005-7 Tahapan Pendorong | Minhaj-ul-Abidin

Dari Buku:

Minhajul ‘Abidin
Oleh: Imam al-Ghazali

Penerjemah: Moh. Syamsi Hasan
Penerbit: Penerbit Amalia Surabaya

Rangkaian Pos: 005 Tahapan Pendorong | Minhaj-ul-Abidin

3. Kiamat

Adapun mengenai hari kiamat, renungkanlah firman Allah s.w.t.:

يَوْمَ نَحْشُرُ الْمُتَّقِيْنَ إِلَى الرَّحْمنِ وَفْدًا، وَ نَسُوْقُ الْمُجْرِمِيْنَ إِلى جَهَنَّمَ وِرْدًا

Artinya:

(Ingatlah) hari (ketika) Kami mengumpulkan orang-orang yang taqwā kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sebagai perutusan yang terhormat. Dan Kami akan menghalau orang-orang yang durhaka ke neraka Jahannam dalam keadaan dahaga.” (Maryam: 85-86)

Orang yang beruntung akan keluar dari kuburnya, dan tiba-tiba Burāq sudah berada di atas kubur, lengkap dengan membawa mahkota dan pakaian untuknya. Lalu ia mengenakan pakaian dan mahkota itu dan menunggangi Burāq menuju ke surga yang penuh dengan kenikmatan (Surga Na‘īm). Ia tidak diperkenankan berjalan kaki, menuju ke surga lantaran mulianya.

Sementara orang yang celaka, begitu keluar dari kubur, disongsong oleh malaikat Zabāniyyah dengan membawa belenggu dan rantai besi. Ia tidak dibiarkan berjalan kaki menuju ke neraka, melainkan diseret dalam keadaan telungkup, hingga sampai ke tengah neraka Jahannam. Kita berlindung kepada Allah dari kemurkaan-Nya.

Aku pernah mendengar sebagian ulama meriwayatkan hadis dari Nabi s.a.w., beliau bersabda:

إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ يَخْرُجُ قَوْمٌ مِنْ قُبُوْرِهِمْ لَهُمْ نُجُبٌ يَرْكَبُوْنَهَا لَهَا أَجْنِحَةٌ خُضْرٌ فَتَطِيْرُ بِهِمْ فِيْ عَرَصَاتِ الْقِيَامَةِ حَتَّى إِذَا أَتَوْا عَلَى حِيْطَانِ الْجَنَّةِ فَإِذَا رَأَتْهُمُ الْمَلَائَكَةُ قَالَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ مَنْ هؤُلَاءِ، فَيَقُوْلُوْنَ: مَا نَدْرِيْ لَعَلَّهُمْ مِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَيَأْتِيْهِمْ بَعْضُ الْمَلَائِكَةِ فَيَقُوْلُ: مَنْ أَنْتُمْ وَ مِنْ أَيِّ الأُمَمِ أَنْتُمْ، فَيَقُوْلُوْنَ: مِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ، فَتَقُوْلُ لَهُمُ الْمَلَائِكَةُ: هَلْ حُوْسِبْتُمْ، فَيَقُوْلُوْنَ: لَا، فَتَقُوْلُ الْمَلَائِكَةُ: هَلْ وُزِنْتُمْ، فَيَقُوْلُوْنَ: لَا، هَلْ قَرَأْتُمْ كُتُبُكُمْ، فَيَقُوْلُوْنَ: لَا، فَتَقُوْلُ الْمَلَائِكَةُ: اِرْجَعُوْا فَكُلُّ ذلِكَ وَرَاءَكُمْ، فَيَقُوْلُوْنَ: هَلْ أَعْطَيْتُمُوْنَا شَيْئًا فَنُحَاسَبُ عَلَيْهِ.

Artinya:

Apabila datang hari kiamat, maka keluarlah orang-orang dari kubur mereka. Ada yang mengendarai onta yang bersayap hijau, lalu membawa mereka terbang menuju padang Maḥsyar hari kiamat. Ketika sampai pada pagar surga, para malaikat yang melihat mereka berbicara satu sama lain: “Siapa orang-orang itu?” “Kami tidak tahu, barang kali dari umat Muḥammad s.a.w.” Lalu ada malaikat yang mendatangi mereka dan bertanya: “Siapakah kalian? Dan dari golongan umat Muḥammad s.a.w.” Malaikat itu bertanya lagi: “Apakah kalian telah ditimbang amalnya?” Mereka menjawab: “Tidak,” Malaikat kembali bertanya: “Apakah kalian membaca buku catatan amal kalian?” Mereka menjawab: “Tidak.” Maka malaikat berkata: “Kembali kalian, semua itu berada di belakang kalian.” Mereka bertanya: “Apakah anda pernah memberi kami sesuatu yang menyebabkan kami dihisab?

Disebutkan pula dalam hadis lain:

مَا مَلَكْنَا شَيْئًا فَنَعْدِلَ أَوْ نَجُوْرَ وَ لكِنْ عَبَدْنَا رَبَّنَا حَتَّى دَعَانَا فَأَجَبْنَاهُ فُيُنَادِيْ مُنَادٍ صَدَقَ عِبَادِيْ مَا عَلَى الْمُحْسِنِيْنَ مِنْ سَبِيْلٍ وَ اللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ

Artinya:

Kami tidak mempunyai apa pun yang membuat kami bisa bertindak adil atau menyeleweng. Tetapi, kami di dunia senantiasa menyembah Tuhan kami, hingga Dia memanggil kami. Lalu terdengar seruan Rabbānī: “Benar apa yang dikatakan, para hamba-Ku itu, tidak ada jalan buat mengganggu orang-orang yang berbuat baik. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Tidakkah anda mendengar firman Allah s.w.t.:

أَفَمَنْ يُلْقى فِي النَّارِ خَيْرٌ أَمْ مَّنْ يَأْتِيْ آمِنًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Artinya:

Maka apakah orang-orang yang dilemparkan ke dalam neraka lebih baik ataukah orang-orang yang datang dengan aman sentosa pada hari Kiamat?” (Fushshilāt: 40)

Betapa agung orang yang dapat menyaksikan perkara-perkara yang dahsyat dan menggoncangkan itu, tetapi ia aman, hatinya tidak merasa takut, serta tidak memberatkan hatinya.

Kita memohon kepada Allah Yang Maha Agung, semoga kita dijadikan sebagai orang-orang beruntung. Dan yang demikian itu tidaklah sulit bagi Allah Yang Maha Agung lagi Maha Perkasa.

 

4. Surga dan Neraka

Ada pun mengenai surga dan neraka, renungkanlah dua ayat berikut ini.

Allah s.w.t. berfirman:

وَ سَقَاهُمْ رَبُّهُمْ شَرَابًا طَهُوْرًا، إِنَّ هذَا كَانَ لَكُمْ جَزَاءً وَ كَانَ سَعْيُكُمْ مَّشْكُوْرًا

Artinya:

“…. dan Tuhan memberikan kepada mereka minuman yang bersih. Sesungguhnya ini adalah balasan untukmu, dan usahamu adalah disyukuri (diberi balasan).” (al-Insān: 21-22)

Dan firman Allah s.w.t. yang menceritakan tentang golongan yang lain, yakni keadaan ahli neraka, sebagai berikut:

رَبَّنَا أَخْرِجْنَا مِنْهَا فَإِنْ عُدْنَا فَإِنَّا ظَالِمُوْنَ، قَالَ اخْسَؤُوْا فِيْهَا وَ لَا تُكَلِّمُوْنِ

Artinya:

Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami daripadanya (dan kembalikanlah kami ke dunia), maka jika kami kembali (juga kepada kekafiran), sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zhalim. Allah berfirman: Tinggallah dengan hina di dalamnya, dan janganlah kamu berbicara dengan Aku.” (al-Mu’minūn: 107-108)

Diriwayatkan, bahwa orang-orang kafir, penghuni abadi neraka tersebut, setelah mendapatkan jawaban Allah, sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas, mereka menjadi anjing yang menggonggong di neraka. Kita berlindung kepada Allah Yang Maha Pengasih dari ‘adzāb-Nya yang sangat pedih.

Yaḥyā bin Mu‘ādz ar-Rāzī menyatakan, sesungguhnya aku tidak mengetahui, mana di antara dua musibah yang lebih besar, tidak dapat masuk surga ataukah masuk neraka. Terhadap surga, tentu tidak ada kesabaran tidak memasukinya dan terhadap neraka, tentu tidak ada kesabaran barang sejenak pun untuk tinggal tersiksa di dalamnya. Jadi, bagaimana pun juga, terlepasnya nikmat itu lebih mudah daripada merasakan sakitnya neraka Jahannam.

Bencana dan musibah yang terbesar adalah berada di dalam neraka selama-lamanya. Sebab, apa pun bentuknya siksa itu, jika terputus, maka bisa dikatakan mudah. Tetapi, jika siksa itu terus menerus tanpa akhir, maka siapakah yang kuat menanggungnya dan siapa pula yang mampu bersabar menerimanya?

Oleh sebab itu, Nabi ‘Īsā a.s. berkata: “Menyebut kekekalan para penghuni neraka di dalamnya, dapat mematahkan hati orang-orang yang takut.”

Ketika disebut-sebut di hadapan Ḥasan Bashrī, bahwa penghuni neraka yang terakhir keluar dari dalam neraka adalah orang yang bernama Ḥannād, ia disiksa selama seribu tahun, selama itu ia memanggil-manggil: “Yā Ḥannān, Yā Mannān!” Mendengar itu Ḥasan menangis, dan berkata: “Alangkah senangnya, sekiranya aku menjadi Ḥannād.”

Mendengar ucapan Ḥasan itu, mereka merasa heran. Mengetahui mereka pada heran, Ḥasan berkata: “Bukankah pada saatnya ia akan keluar (dari neraka)?”

Aku (Imām Ghazālī) berkata, dengan demikian pada pokoknya, siksa neraka itu sungguh teramat pedih dan penuh kehinaan, yang membuat punggung terasa dicambuk, menyebabkan wajah pucat, menghancurkan hati dan mengeluarkan air mata darah dari para hamba, yaitu ketakutan akan tercabutnya ma‘rifat. Inilah puncak ketakutan orang-orang yang takut dan puncak tangisan orang-orang yang menangis.

Sebagian ulama mengatakan, bahwa kesedihan hanyalah patut terjadi pada tiga hal, yaitu:

1. Sedih dalam masalah ketaatan, yaitu khawatir akan ketaatannya tidak diterima oleh Allah.

2. Sedih dalam masalah maksiat, yaitu khawatir dosanya tidak diampuni oleh Allah.

3. Sedih dalam masalah ma‘rifat, yaitu khawatir kema‘rifatannya dicabut oleh Allah.

Orang-orang yang ikhlas berkata: “Kesedihan itu pada dasarnya hanya satu, yaitu kesedihan akan dicabutnya kema‘rifatan. Sementara kegelisahan lainnya, terasa begitu ringan, karena ada batas akhirnya.”

Telah sampai informasi dari Yūsuf bin Asbath, bahwa ia berkata: “Aku pernah datang ke rumah Sufyān, ternyata ia menangis sepanjang malam. Maka aku bertanya: “Apakah tangisan anda itu karena dosa?” Mendengar pertanyaan itu, ia memungut batang padi seraya berkata: “Dosa-dosa yang kuperbuat itu menurut Allah adalah lebih remeh daripada batang padi ini. Yang aku takutkan hanyalah jika Allah mencabut Islam dariku.”

Kita memohon kepada Allah, Tuhan Yang memberikan anugerah, hendaklah kiranya tidak menimpakan musibah-Nya kepada kita. Semoga Ia berkenan menyempurnakan nikmat-Nya kepada kita, berkata anugerah kemuliaan-Nya, dan semoga Ia mengakhiri hidup kita dengan tetap berpegang teguh pada agama Islam. Dia-lah Tuhan Yang Peyayang daripada para penyayang.

Kami telah menjelaskan sebab-sebab sū’-ul-khātimah (mati dalam keadaan tidak baik), berikut maknanya di dalam kitab Iḥyā’ Ulūm-id-dīn, simak dan renungkanlah baik-baik apa yang telah aku tuangkan dalam kitab tersebut. Sementara di dalam kitab ini, dijelaskan secara garis besar saja, maka simak dan renungkanlah penjelasan ini, semoga anda beruntung dan mendapatkan sebaik-baik petunjuk Allah.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *