BAB V
TAHAPAN PENDORONG
(Bagian 2)
Saya katakan, jadi, pokok urusan ibadah itu berkisar pada dua hal, yaitu melakukan taat kepada Allah dan menghentikan laku maksiat. Keduanya tidak akan berjalan dengan baik dan sempurna, sementara nafsu senantiasa mengajak pada kejahatan.
Nafsu semacam itu, harus diatasi dengan membuat senang kepada pahala Allah dan menakut-nakuti dengan siksa-Nya, berharap akan janji Allah, sekaligus menakut-nakuti dengan ancaman ‘Adzāb-Nya. Karena, binatang binal saja membutuhkan orang yang menuntun dan menggiring. Ketika terjerumus ke jurang, kadang-kadang perlu dicambuk dengan cemeti, di samping diperlihatkan gandum (makanan kesukaannya) kepada binatang itu, agar ia segera bangkit dan selamat dari jurang itu.
Seorang anak kecil, tidak akan mau belajar dan membaca kitab, melainkan harus dibimbing dan diberi harapan oleh orang tuanya dan ditakut-takuti hukuman yang bakal diterimanya dari ustādz, jika tidak mau belajar.
Begitu pula halnya dengan nafsu, ia seperti binatang binal yang terperosok ke dalam kecintaan dunia. Maka harus dicambuk dengan ditakut-takuti siksa dan dihalang-halangi, di samping diberi harapan dengan perkara yang menyenangkan dan menuntutnya. Nafsu juga seperti anak nakal, perlu dibawa ke sekolah ibadah dan taqwā (agama), yang mengajarkan tentang kepedihan siksa neraka yang amat mengerikan dan menakutkan serta adanya pahala surga yang amat menyenangkan dan harapan-harapan yang dapat mendorongnya melakukan amal surga.
Demikian pula seorang hamba yang hendak ibadah dan riyādhah, harus mendidik nafsunya dengan dua hal tersebut, yaitu dengan rajā’ dan khauf. Jika tidak, maka nafsu itu tidak akan mau diajak ibadah. Dalam konteks inilah banyak ayat-ayat al-Qur’ān yang menyebutkan dua hal tersebut, mengenai janji dan ancaman, mengenai janji pahala surga yang menyenangkan dan ancaman, mengenai janji pahala surga yang menyenangkan dan ancaman siksa yang menakutkan. Penjelasan mengenai janji pahala yang menggiurkan membuat seseorang tidak sabar untuk segera meraihnya. Sementara mengenai ancaman siksa neraka yang mengerikan, membuat seseorang tidak memiliki kesabaran untuk segera lari menjauhinya.
Dengan demikian, anda harus memiliki rasa takut pada ‘adzāb Allah yang amat pedih (khauf), dan harapan akan janji pahala surga yang penuh kenikmatan (rajā’), agar tujuan ibadah yang dimaksud dapat tercapai. Dan anda pun menjadi merasa ringan menghadapi kemasyarakatan dalam menjalankan ibadah. Kepada Allah kita memohon petunjuk, dengan anugerah dan rahmat-Nya.
Jika anda bertanya: “Apakah hakikat rajā’ dan khauf serta hukumnya?” Ketahuilah, bahwa khauf dan rajā’ menurut ulama kita, kembali kepada gerak hati, keduanya merupakan urusan hati. Sementara yang dapat dikuasai oleh manusia adalah hal-hal yang mendahuluinya. Para ulama itu berkata: “Khauf adalah suatu getaran dalam hati ketika ada perasaan akan menemui hal-hal yang tidak disukai. Sedangkan khasyyah memiliki kesamaan makna dengan khauf. Bedanya, kalau khasyyah menuntut adanya ta‘zhīm (pengagungan). Lawan khauf adalah berani atau merasa aman. Karena orang yang merasa aman adalah orang yang berani menentang Allah. Jadi, yang lebih tepat, lawan takut adalah berani.
Ada pun Pendahuluan khauf itu ada empat, yaitu:
Ada pun rajā’ ialah kebanggaan dan kegembiraan hati, sebab mengetahui anugerah keutamaan Allah, dan kesenangan hati terhadap kekuasaan akan rahmat Allah. Ini juga termasuk gerak hati, yang berada di luar kekuasaan seorang hamba.
Rajā’ yang dapat dikuasai oleh hamba, ialah mengingat-ingat karunia Allah dan keluasan rahmat-Nya. Terkadang, kehendak terhadap perkara yang mengkhawatirkan, dengan menyebut pengecualian, juga disebut rajā’.
Maksud dari bab ini adalah yang pertama, mengingat-ingat menurut kegembiraan dan kesenangan hati. Sedang lawan rajā’ adalah putus asa dari rahmat Allah dan berhenti mengingat Allah. Hal ini merupakan murni kemaksiatan. Rajā’ merupakan keharusan bagi seorang hamba, ketika tidak terjadi jalan yang menghalangi asa. Bila terjadi sebaliknya, maka rajā’ menjadi sunah baginya, setelah secara global anda meyakini keluasan akan anugerah dan rahmat Allah s.w.t.
Ada pun pendahuluan rajā’ itu, ada empat, yaitu:
Apabila anda konsisten dalam menetapi kedua zikir pendahuluan dari khauf dan rajā’ tersebut, niscaya anda dapat merasakan khauf dan rajā’ yang semestinya dalam kondisi apa pun.
(Pasal): Wahai manusia, anda harus menempuh tahapan ini dengan penuh kehati-hatian, menjaga diri dan memperhatikan batas-batas pemeliharaannya. Sebab, tahapan ini sangat sulit dan banyak mengandung bahaya, karena berada di antara dua jalan yang menakutkan dan membinasakan, yakni merasa aman (dari ‘adzāb Allah) dan putus asa (dari rahmat Allah). sedangkan jalan rajā’ dan khauf merupakan jalan lurus yang berada di tengah-tengah antara dua jalan bengkok tersebut.
Apabila jalan rajā’ anda lebih besar hingga tidak merasa takut sama sekali terhadap ‘adzāb Allah, maka anda telah terjatuh pada jalan merasa aman dari siksa Allah.
Allah s.w.t. berfirman:
فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُوْنَ
Artinya:
“Tiada yang merasa aman dari ‘adzāb Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (al-A‘rāf: 99)
Sebaliknya, apabila khauf lebih menguasai anda, sampai anda tidak mempunyai rajā’ sama sekali, maka anda jatuh terperosok ke jalan putus asa dari rahmat Allah.
Allah s.w.t. berfirman:
إِنَّهُ لَا يَيْأَسُ مِنْ رَوْحِ اللهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُوْنَ
Artinya:
“Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yang kafir.” (Yūsuf: 87).
Apabila anda telah berada pada jalan antara khauf dan rajā’ dan berpegang teguh pada keduanya, itulah jalan tengah yang tepat dan lurus. Jalan itu merupakan jalan yang ditempuh para wali Allah dan hamba-hamba pilihan-Nya. Sebagaimana yang digambarkan Allah dalam firman-Nya:
إِنَّهُمْ كَانُوْا يُسَارِعُوْنَ فِي الْخَيْرَاتِ وَ يَدْعُوْنَنَا رَغَبًا وَ رَهَبًا وَ كَانُوْا لَنَا خَاشِعِيْنَ
Artinya:
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo‘a kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyū‘ kepada Kami.” (al-Anbiyā’: 90)