005-1 Tahapan Pendorong | Minhaj-ul-Abidin

Dari Buku:

Minhajul ‘Abidin
Oleh: Imam al-Ghazali

Penerjemah: Moh. Syamsi Hasan
Penerbit: Penerbit Amalia Surabaya

Rangkaian Pos: 005 Tahapan Pendorong | Minhaj-ul-Abidin

BAB V

TAHAPAN PENDORONG

(Bagian 1)

 

Selanjutnya, anda harus terus berjalan, ketika jalan sudah lempeng, mudah dilalui, rintangan-rintangan telah rantas dan gangguan-gangguan yang datang mendadak telah sirna. Namun, anda tidak bisa begitu saja berjalan dengan lurus, jika tidak mempunyai perasaan takut terhadap ancaman azab (khauf) dan pengharapan terhadap rahmat Allah (rajā’), serta memenuhi hak-hak keduanya.

Keharusan memiliki rasa khauf, didasarkan atas dua hal, yaitu:

Pertama: Agar terhindar dari kemaksiatan. Sebab nafsu yang senantiasa mengajak berbuat jahat itu, begitu mudah cenderung kepada laku jahat, selalu melirik bermain mata kepada fitnah. Nafsu itu, tidak henti-hentinya berbuat demikian, kecuali bila ia dibuat takut dan diancam. Nafsu tidak mempunyai tabiat baik, tidak malu berbuat apa saja yang bertentangan dengan kesetiaan dan kecintaan.

Nafsu itu sebagaimana yang dikatakan seorang penyair:

الْعَبْدُ يُقْرَعُ بِالْعَصَا

وَ الْحُرُّ تُكْفِيْهِ الْمَلَامَةْ

Budak dipukul dengan tongkat

Sedangkan orang mereka

Cukup diperingatkan dengan kata-kata keras.

Mengenai urusan nafsu, cara mengatasinya harus dilecut dengan cambuk yang dapat membuatnya jera dan takut, baik berupa ucapan, tindakan atau pikiran. Sebagaimana yang dituturkan oleh orang saleh: “Suatu ketika, nafsunya mengajak berbuat maksiat. Lalu ia keluar dan melepas pakaiannya, kemudian berguling-guling di atas tanah yang panas, seraya berkata kepada nafsunya: “Rasakanlah! Neraka Jahannam itu lebih panas daripada apa yang anda rasakan ini. Pada malam hari, anda menjadi bangkai, sementara pada siang harinya menjadi pemalas.”

Kedua: Agar tidak ‘ujub (membangga-banggakan dengan sombong) akan ketaatan dan amal salehnya. Sebab, jika sampai bersikap ‘ujub, maka dapat menyebabkannya celaka. Dan nafsu itu harus tetap dipaksa, dengan dicela dan dihinakan mengenai apa yang ada padanya yang berupa kejahatannya, dosa-dosa dan berbagai macam bahayanya.

Sebagaimana keterangan yang diriwayatkan dari Rasūlullāh s.a.w., beliau bersabda:

لَوْ أَنِّيْ وَ عِيْسَى أُخِذْنَا بِمَا اكْتَسَبَتْ هَاتَانِ لَعُذِّبْنَا عَذَابًا لَمْ يُعَذِّبْهُ أَحَدٌ مِنَ الْعَالَمِيْنَ وَ أَشَارَ بِإِصْبَعَيْهِ

Artinya:

Seandainya aku dan Nabi ‘Īsā dihukum oleh Allah lantaran apa yang diperbuat oleh dua hal ini, tentu kami disiksa dengan siksa yang belum pernah dialami oleh seorang pun manusia di alam ini, lalu beliau memberikan isyarat dengan dua jari beliau.

Diceritakan dari Ḥasan Bashrī, bahwa ia berkata: “Salah seorang di antara kita, tidak akan bisa aman, setelah melakukan dosa, sementara pintu ampunan telah tertutup, tanpa bisa memasukinya. Sehingga salah seorang dari kita yang berbuat maksiat itu, berarti berbuat tidak pada tempatnya.”

‘Abdullāh bin Mubārak pernah mencela nafsunya sendiri dengan berkata: “Ucapan anda seperti ucapan orang yang zuhud, tetapi, perbuatan anda seperti perbuatan orang munafik. Sementara anda ingin masuk surga. Jauh amat, mana mungkin? Surga itu ada orang-orangnya sendiri. Orang-orang yang mempunyai surga itu tidak beramal seperti yang anda lakukan.”

Ucapan peringatan dan yang semacamnya itu, hendaknya senantiasa diulang-ulang untuk mengingatkan diri sendiri, agar tidak bersikap ‘ujub dalam melakukan ketaatan dan agar tidak terjerumus ke dalam kemaksiatan.

Ada pun keharusan memiliki rasa rajā’, dikarenakan dua hal, yaitu:

Pertama: Agar bersemangat dalam melakukan ketaatan. Sebab, berbuat baik itu berat, dan setan senantiasa mencegahnya, hawa nafsu tak henti-hentinya mengajak pada selain yang baik. Keadaan orang yang lalai seperti kebanyakan orang, mempunyai watak menuruti hawa nafsu secara terang-terangan. Sedangkan pahala yang dicari dengan taat itu, tidak kelihatan mata dan bersifat ghaib. Sementara jalan guna memperoleh pahala itu begitu jauh.

Apabila demikian keadaannya, tentu nafsu tidak bersemangat dalam mengerjakan kebaikan, tidak menyukai dan tidak pula mau bergerak guna melakukan kebaikan. Dalam menghadapi hal ini, harus dihadapi dengan rajā’ yang kuat, mengharapkan rahmat Allah dan kebaikan pahala-Nya.

Guruku berkata: “Kesedihan itu dapat mencegah manusia dari makan. Khauf dapat mencegah orang berbuat dosa. Sedangkan rajā’ bisa menguatkan keinginan untuk melakukan ketaatan. Ingat mati dapat menjadikan orang bersikap zuhud dan tidak mengambil kelebihan harta duniawi yang tidak perlu.

Kedua: Agar terasa ringan menanggung berbagai kesulitan dan kesusahan. Barang siapa telah mengetahui kebaikan akan sesuatu yang menjadi tujuan, tentu menjadi ringan baginya untuk mengeluarkan apa yang perlu diberikan. Ketika seseorang benar-benar menyukai sesuatu, tentu ia sanggup memikul beban beratnya dan tidak peduli apa yang akan ia hadapi dan berapa pun ongkosnya. Jika seseorang benar-benar mencintai orang lain, tentu ia dengan senang hati ikut menanggung cobaan orang yang dicintainya itu. Bahkan merasa senang dengan cobaan itu.

Coba lihat, orang yang mengambil madu lebah, ia tidak mempedulikan sengatan lebah itu, karena ingat akan manisnya madu. Perhatikan pula, si tukang batu, meski pun harus menaiki tangga yang sangat tinggi dengan membawa beban berat, sehari suntuk, dengan sengatan panas matahari, ia tetap tidak peduli, sebab ia mengingat betapa senangnya menerima dirham sebagai upah yang akan diperolehnya, di sore hari, sehabis kerja. Seorang petani tidak akan mempedulikan panas sengatan panas dan dingin, menanggung kepayahan selama setahun, karena ingat akan buah atau hasil panen yang melimpah.

Begitu pula orang-orang yang tekun beribadah, mereka bersungguh-sungguh apabila teringat surga yang indah dengan berbagai kenikmatannya, kecantikan bidadari-bidadarinya, kemegahan istananya, kelezatan makanan dan minumannya, keindahan pakaian dan keelokan perhiasannya dan semua apa yang disediakan Allah di dalam surga. Mereka merasa ringan menanggung kepayahan dalam beribadah, walau pun tidak sempat merasakan kenikmatan dan kelezatan dunia.

Diceritakan, bahwa murid-murid Sufyān ats-Tsaurī berkata kepadanya, mengenai ketakwaan dan kesungguhan ibadahnya, serta kesahajaan keadaannya, yang selama ini mereka lihat. Mereka berkata: “Wahai Ustādz, seandainya anda mau mengurangi kepayahan yang demikian itu, tentu anda tetap dapat mencapai maksud anda, in syā’ Allāh.”

Sufyān menjawab: “Bagaimana aku tidak bersungguh-sungguh, sebab aku pernah mendengar bahwa ahli surga itu berada pada tempat mereka, lalu datanglah nur yang menerangi delapan surga. Mereka menyangka bahwa nur itu dari sisi Allah, maka mereka pun menyungkurkan wajahnya bersujud. Lalu ada panggilan dari arah Allah: “Wahai penduduk surga! Angkatlah kepala anda! Apa yang anda sangka itu tidak lain hanyalah nur seorang bidadari yang tersenyum di depan suaminya.”

Selanjutnya, Sufyān mendendangkan bait-bait sya‘ir:

مَا ضَرَّ مَنْ كَانَتِ الْفِرْدَوْسُ مَسْكَنَهُ

مَاذَا تَحَمَّلَ مِنْ بُؤْسٍ وَ اِقْتَارٍ

تَرَاهُ يَمْشِيْ كَئِيْبًا خَائِفًا وَجَلاً

إِلَى الْمَسْجِدِ يَمْشِيْ بَيْنَ أَطْمَارِ

يَا نَفْسُ مَا لَكِ مِنْ صَبْرٍ عَلَى لَهَبٍ

قَدْ حَانَ أَنْ تُقْبِلِيْ مِنْ بَعْدِ إِدْبَارٍ

Tidak akan merasakan keberatan menghadapi bahaya orang yang surga Firdaus sebagai tempatnya.

Kamu dapat melihatnya berjalan dalam keadaan menanggung sedih dan gelisah khawatir dan takut,

Menuju ke masjid-masjid berjalan dengan pakaian yang sederhana dan lusuh

Hai nafsu! Kamu pasti tidak akan kuat menahan jilatan nyala api yang berkobar-kobar

Sudah saatnya kamu menghadap, setelah lama berpaling.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *