Hati Senang

005-6 Tahapan Pendorong | Minhaj-ul-Abidin

Dari Buku:

Minhajul ‘Abidin
Oleh: Imam al-Ghazali


Penerjemah: Moh. Syamsi Hasan
Penerbit: Penerbit Amalia Surabaya

Pokok Ketiga:

Mengingat janji dan ancaman Allah di hari kemudian. Dalam hal ini, kiranya perlu kami kemukakan lima hal berikut, yaitu:

  1. Maut
  2. Kubur
  3. Kiamat
  4. Surga
  5. Neraka

Apa saja yang terjadi pada masing-masing dari kelimat hal itu, merupakan keadaan yang sangat mendebarkan dan menakutkan bagi orang-orang yang taat, orang-orang yang durhaka, orang-orang yang lengah, dan juga bagi orang-orang yang sungguh-sungguh.

 

1. Maut

Mengenai maut, aku akan menuturkan keadaan dua orang, yaitu:

Pertama: Sebuah hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Syubrumah, ia berkata: “Aku bersama-sama asy-Sya‘bī pernah menengok orang sakit keras. Di dekat orang sakit itu ada seseorang yang menuntunnya untuk membaca kalimah tauhid: Lā ilāha illallāh waḥdahu lā syarīka lah, Asy-Sya‘bī berkata: “Tuntunlah perlahan-lahan!” Orang yang sakit menyahut: “Anda tuntun atau tidak, aku tetap tidak akan meninggalkan kalimat tauhid itu.” Kemudian ia membaca ayat:

وَ أَلْزَمَهُمْ كَلِمَةَ التَّقْوى وَ كَانُوْا أَحَقَّ بِهَا وَ أَهْلَهَا

Artinya:

“…. dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat taqwā dan adalah mereka berhak dengan kalimat taqwā itu dan patut memilikinya.” (al-Fatḥ: 26).

Mendengar ucapannya itu, asy-Sya‘bī berkata: “Alḥamdulillāh, segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan sahabatku ini.”

Kedua: Cerita tentang seorang murid Fudhail bin ‘Iyādh, bahwa ketika tanda-tanda kematian menghampiri murid itu, Fudhail menengoknya, lalu ia duduk di dekat kepalanya dan membaca surat Yasin. Orang yang tak lain adalah muridnya itu, berkata: “Wahai guruku, janganlah anda membaca surat Yasin.” Maka Fudhail pun diam. Kemudian, Fudhail menuntunnya dengan kalimat tauhid: Lā ilāha illallāh. Dia justru berkata: “Aku tidak akan mengucapkannya, sebab aku berlepas diri dari kalimat tauhid itu.” Akhirnya murid Fudhail itu mati dalam keadaan lepas dari kalimat tauhid.

Setelah peristiwa itu, Fudhail menangis terus-menerus selama empat puluh hari, tanpa keluar dari rumah, sebentar pun. Tidak lama kemudian, Fudhail bermimpi melihat muridnya itu, diseret hendak dijebloskan ke dalam neraka Jahannam. Fudhail bertanya: “Apa yang menyebabkan Allah mencabut kema‘rifatan dari hati anda? Pada hal anda adalah muridku yang paling alim.” Murid itu menjawab: “Hal itu, disebabkan tiga perkara, yaitu:

  1. Sebab menghasut, aku biasa mengatakan kepada teman-teman berlainan dengan apa yang kukatakan keapda anda.
  2. Dengki, aku dengki pada teman-temanku.
  3. Aku mempunyai penyakit, lalu aku datang ke dokter. Aku menanyakan tentang kesembuhan penyakitku itu, dokter mengatakan: “Anda harus minum segelas arak setiap tahun, jika tidak, penyakit anda tidak akan sembuh. Maka, aku pun selalu minum arak. (Semoga Allah melindungi kita dari murka-Nya yang tidak akan mampu kita menanggungnya.)

Selanjutnya, aku ceritakan kisah tentang dua orang yang lain. Pertama, konon ‘Abdullāh bin Mubārak, ketika ajalnya sudah dekat, beliau menengadahkan mukanya ke langit, lalu tersenyum seraya berkata: “Untuk ini, seharusnya orang-orang beramal.”

Dan aku pernah mendengar Imām Haramain menceritakan dari Ustādz Abū Bakar. Abū Bakar berkata: “Sewaktu masih belajar, aku mempunyai teman yang baru mulai belajar. Ia sangat rajin, berhati-hati dan tekun beribadah. Namun ia hanya sedikit bisa melakukannya dengan penuh kesungguhan. Hal itu, tentu membuatku heran. Pada suatu hari ia jatuh sakit. Tetapi, ia tetap tinggal di pondokan di tengah-tengah para wali, ia tidak mau berobat ke rumah sakit. Meski pun sakit, ia tetap rajin belajar. Sementara itu, sakitnya semakin parah dan pada saat itu, aku berada di sampingnya. Dalam kondisinya yang demikian itu, tiba-tiba kedua matanya terlihat menerawang menatap ke langit, seraya berkata kepadaku: “Hai Abū Bakar bin Furak, untuk hal semacam ini, seharusnya orang-orang beramal.” Akhirnya, ia meninggal dunia pada saat itu, semoga ia mendapat rahmat Allah.

Cerita kedua, sebagaimana yang diriwayatkan dari Mālik bin Dīnār. Suatu hari beliau masuk ke rumah tetangganya yang sudah semakin mendekati ajalnya. Tetangga itu berkata keapda beliau: “Hai Mālik, ada dua gunung dari api berada di depanku. Aku berusaha mendaki keduanya.” Lalu aku bertanya kepada keluarganya, mengenai perbuatan yang biasa dilakukan. Mereka menjawab: “Ia mempunyai dua macam sukatan (takaran) makanan, yang satu untuk menakar pada waktu membeli dan satunya lagi untuk menakar ketika menjual. Mendengar penuturan itu, aku lalu meminta dua takaran tersebut dan memukulkannya satu sama lain, sehingga keduanya pecah. Selanjutnya aku tanyakan kepada tetangganya yang dalam keadaan sakaratul maut itu. Ia berkata: “Perkara yang aku hadapi semakin besar saja.”

 

2. Kubur

Mengenai alam kubur dan keadaan sesudah mati, akan aku kemukakan mengenai keadaan dua orang. Pertama, sebagaimana yang diceritakan dari sebagian orang saleh yang mengatakan, sesungguhnya aku pernah bermimpi bertemu Sufyān ats-Tsaurī sesudah wafatnya. Dalam mimpi itu, aku bertanya: “Bagaimana keaadaan anda, hai Abū ‘Abdillāh?” Ia memalingkan muka sembari berkata: “Ini bukan saatnya memanggil dengan nama panggilan (seperti Abū ‘Abdillāh yang berarti ayah dari ‘Abdullāh). Lalu aku bertanya lagi: “Bagaimana keadaan anda, wahai Sufyān?”

Sufyān menjawab dengan syair:

نَظَرْتُ إِلَى رَبِّيْ عِيَانًا فَقَالَ لِيْ

هَنِيْئًا رِضَائِيْ عَنْكَ يَا بْنَ سَعِيْدٍ

لَقَدْ كُنْتَ قَوَّامًا إِذَا اللَّيْلُ قَدْ دَجَى

بِعَبْرَةِ مُشْتَاقٍ وَ قَلْبٍ عَمِيْقٍ

فَدُوْنَكَ فَاخْتَرْ أَيُّ قَصْرٍ تُرِيْدُهُ

وَ زُرْنِيْ فَإِنِّيْ عَنْكَ غَيْرُ بَعِيْدٍ

Aku melihat Tuhanku, dengan jelas

Dia berfirman kepadaku:

“Selamat engkau mendapat ridhā-Ku” wahai putra Sa‘id

Ketika larut malam, engkau bangun

Melakukan shalat malam

Air mata kerinduan tergerai dari lnbuk hatimu yang terdalam

Mendekatlah, pilihlah, mana istana yang engkau inginkan

Dan kunjungilah Aku

Aku tidak jauh darimu.”

Sedangkan mengenai cerita yagn kedua adalah sebagaimana yang dituturkan sebagian ulama. Seorang ulama menuturkan bahwa ia bermimpi melihat seorang laki-laki yang telah meninggal dunia. Keadaannya benar-benar berubah rupa, tangannya dibelenggu ke lehernya. Ketika ditanyakan kepadanya: “Apa yang diperbuat Allah terhadap anda?” Ia menjawab, sebagaimana syair berikut:

 

تَوَلَّى زَمَانُ لَعِبْنَا بِهِ

وَ هذَا زَمَانٌ بِنَا يَلْعَبُ

Aku bermain-main

Kini telah berganti

Saatnya aku dipermainka.

Ada pula kisah tentang dua orang yang lain lagi. Pertama, sebagaimana yang diriwayatkan oleh sebagian orang saleh yang mengatakan bahwa aku mempunyai seorang anak yang mati syahid, dan selama ini aku tidak pernah melihatnya dalam mimpi. Hingga pada suatu malam, tepat malam meninggalkannya ‘Umar bin ‘Abd-ul-‘Azīz r.a., tiba-tiba aku bermimpi bertemu anakku. Aku bertanya: “Wahai anakku, bukankah anda sudah mati?” Ia menjawab: “Tidak, aku mati syahid, aku hidup di sisi Allah dan mendapat anugerah (rizki).”

Aku bertanya lagi: “Mengapa anda datang kemari?” Anakku menjawab: “Diserukan kepada penduduk langit, agar semua nabi, orang shiddīq dan orang yang mati syahīd hadir dalam shalat jenazah atas kematian ‘Umar bin ‘Abd-ul-‘Azīz. Jadi, kedatanganku ini untuk ikut menyalatkan ‘Umar bin ‘Abd-ul-‘Azīz. Dan aku datang kepada ayahanda untuk menghaturkan salam.

Kedua, kisah yang diriwayatkan dari Hisyām bin Ḥasan. Ia berkata: “Anakku mati dalam usia muda. Namun aku melihatnya dalam mimpi, ternyata rambutnya sudah memutih. Aku pun bertanya: “Hai anakku, mengapa rambut anda jadi begini?” Anakku menjawab: “Ketika si Fulan datang kepada kami, neraka Jahannam menggeram karenanya, semua ahli kubur pada memutih rambutnya, sebab kedatangan si Fulan itu.” Kita berlindung kepada Allah Yang Maha Penyayang dari ‘adzāb-Nya yang pedih.

Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.