005-5 Tahapan Pendorong | Minhaj-ul-Abidin

Dari Buku:

Minhajul ‘Abidin
Oleh: Imam al-Ghazali

Penerjemah: Moh. Syamsi Hasan
Penerbit: Penerbit Amalia Surabaya

Rangkaian Pos: 005 Tahapan Pendorong | Minhaj-ul-Abidin

Sedangkan dari sisi rajā’, maka berbicaralah tentang rahmat Allah yang amat luas. Yang demikian itu tidaklah berdosa. Siapakah yang dapat mengetahui sifat rahmat dan puncak rahmat Allah? Karena, Dialah Allah, Dzat yang bisa saja melebur dosa kekafiran selama tujuh puluh tahun, dengan iman sesaat.

Allah s.w.t. berfirman:

قُلْ لِلَّذِيْنَ كَفَرُوْا إِنْ يَنْتَهُوْا يُغَفَرْ لَهُمْ مَّا قَدْ سَلَفَ

Artinya:

Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), maka Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu.” (al-Anfāl: 38).

Coba perhatikan, peristiwa tentang para tukang sihir Fir‘aun, mereka datang bertujuan hendak memerangi Allah dengan segala sumpah serapahnya dengan mengatasnamakan kegagahan Fir‘aun, musuh Allah. Tetapi setelah menyaksikan mu‘jizat Nabi Mūsā a.s., mereka menjadi mengetahui kebenaran. Seketika itu, mereka berucap: “Kami beriman keapda Tuhan seru sekalian alam”. Allah tidak menuturkan, apakah setelah beriman terus beramal sebagai tindak lanjut dari komitmen keimanannya itu.

Kemudian perhatikan pula, berapa kali mereka mendapatkan pujian Allah dalam al-Qur’ān. Berapa banyak dosa-dosa mereka baik yang besar mau pun yang kecil dihapuskan oleh Allah, meski hanya dengan iman sesaat. Bahkan hanya sekejap, ketika mereka mengucapkan: “Kami beriman kepada Tuhan seru sekalian alam,” yang diucapkan dengan kesungguhan hati. Bagaimana semuanya bisa berbalik secara total, dosa-dosa masa lalunya jadi terampuni. Bahkan selanjutnya, mereka dijadikan pemimpin para syuhadā’ di surga yang kekal, kelak selama-lamanya? Ini adalah keadaan orang yang ma‘rifat kepada Allah dan mengesakan-Nya hanya sesaat. Meski pun tadinya seorang tukang sihir, kafir, dan pembuat kerusakan. Lalu bagaimana keadaan orang yang menghabiskan umurnya untuk bertauhid kepada Allah, pilihan yang sangat tepat dunia dan akhirat?

Perhatikan pula tentang Ashḥāb-ul-Kahfi dan kefakiran mereka sepanjang umurnya. Ketika mereka berdiri lalu berkata:

إِذْ قَامُوْا فَقَالُوْا رَبُّنَا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضِ لَنْ نَّدْعُوَ مِنْ دُوْنِهِ إِلَهًا

Artinya:

“… di waktu mereka berdiri, lalu mereka berkata: Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia.” (al-Kahfi: 14)

Seketika itu, mereka beralih berpihak kepada Allah dan mengakui-Nya sebagai Tuhan. Bagaimana Allah menerima pernyataan mereka dan memberikan karunia yang besar serta memuliakan mereka?

Perhatikan firman Allah s.w.t.:

وَ نُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِيْنِ وَ ذَاتَ الشِّمَالِ

Artinya:

Aku bolak-balikkan mereka, ke kanan dan ke kiri.” (al-Kahfi: 18)

Dan bagaimana Allah memuliakan mereka, memberikan pakaian kewibawaan dan bagaimana pula mereka menjadi ditakuti. Hingga Allah berfirman kepada Rasūlullāh s.a.w.:

لَوِ اطَّلَعْتَ عَلَيْهِمْ لَوَلَّيْتَ مِنْهُمْ فِرَارًا وَ لَمُلِئْتَ مِنْهُمْ رُعْبًا

Artinya:

Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan (diri) dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi dengan ketakutan terhadap mereka.” (al-Kahfi: 18)

Bahkan, bagaimana anjing yang mengikuti mereka juga dimuliakan oleh Allah? Hingga Allah menyebut anjing itu beberapa kali dalam al-Qur’ān. Kemudian Allah menjadikan anjing itu bersama mereka sebagai sesuatu yang menghalangi di dunia dan memasukkannya ke dalam surga di akhirat dalam keadaan yang dimuliakan.

Demikian itulah, anugerah Allah kepada anjing yang hanya berjalan beberapa langkah bersama orang-orang yang ma‘rifat kepada Allah dan mengesakan-Nya pada hari-hari yang bisa dihitung, tanpa berbakti dan tanpa berkhidmat kepada-Nya. Lalu bagaimana pula karunia Allah kepada hamba-Nya yang beriman, yang melayani Allah, mengesakan-Nya dan menyembah-Nya selama tujuh puluh tahun. Dan bagaimana seandainya ia hidup selama tujuh puluh ribu tahun? Tentu ia bermaksud menghamba kepada Allah.

Selanjutnya, tidakkah anda tahu, bagaimana Allah mencela Nabi Ibrāhīm a.s. ketika ia berdoa agar orang-orang yang berdosa dan melakukan durhaka itu dibinasakan? Bagaimana Allah mencela Nabi Mūsā tentang urusan Qārūn? Sebagaimana firman-Nya kepada Mūsā:

اِسْتَغَاثَ بِكَ قَارُوْنُ فَلَمْ تَغِثْهُ فَوَ عِزَّتِيْ لَوِ اسْتَغَاثَ بِيْ لَأَغَثْتُهُ وَ عَفَوْتُ عَنْهُ

Artinya:

Hai Mūsā! Qārūn minta tolong kepada anda, tetapi anda tidak mau menolongnya. Demi keagungan-Ku, seandainya Qārūn meminta tolong kepada-Ku, tentu Aku akan menolongnya dan mengampuninya.”

Dan bagaimana Allah mencela Nabi Yūnus a.s. Mengenai persoalan kaumnya: “Engkau bersusah hati dengan sebatang pohon dari jenis labu. Aku menumbuhkannya dalam waktu sesaat dan bisa saja Aku membuatnya kering dalam sesaat pula. Dan janganlah anda bersedih hati dengan seratus ribu orang satu lebih.” (Lihat 37: 146-147).

Lalu bagaimana pula Allah menerima alasan kaum Nabi Yūnus dan memalingkan siksa-Nya yang besar dari mereka, sesudah Allah menyesatkan mereka?

Selanjutnya, perhatikan pula, bagaimana Allah mencela Nabi Muḥammad s.a.w. Sebagaimana disebut dalam sebuah riwayat, bahwa suatu ketika Nabi s.a.w. masuk Masjidil Ḥarām dari pintu Bani Syaibah, beliau melihat orang-orang pada tertawa, lalu beliau bertanya kepada mereka: “Kenapa kalian tertawa? Aku tidak mau melihat kalian tertawa seperti ini lagi.” Hingga ketika berada di dekat Ḥajar Aswad, beliau kembali lagi pada para sahabat itu, seraya bersabda: “Aku didatangi Jibril, dia berkata kepadaku: Hai Muḥammad, Allah s.w.t. berfirman kepada anda: “Mengapa kamu buat hamba-Ku berputus asa dari rahmat-Ku?:

نَبِّئْ عِبَادِيْ أَنِّيْ أَنَا الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Artinya:

Kabarkanlah kepada hamba-hambaKu, bahwa sesungguhnya Aku-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Ḥijr: 49)

Kemudian Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

اللهُ أَرْحَمُ بِالْعِبَادِ الْمُؤْمِنِ مِنَ الْوَالِدَةِ الشَّفِيْقَةِ بِوَلَدِهَا

Artinya:

Kasih sayang Allah terhadap hamba-Nya yang mukmin melebihi kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya.

Dalam sebuah hadis masyhur, diriwayatkan dari Rasūlullāh s.a.w., beliau bersabda:

إِنَّ للهِ تَعَالَى مِائَةَ رَحْمَةٍ فَوَاحِدَةٌ مِنْهَا قَسَمَهَا بَيْنَ الْجِنِّ وَ الْإِنْسِ وَ الْبَهَائِمِ فَبِهَا يَتَعَاطَفُوْنَ وَ بِهَا يَتَرَاحَمُوْنَ وَ ادَّخَرَ مِنْهَا تِسْعَةً وَ تِسْعِيْنَ لِنَفْسِهِ لِيَرْحَمَ بِهَا عِبَادَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Artinya:

Allah mempunyai seratus rahmat. Satu di antaranya Dia bagikan di antara jin, manusia dan hewan. Karena satu rahmat ini, jin, manusia dan hewan saling mengasihi dan saling menyayangi. Sementara itu, Allah menyimpan rahmat yang sembilan puluh sembilan lagi buat Dzat-Nya, untuk mengasihi para hamba-Nya di hari kiamat.

Ketika Allah telah memberikan kepada anda dari rahmat yang satu – segala ini, segala karunia yang mulia ini, berupa kema‘rifatan (bisa mengenali-Nya), menjadi umat Muhammad yang dikasihi ini, serta mengetahui sunnah dan tingkah laku sahabat Nabi, serta berbagai nikmat yang ada di sisi anda, lahir dan batin, maka berharaplah akan anugerah Allah yang agung, semoga Allah berkenan menyempurnakan nikmat-nikmat tersebut. Sebab, siapa yang mulai memberikan kebaikan, maka sudah semestinya menyempurnakannya. Dan semoga, Allah akan menjadikan dari rahmat yang sembilan puluh sembilan, bagian yang benar-benar sempurna buat anda.

Kita memohon kepada Allah, semoga Dia tidak menyia-nyiakan harapan kita, untuk juga bisa mendapatkan karunia-Nya yang agung. Sungguh, Dia adalah Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *