006-2 Tahapan Penoda & Perusak Ibadah | Minhaj-ul-Abidin

Dari Buku:

Minhajul ‘Abidin
Oleh: Imam al-Ghazali

Penerjemah: Moh. Syamsi Hasan
Penerbit: Penerbit Amalia Surabaya

Rangkaian Pos: 006 Tahapan Penoda & Perusak Ibadah | Minhaj-ul-Abidin

Jika anda bertanya: “Beritahukanlah kepada kami tentang hakikat ikhlas dan riyā’, juga tentang hukum dan pengaruhnya?” Ketahuilah, bahwa ikhlas menurut ulama kita, ada dua macam, yaitu:

1. Ikhlas dalam ber‘amal.

2. Ikhlas dalam mencari pahala.

Ikhlas dalam ber‘amal adalah keinginan untuk selalu dekat kepada Allah, mengagungkan perintah-Nya, serta memenuhi panggilan-Nya. Sementara yang mendorong ikhlas dalam ber‘amal adalah i‘tiqād yang benar.

Kebalikan dari ikhlas adalah nifāq (kemunafikan), yaitu mendekatan diri kepada yang selain Allah.

Syekh (guruku), berkata: “Nifāq adalah i‘tiqād yang rusak. Yakni i‘tiqād-nya orang munafik kepada Allah.” I‘tiqād rusak ini bukanlah termasuk golongan irādah, karena adanya ‘illat sebagaimana yang telah aku sebutkan.

Sedangkan ikhlas dalam mencari pahala adalah menginginkan kemanfaatan akhirat dengan ‘amal baik. Guruku berkata: “Ikhlas dalam mencari pahala adalah keinginan akan kemanfaatan di akhirat dengan kebaikan yang tidak mungkin ditolak, karena manfaat akan kebaikan itu memang sangat diharapkan.” Dan inilah syarat-syarat yang telah aku jelaskan.

Kaum Ḥawāriyun, bertanya kepada Nabi ‘Īsā: “Apakah yang dimaksud dengan ikhlas dalam ber‘amal itu?” Nabi ‘Īsā menjawab: “Yaitu ‘amal yang dikerjakan demi Allah, tanpa menginginkan pujian orang lain.”

Dalam hal ini, Nabi ‘Īsā hanya menerangkan persoalan meninggalkan riyā’. Karena riyā’ merupakan penyebab paling kuat yang mengganggu keikhlasan.

Imām Junaid berkata: “Ikhlas itu ialah menjernihkan ‘amal dari perkara yang dapat mengeruhkannya.

Al-Fudhail berkata: “Ikhlas adalah melakukan introspeksi diri dan menjaga hubungan baik kepada Allah secara terus-menerus (murāqabah) dan melupakan sesama sisi-sisi hawa nafsu yang menyesatkan.

Dan masih banyak pendapat-pendapat yang lain. Tetapi pengertian tentang hakikat ikhlas sebagaimana tersebut itulah menurut hemat kami, merupakan keterangan yang sempurna.

Baginda Rasūlullāh s.a.w. sebagai manusia paripurna, manusia terbaik, ketika ditanya tengan ikhlas, beliau bersabda:

تَقُوْلُ: رَبِّيَ اللهُ تَعَالَى، ثُمَّ تَسْتَقِيْمُ كَمَا أُمِرْتَ

Artinya:

Anda katakan: Tuhanku adalah Allah. Kemudian anda istiqāmah sebagaimana telah diperintahkan.

Maksudnya, janganlah menyembah hawa nafsu anda, dan jangan pula menyembah selain Tuhan anda, lalu bertindak luruslah dalam beribadah kepada Allah, sebagaimana diperintahkan-Nya.

Ini mengisyaratkan, bahwa segala tendensi terhadap yang selain Allah harus diputus dari jalan pikiran, memusatkan segala orientasi amal ibadah hanya kepada Allah s.w.t. Begitulah ikhlas yang sebenarnya.

Sedangkan kebalikan daripada ikhlas adalah riyā’, yaitu menginginkan manfaat dunia dengan ‘amal akhirat.

Selanjutnya, riyā’ itu ada dua macam, yaitu:

1. Riyā’ murni.

2. Riyā’ campuran.

Riyā’ murni adalah menginginkan manfaat dunia dengan ‘amal akhirat, tidak ada keinginan yang lain, melainkan ‘amal yang dilakukannya itu, hanyalah untuk mencari keuntungan dunia semata. Sedangkan riyā’ campuran adalah menginginkan kedua-duanya, dunia dan akhirat.

Sedangkan pengaruh atau atsarnya adalah bahwa, ikhlas dalam ber‘amal adalah menjadikan ‘amal perbuatan itu sebagai pendekatan diri kepada Allah. Sedangkan ikhlas dalam mencari pahala adalah menjadikan ‘amal sebagai ‘amal yang diterima dan berharap memperoleh pahala yang diyakininya sebagai sesuatu yang agung.

Nifāq itu dapat melebur ‘amal dan mengeluarkannya dari kedudukan sebagai pendekatan diri yang berhak menerima pahala, sebab janji dari Allah.

Menurut sebagian ulama, riyā’ murni yang terjadi pada orang yang ma‘rifat, bisa membatalkan separuh pahala. Sedangkan menurut ulama yang lain bahwa riyā’ murni yang terjadi pada orang ma‘rifat akan menghapus separuh kelipatan pahala.

Mencampur adukkan niat itu dapat menghilangkan seperempat kelipatan pahala. Yang shahih menurut guruku, bahwa riyā’ murni itu tidak akan terjadi pada orang ma‘rifat ketika ia ingat akhirat, tetapi bisa terjadi ketika ia melupakannya.

Menurut pendapat yang terpilih, di antara dampak yang timbul akibat riyā’, yaitu tidak diterimanya ‘amal, berkurangnya pahala dan tidak ada kepastian apakah hilang separuh atau seperempatnya.

Penjelasan mengenai masalah ini, memerlukan pembahasan yang panjang. Dan aku telah menerangkannya di dalam kitab “Iḥyā’ ‘Ulūm-id-Dīn” secara detail pada bab “Asrār-ul-Mu‘āmalāt-id-Dīn”.

Jika anda bertanya: “Apakah materi ikhlas itu dan pada ketaatan yang mana, ia menjadi sebuah keharusan dan kewajiban?”

Ketahuilah, menurut sebagian ulama, ‘amal itu ada tiga bagian, yaitu:

1. Ikhlas dalam ber‘amal dan ikhlas dalam mencari pahala, yaitu merupakan ibadah lahir yang pokok.

2. Bagian yang tidak terdapat ikhlas, sama sekali pada kedua macam tersebut, yaitu ibadah batin yang pokok.

3. Bagian yang hanya terdapat ikhlas dalam mencari pahala, tetap tidak terdapat ikhlas dalam ber‘amal, yaitu ‘amal-‘amal yang mubah yang dikerjakan untuk persiapan ibadah.

Guruku berkata: “Segala ‘amal yang ada kemungkinan dibelokkan kepada selain Allah, yaitu ibadah-ibadah pokok, maka terjadinya keikhlasan padanya menjadi sebuah keharusan. Begitu pula pada sebagian besar ibadah batin.”

Adapun ikhlas dalam mencari pahala, menurut para Syaikh Kirāmiyah tidak perlu terjadi dalam ibadah batin, karena tidak seorang pun yang tahu isi hati seseorang, kecuali Allah. Jadi, tidak mungkin ada ajakan riyā’. Karena itu, tidak membutuhkan ikhlas mencari pahala.

Sementara guruku berkata: “Apabila seorang hamba bermaksud mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan ibadah batin, namun ia menghendaki manfaat dunia dengannya, itu juga disebut riyā’.”

Aku katakan, jika demikian, tidak jauh berbeda, pada sebagian besar ibadah batin akan terjadinya dua ikhlas itu. Demikian pula dalam ibadah sunnah, juga harus ada dua ikhlas tersebut (ikhlas beramal dan ikhlas mencari pahala) pada awal mengerjakannya.

Sedangkan ‘amal mubah yang dikerjakan sebagai bekal, maka hanya diperlukan terjadinya keikhlasan dari sisi mencari pahala, tidak pada sisi beramal. Sebab, ‘amal yang mubah itu secara substansial tidak patut untuk mendekatkan diri kepada Allah. ‘Amal mubah hanyalah sebagai bekal untuk mendekatkan kepada Allah.

Jika anda berkata: “Jelaskan pula kepada kami, kapan waktunya ikhlas dalam ber‘amal dan ikhlas mencari pahala?” Ketahuilah bahwa ikhlas dalam ber‘amal harus bersamaan dengan ‘amal, tidak di akhirnya. Sedangkan ikhlas dalam mencari pahala, kadang-kadang bisa berada di akhir ‘amal.

Menurut sebagian ulama, ikhlas dalam mencari pahala yang dinilai adalah pada akhir ‘amal. Jika ditutup dengan ikhlas, berarti termasuk ‘amalan yang ikhlas. Dan jika diakhiri dengan riyā’, maka masuk dalam kategori ‘amalan riyā’. Tidak memungkinkan untuk disusul dengan keikhlasan setelahnya.

Namun menurut ulama Kirāmiyah, bahwa selama orang itu belum memperoleh kemanfaatan yang dicari dengan riyā’, maka masih memungkinkan untuk menegakkan keikhlasan. Akan tetapi, jika sudah memperoleh apa yang dicari, maka hilanglah kesempatan ikhlas.

Sebagian ulama berpendapat, bahwa ibadah fardhu masih memungkinkan untuk menegakkan ikhlas hingga maut menjemputnya. Namun tidak demikian halnya dengan ibadah sunnah.

Ulama tersebut menyatakan bahwa perbedaan antara ‘amal fardhu dan amal sunnah, yaitu Allah memasukkan hamba ke dalam ‘amal fardhu, sehingga dapat diharapkan karunia Allah dan kemudahan mengerjakannya. Sedangkan ‘amal sunnah, maka hambalah yang memasukkan dirinya ke dalam ‘amal itu dan membebani diri untuk melakukannya. Jadi ia dituntut agar memenuhi hak dari apa yang ia bebankan sendiri itu.

Aku katakan, bahwa dalam masalah ini ada satu faedah, yaitu orang yang telah terlanjur melakukan riyā’ atau meninggalkan ikhlas dalam satu ‘amal, bisa diperbaiki dengan ikhlas menurut salah satu cara yang telah aku terangkan di atas.

Maksud utama dari menerangkan madzhab-madzhab ulama dalam masalah-masalah yang lembut dan rumit ini, adalah bahwa sekarang kita menjadi tahu tentang sedikitnya orang yang ber‘amal dan sedikitnya kesukaan menempuh jalan ikhlas itu. Di samping itu, juga untuk memudahkan orang yang baru memulai melakukan ibadah. Apabila ia tidak menemukan obat bagi penyakitnya, dalam masalah ini, maka ia bisa menemukan obatnya menurut pendapat yang lain, lantaran berbeda-bedanya penyakit dan tujuan, serta berbeda-bedanya illah dan afat ber‘amal. Pahamilah keterangan ini dengan cerdas, semoga Allah memberikan petunjuk.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *