005-4 Tahapan Pendorong | Minhaj-ul-Abidin

Dari Buku:

Minhajul ‘Abidin
Oleh: Imam al-Ghazali

Penerjemah: Moh. Syamsi Hasan
Penerbit: Penerbit Amalia Surabaya

Rangkaian Pos: 005 Tahapan Pendorong | Minhaj-ul-Abidin

Pokok kedua:

Mengingat dan merenungkan pekerjaan Allah dan bagaimana Dia memperlakukan hamba-Nya.

Dari sisi khauf, ketahuilah bahwa Iblis itu pernah beribadah kepada Allah selama 80,000 tahun. Menurut sebagian pendapat, bahwa setiap tempat yang muat ditempati telapak kaki, tentu ia gunakan sekali bersujud kepada Allah di tempat itu. Lalu Iblis meninggalkan perintah Allah hanya sekali saja, menyebabkan ia diusir oleh Allah dari menghadap di hadapan Allah. Dan ibadahnya yang pernah dilakukan selama 80,000 tahun itu dipukulkan ke wajahnya, seraya dimurkai Allah sampai hari kiamat. Allah menyediakan siksa yang teramat pedih untuk Iblis selama-lamanya.

Diriwayatkan bahwa Nabi s.a.w. pernah melihat Malaikat Jibril bergelayut pada kiswah (kain yang tergerai sebagai penutup) Ka‘bah berteriak-teriak meratap, memanggil-manggil: “Ya Tuhanku, janganlah Engkau rubah namaku dan jangan pula Engkau ganti jasadku.

Kemudian renungkan pula, Nabi Ādam a.s. adalah manusia pilihan dan nabi Allah, dia diciptakan Allah tanpa melalui proses kehamilan. Semua malaikat diperintahkan sujud kepadanya, dia dipikul di atas pundak para malaikat, menghadap kepada Allah. Tetapi, sekali saja, memakan buah yang dilarang Allah, dia tidak diizinkan bertempat di surga dan padanya diserukan: “Ingatlah! Tidak boleh menghadap-Ku orang yang mendurhakai-Ku.” Dan Allah memerintahkan para malaikat yang memikul tempat duduk Ādam, agar membawanya turun dari satu langit ke langit yang lain, hingga dijatuhkanlah ia ke bumi. Menurut satu riwayat, Allah tidak menerima tobat Adam, sampai ia menangis selama seratus tahun. Ādam merasakan kehinaan, kepayahan serta ujian Allah di dunia ini. Ujian, cobaan dan kepayahan itu akan juga dialami oleh anak cucu Ādam, selama-lamanya.

Selanjutnya, perhatikan pula tentang Nabi Nūḥ, bahwa Nabi Nūḥ a.s. adalah Syaikh para rasul. Dia mengemban tugas berjuang demi agama Allah. Perlakukan buruk dari kaumnya tak lagi dapat dihindari, namun ia hadapi dengan penuh ketabahan. Namun hanya karena satu hal, dia mengucapkan satu kalimat yang tidak pada tempatnya, lalu padanya diserukan, sebagaimana yang diterangkan di dalam al-Qur’ān:

فَلَا تَسْأَلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنِّيْ أَعِظُكَ أَنْ تَكُوْنَ مِنَ الْجَاهِلِيْنَ

Artinya:

Sebab itu, janganlah kamu memohon kepada-Ku, sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat)-nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.” (Hūd: 46)

Bahkan disebutkan dalam sebuah riwayat, bahwa Nabi Nūḥ tidak berani mengangkat kepalanya ke langit selama empat puluh tahun, karena merasa malu kepada Allah.

Begitu pula, peristiwa yang menimpa Nabi Ibrāhīm a.s., seorang Nabi Kekasih Allah. Ia tidak pernah melakukan kesalahan, kecuali hanya sekali. Namun betapa takutnya beliau dan merendahkan diri, sambil meratap, sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut:

وَ الَّذِيْ أَطْمَعُ أَنْ يَغْفِرَ لِيْ خَطِيْئَتِيْ يَوْمَ الدِّيْنِ

Artinya:

Dan yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat.” (asy-Syu‘arā’: 82)

Bahkan disebutkan dalam riwayat lain, bahwa Nabi Ibrāhīm menangis karena sangat takut, lalu Allah mengutus malaikat Jibril untuk mengatakan kepada Ibrāhīm: “Hai Ibrāhīm! Apakah anda pernah melihat ada kekasih menyiksa kekasihnya dengan api.” Beliau berkata: “Hai Jibril, kalau aku teringat kesalahanku, maka aku lupa akan kasih Allah kepadaku.”

Selanjutnya, dapat pula anda simak peristiwa yang dialami Nabi Mūsā bin Imrān, bahwa beliau tidak pernah melakukan kesalahan, kecuali hanya sekali, yaitu menampar orang Bani Isrā’īl. Namun betapa beliau merasa takut, tak henti-hentinya beliau merendahkan diri memohon ampun, seraya mengucap:

رَبِّيْ إِنِّيْ ظَلَمْتُ نَفْسِيْ فَاغْفِرْ لِيْ

Artinya:

Ya Tuhanku, aku telah menganiaya diriku sendiri, maka hendaklah Engkau berkenan mengampuniku.

Begitu juga kejadian yang dialami Bal‘am bin Baura pada masa Nabi Mūsā a.s. Oleh Allah ia dikaruniai keistimewaan, sehingga bila ia memandang ke langit, bisa menembus melihat ‘Arasy. Dialah yang dimaksud firman Allah s.w.t. berikut:

وَ اتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِيْ آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا

Artinya:

Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi al-Kitāb), kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu.” (al-A‘rāf: 175).

Bal‘am tidaklah melakukan kesalahan melainkan hanya sekali saja hatinya cenderung kepada dunia dan ahli dunia, serta tidak memuliakan kekasih Allah, yaitu Nabi Mūsā. Lalu ma‘rifat yang ada di hatinya dihilangkan oleh Allah dan dijadikan bagaikan anjing yang diusir tuannya.

Allah s.w.t. berfirman:

فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ

Artinya:

“….maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga).” (al-A‘rāf: 176)

Maka Bal‘am terjerumus ke dalam kesesatan dan kebinasaan, selamanya. Bahkan aku (al-Ghazālī) pernah mendengar ada ulama yang berkata: “Pada mulanya, ketika Bal‘am berada di dalam majelis belajar mengajar, terdapat dua belas ribu tempat tinta yang digunakan murid-muridnya untuk menulis ilmunya. Dan ia menjadi orang pertama yang mengarang kitab, dan ia menyebutkan dalam kitab karangannya itu, bahwa alam itu tidak ada yang menciptakan (menjadikan).”

Kita benar-benar memohon perlindungan kepada Allah, semoga Allah menjauhkan kita dari murka dan siksa-Nya yang amat pedih dan menghinakan, yang tentu tidak akan sanggup kita menanggungnya.

Renungkan, betapa kejinya godaan dunia, terlebih lagi terhadap ulama. Dan diingat benar-benar, bahwa urusan dunia itu sangat gawat, umur manusia sangat pendek, sementara ia begitu ceroboh dalam ber‘amal, pada hal Dzat Yang mengawasi, Maha Melihat. Betapa sulitnya mengakhiri ‘amal-‘amal kita dengan baik dan meminimalisir kesalahan kita, namun kita berharap semoga Allah memberikan anugerah dan pertolongan-Nya kepada kita. Karena, yang demikian itu bukan merupakan hal yang sulit bagi Allah.

Perhatikan pula kisah mengenai Nabi Dāūd a.s. khalifah Allah di bumi. Hanya karena dosa sekali, ia menangis hingga rerumputan tumbuh disebabkan air matanya. Beliau sangat takut kepada Allah dan selalu berdoa: “Ya Tuhanku, apakah Engkau tidak mengasihi tangisku dan kerendahan hatiku.” Lalu terdengar jawaban: “Hai Dāūd, aku lupa dosa anda dan ingat tangis anda.” Allah belum berkenan menerima tobat dosa Dāūd selama empat puluh hari, ada yang mengatakan empat puluh tahun.

Begitu pula kejadian yang menimpa Nabi Yūnus a.s. disebabkan ia satu kali marah yang tidak pada tempatnya, ia ditahan dalam perut ikan di dasar lautan selama empat puluh hari. Dalam pada itu Nabi Yūnus, berdoa memanggil-manggil.

أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّيْ كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ

Artinya:

Ya Tuhanku, tiada Tuhan selain Engkau. Maha suci Engkau. Sesungguhnya aku termasuk orang yang zhalim.

Ketika para malaikat mendengar suara Yūnus, mereka berkata: “Ya Tuhan kami, suara itu sudah kami kenal, tetapi datang terdengar dari tempat yang belum kami ketahui.” Allah berfirman: “Itu suara hamba-Ku, Yūnus.” Lalu para malaikat memberikan syafa‘at. Meski pun begitu, namanya dirubah menjadi Dzun-Nūn, nama yang ada kaitannya dengan tempat ia ditahan.

Allah s.w.t. berfirman:

فَالْتَقَمَهُ الْحُوْتُ وَ هُوَ مُلِيْمٌ، فَلَوْ لَا أَنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُسَبِّحِيْنَ، لَلَبِثَ فِيْ بَطْنِهِ إِلى يَوْمِ يُبْعَثُوْنَ

Artinya:

Maka Yūnus ditelan oleh ikan besar dalam keadaan tercela. Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit.” (ash-Shaffāt: 142-144).

Kemudian Allah menyebut nikmat dan karunia-Nya:

لَوْ لَا أَنْ تَدَارَكَهُ نِعْمَةٌ مِّنْ رَّبِّهِ لَنُبِذَ بِالْعَرَاءِ وَ هُوَ مَذْمُوْمٌ

Artinya:

Kalau sekiranya ia tidak segera mendapat nikmat dari Tuhannya, benar-benar ia dicampakkan ke tanah tandus dalam keadaan tercela.” (al-Qalam: 49)

Renungkanlah, siasat tersebut wahai manusia, makhluk yang lemah, begitu juga seterusnya sampai peristiwa yang berkenaan dengan tuan para rasul, baginda Muḥammad s.a.w. Terkait dengan yang terakhir ini, perhatikan firman Allah s.w.t.:

فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَ مَنْ تَابَ مَعَكَ وَ لَا تَطْغَوْا إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ

Artinya:

Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah tobar beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Hūd: 112)

Hingga Nabi Muḥammad s.a.w. pernah bersabda: “Surat Hūd dan semisalnya, membuat aku beruban.” Sebagian ulama berkata: “Maksud Rasūlullāh adalah ayat ini yang semisalnya di dalam al-Qur’ān.”

Lalu Allah s.w.t. berfirman:

وَ اسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ

Artinya:

Dan mohonlah ampunan untuk dosamu.” (al-Mu’min: 55)

Hingga, Allah benar-benar memberikan ampunan.

Allah s.w.t. berfirman:

وَ وَضَعْنَا عَنْكَ وِزْرَكَ، الَّذِيْ أَنْقَضَ ظَهْرَكَ

Artinya:

Dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu yang memberatkan punggungmu.” (Alam Nasyraḥ: 2-3)

Dan firman-Nya:

لِيَغْفِرَ لَكَ اللهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَ مَا تَأَخَّرَ

Artinya:

Supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang.” (al-Fatḥ: 2).

Setelah itu, Rasūlullāh s.a.w. memperbanyak shalat malam hingga kakinya bengkak. Ketika para sahabat bertanya: “Mengapa anda melakukan shalat malam hingga demikian, ya Rasūlallāh?” pada hal Allah telah mengampuni dosa anda yang telah lewat dan yang akan datang.”

Nabi s.a.w. bersabda: “Apakah aku ini tidak patut menjadi hamba Allah yang banyak bersyukur kepada-Nya?

Dan beliau bersabda:

لَوْ أَنِّيْ وَ عِيْسَى أُوْخِذْنَا بِمَا كَسَبَتْ هَاتَانِ لَعُذِّبْنَا عَذَابًا لَمْ يُعَذِّبْهُ أَحَدٌ مِنَ الْعَالَمِيْنَ

Artinya:

Seandainya aku dan ‘Īsā bin Maryam disiksa lantaran apa yang diperbuat dua orang ini, niscaya kami disiksa dengan siksaan yang belum pernah ditimpakan kepada seorang pun penghuni semesta alam.

Adalah Rasūlullāh s.a.w. ketika mengerjakan shalat malam, beliau menangis, seraya berdoa:

أَعُوْذُ بِعَوْفِكَ مِنْ عِقَابِكَ وَ بِرَضَاكَ مِنْ سَخْطِكَ وَ أَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ لَا أُحْصِيْ ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ

Artinya:

Ya Allah, aku berlindung kepada ampunan-Mu dari siksa-Mu, aku berlindung kepada rida-Mu dari neraka-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa-Mu. Aku tidak bisa menghitung pujian kepada-Mu, sebagaimana Engkau menyanjung Dzāt-Mu.

Selanjutnya, perhatikan pula para sahabat Rasūlullāh s.a.w. di mana mereka adalah sebaik-baik umat yang hidup di masa yang paling baik. Mereka adalah orang-orang yang sedikit bergurau dan tertawa. Namun demikian turunlah ayat:

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِيْنَ آمَنُوْا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوْبُهُمْ لِذِكْرِ اللهِ

Artinya:

Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah.” (al-Ḥadīd: 16)

Kemudian bagi umat ini, diadakan peraturan had, adab dan siasat yang besar. Pada hal umat ini, merupakan umat yang penuh kedamaian dalam limpahan rahmat. Sampai Yūnus bin ‘Ubaid berkata: “Janganlah anda merasa aman dari tindakan hukum pemotongan tangan anda yang terbaik karena mencuri lima dirham, sehingga rasa aman itu menjadi siksa di akhirat nanti.”

Demikianlah, kita memohon kepada Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Pemurah, semoga Ia tidak bertindak kepada kita, melainkan hanya dengan kemurahan-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Penyayang daripada para penyayang.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *