diinginkan daripadanya. Jika yang anda inginkan ketika ber‘amal baik itu adalah kemanfaatan duniawi, maka itu namanya riya’, baik anda menginginkannya dari Allah ataupun dari manusia.
Allah s.w.t. berfirman:
مَنْ كَانَ يُرِيْدُ حَرْثَ الْآخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِيْ حَرْثِهِ وَ مَنْ كَانَ يُرِيْدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَ مَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ نَّصِيْبٍ
Artinya:
“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya, dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia, Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bagian pun di akhirat.” (asy-Syūrā: 20).
Dalam hal ini, bukanlah lafalnya riyā’ (ar-riyā’) dan pengambilannya dari akar katanya dari arti ar-ru’yah (melihat), yang dimaksudkan. Tetapi, yang dimaksudkan dengan riyā’ adalah kehendak yang salah dan rusak ini. Sebab, inilah makna dari riyā’ yang sudah populer di kalangan manusia. Pahamilah keterangan ini, semoga anda memperoleh petunjuk Allah s.w.t.
Seandainya anda bertanya: “Apabila yang dimaksud dari dunia yang dikehendaki dari Allah itu, untuk memelihara dirinya supaya tidak meminta pada manusia dan sebagai bekal beribadah kepada Allah, apakah yang demikian itu juga dinamakan riyā’?”
Ketahuilah, bahwa memelihara diri dari meminta-minta pada manusia itu, tidak berada pada banyaknya harta dan kedudukan. Tetapi, pemeliharaan diri dari meminta-minta pada manusia itu, akan dapat terjadi dengan sikap menerima apa adanya (qanā‘ah) dan percaya sepenuhnya kepada Allah.
Adapun jika dimaksudkan sebagai bekal untuk beribadah kepada Allah, maka jika demikian, tidaklah disebut riyā’. Bekal itu adalah yang ada hubungannya dengan urusan akhirat dan sebab-sebab memperoleh pahala akhirat. Dengan begitu, maka maksud orang itu benar-benar untuk bekal ibadah kepada Allah.
Apabila dengan ‘amal baik dimaksud sebagai bekal ibadah, maka keinginan semacam itu bukanlah dinamakan riyā’. Karena, dengan niat ini ‘amal-‘amal tersebut bisa menjadikan kebaikan, atau menjadi sama dengan hukum ‘amal-‘amal akhirat. Menghendaki kebaikan bukanlah riyā’. Begitu pula, bila anda menginginkan agar menjadi terhormat di masyarakat, atau agar disukai oleh para guru agama dan para imam. Dan hal tersebut juga anda maksudkan untuk bisa mengokohkan madzhab ulama ahli haq, atau menolak ahli bid‘ah, atau menyiarkan ilmu atau menganjurkan masyarakat agar beribadah dan sebagainya, bukan memaksudkannya untuk kepentingan diri sendiri, atau kepentingan duniawi agar dapat anda peroleh, maka maksud-maksud tersebut, adalah keinginan yang benar dan merupakan niat yang terpuji, tidak ada yang termasuk riyā’. Karena, yang dimaksudkan daripadanya, pada hakikatnya adalah urusan akhirat.
Ketahuilah, aku pernah bertanya kepada sebagian guruku mengenai sebagian kebiasaan teman-temanku yang membaca surat Wāqi‘ah di kala sulit mendapat rezeki: Bukankah yang dimaksudkan dari hal itu, agar Allah menolak kesulitan mendapatkan rezeki dari mereka dan agar Allah melapangkan sebagian dunia kepadanya, menurut kebiasaan yang berlaku? Bagaimana menghendaki harta dunia bisa sah dengan amal akhirat? Guruku berkata sebagai jawaban atas pertanyaan itu, yang maksudnya adalah bahwa yang dimaksudkan dari mereka itu, agar Allah memberikan qanā‘ah atau memberikan rezeki berupa makanan pokok sebagai bekal bagi mereka untuk beribadah dan sebagai bekal untuk menuntut ilmu. Hal tersebut, termasuk dalam kategori kehendak dan keinginan yang baik bukan untuk kepentingan duniawi.
Dalam menghadapi kesulitan rezeki, membaca surat Wāqi‘ah merupakan satu cara, yang telah diterangkan dalam hadis yang datang dari Rasūlullāh s.a.w. dan para sahabat. Hingga Ibnu Mas‘ūd ketika dicela mengenai urusan anaknya, karena tidak meninggalkan suatu warisan sedikit pun dari harta, ia berkata: “Aku telah (mewariskan) kepadanya surat Wāqi‘ah.”
Berdasarkan sunnah itulah, maka membaca surat Wāqi‘ah menjadi suatu kebiasaan. Demikianlah sejarah hidup para ulama kita. Jika saja tidak ada hadis itu, tentu mereka tidak mempedulikan kesusahan dunia. Miskin atau kaya, bagi mereka tidaklah menjadi soal. Tetapi, dikarenakan ada hadis itu, maka mereka meng-‘amal-kannya. Sebab, mereka beranggapan miskin adalah suatu keuntungan, bahkan kesengsaraan dianggapnya sebagai karunia yang besar dari Allah. Bahkan, mereka merasa takut, bila ada kelapangan rezeki yang dianggap oleh kebanyakan manusia sebagai karunia dan kenikmatan. Mereka beranggapan bahwa kelapangan rezeki bisa saja merupakan tipudaya (istidrāj) dari Allah atau musibah. Apalagi, kebiasaan mereka adalah mengembara dan melipat makanan dalam segala keadaan. Doktrin yang dikatakan oleh para pendahulu mereka: “Lapar adalah modal kami.”
Keterangan tersebut merupakan pokok madzhab ahli tashawwuf, yaitu madzhabku dan madzhab guruku. Dengan madzhab ini pula, ulama salaf kita berlaku. Adapun mengenai kelengahan sebagian ulama belakang hari, tidaklah bisa dijadikan contoh.
Aku jelaskan pasal ini, agar orang yang berbeda dengan madzhab ini tidak mencela, disebabkan kebodohannya terhadap tujuan ahli tashawwuf berkaitan dengan ibadah mereka. Atau agar orang yang baru mulai belajar, padahal hatinya baik dan lurus, tidak keliru merespons mereka dan supaya hanya mengambil ilmu yang hak.
Jika dikatakan: “Bagaimana hal itu, cocok dengan keadaan ahli ilmu, orang yang terus-menerus beribadah, orang yang zuhud, orang yang sabar dan orang yang suka riyādhah?”
Ketahuilah, bahwa kebiasaan membaca surat Wāqi‘ah itu diambil dari sunnah. Kemudian, yang menjadi maksud adalah didapatnya sifat qanā‘ah dan bekal buat ibadah, bukannya untuk kejahatan dan menuruti nafsu syahwat, serta bukan pula karena kelemahan menanggung kesulitan rezeki dan kepayahan mencari rezeki.