SYARAH HIKMAH KE-4
أَرِحْ نَفْسَكَ مِنَ التَّدْبِيْرِ فَمَا قَامَ بِهِ غَيْرُكَ عَنْكَ لَا تَقُمْ بِهِ لِنَفْسِكَ
“Istirahatkan dirimu atau pikiranmu dari kesibukan mengatur kebutuhan duniamu. Sebab apa yang sudah dijamin diselesaikan oleh selain kamu, tidak usah engkau sibuk memikirkannya.”
Sejatinya, perkara rezeki sudah diatur oleh Allah semenjak engkau belum ada.
Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:
أَرِحْ نَفْسَكَ مِنَ التَّدْبِيْرِ
“Istirahatkan dirimu atau pikiranmu dari kesibukan mengatur kebutuhan duniamu.”
Istirahatkanlah dirimu dari memikirkan sesuatu yang belum terjadi. Yakni jangan banyak berangan-angan dan memikirkan hal-hal yang belum terjadi, seperti halnya memikirkan makan apa untuk hari esok atau bulan depan, karena Allah sudah mengira-ngirakan rezeki untukmu jauh sebelum engkau ada, begitu juga ajalmu, nikmat, dan cobaan untukmu. Belum tentu apa yang engkau pikirkan besok akan terjadi, sehingga pikiran dan angan-angan itu tidak berguna dan sia-sia belaka.
Tidak pernahkan engkau berpikir, dulu sebelum engkau ada, engkau pun tidak pernah memikirkan dan tidak meminta pada Allah untuk mewujudkanmu, lalu Allah berkehendak untuk menampakkanmu dengan kehendak-Nya sendiri bukan dengan adanya permintaanmu. Allah menampakkanmu dengan kehendak-Nya sendiri melalui tulang rusuk kedua orang tuamu, lalu Allah memindahkan dalam kandungan ibumu, mulai dari segumpal darah selama 40 hari, lalu menjadi segumpal daging selama 40 hari, lalu Allah membentukmu menjadi laki-laki atau perempuan selama 40 hari dan memberinya ruh, sehingga menjadi sebuah janin yang membutuhkan makan dan minum. Kemudian Allah menjadikan darah haidh sebagai makanan dan minuman janin tersebut, dan Allah menetapkan ajal, rezeki, cobaan dan nikmat untuknya begitu pula keberuntungan dan musibah atau kegagalan.
Kemudian Allah mengeluarkanmu dari perut ibumu (lahir), engkau pun berkeinginan untuk makan dan minum, saat itu engkau sangat lemah dan tidak berdaya untuk mengunyah. Sehingga Allah menjadikan air susu ibumu sebagai makanan dan minuman supaya engkau mampu bertahan. Engkau menjadi beban yang teramat menyusahkan, akan tetapi Allah menaruh rasa belas kasih pada hati kedua orang tuamu. Sehingga mereka mau merawatmu dengan sungguh-sungguh dan penuh kasih-sayang. Mereka mengayun menimangmu dan menyiapkan kebutuhanmu, mulai engkau bayi sampai engkau besar. Lalu Allah memberi engkau kecerdasan, memberi akal sesuai kadarnya, memberi iman, ilmu dan lainnya.
Apakah semua itu diperoleh sebab ikhtiyār dan permohonanmu kepada Allah? Atau karena angan-angan dan pemikiranmu? Tidak! Semua itu terjadi atas kehendak qadhā’ qadar dan belas kasih Allah. Jika begitu halnya, maka apalah guna engkau ikut serta mengangankan, memikirkan, dan mengira-ngirakan? Karena orang yang ikut serta memikirkan perkara yang bukan menjadi urusannya itu tidak ada gunanya. Oleh karena itu, Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:
فَمَا قَامَ بِهِ غَيْرُكَ عَنْكَ لَا تَقُمْ بِهِ لِنَفْسِكَ
“Sebab apa yang sudah dijamin diselesaikan oleh selain kamu, tidak usah engkau sibuk memikirkannya.”
Apa yang sudah diurus untukmu oleh Tuhanmu (Allah), janganlah engkau turut mengurusnya.
Apa yang sudah ditanggung oleh Allah untukmu, apakah itu dalam hal-ihwal rezekimu serta lainnya, maka engkau jangan ikut serta mengurusnya, karena Allah berfirman:
وَ مَا مَنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللهِ رِزْقُهَا.
“Tidak ada satu binatang melatapun di bumi ini kecuali Allah sudah menanggung rezekinya....” (Hūd [11]: 6).
Andaikan seorang raja dunia sudah menanggung kebutuhan duniawi selama hidupmu, dia memberimu sebuah bukti berupa surat yang di dalamnya ada tanda tangan raja itu sendiri, bahwa beliau benar-benar sudah menanggung makanan dan pakaian untukmu sepanjang hidupmu, maka engkau akan benar-benar mau mempercayainya dengan adanya surat dari raja tersebut. Nah, bagaimana bila yang menjamin dan menanggungnya adalah raja dari semua raja yang menguasai langit dan bumi, lebih-lebih Dia sudah menurukan sebuah surat melalui kitab suci-Nya (al-Qur’ān). Lalu apakah engkau tidak mempercayainya dan engkau masih saja memikir-mikirkan masalah pangan dan sandangmu, dalam artian, tidak mempercayai janji Allah. Maka dengan adanya imanmu yang seperti ini, sungguh amat hina dirimu. Jikalau engkau mau mempercayai janji raja dunia yang lemah tapi tidak mau mempercayai janji Allah, Dzat yang menguasai langit dan bumi, maka sungguh telah hilang keimanan pada dirimu, maka renungkanlah nasehat ini, wallāhu a‘lam.
Ketahuilah, wahai saudaraku sekalian, sesungguhnya sesuatu yang bisa menjadikan hilangnya tadbīr (memikirkan suatu hal yang belum terjadi atas dasar keinginan nafsu dan syahwat dan ikhtiyār adalah melihat pada 10 perkara:
Pertama, ketahuilah bahwa Allah sudah mengatur urusanmu sebelum engkau ada.
Kedua, engkau akan mengetahui bahwasanya tadbīr yang engkau lakukan itu karena engkau tidak mengetahui kebaikan Allah padamu. Seorang mu’min pasti tahu bahwa meskipun dia tidak men-tadbīr urusan dirinya, Allah pasti memberikan yang terbaik baginya. Apakah engkau tidak mendengar firman Allah di dalam al-Qur’ān?
وَ مَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ.
“….dan barang siapa yang berserah diri kepada Allah maka Allah-lah Dzat yang mencukupinya….” (ath-Thalāq [65]: 3).
Maka ketika engkau ingin mengurus suatu kebaikan untuk dirimu maka janganlah engkau mengurusnya lagi akan tetapi hanya berserah dirilah kepada Allah.
Ketiga, ketahuilah bahwa sesungguhnya ketentuan (qadar) Allah itu tidak berjalan sesuai tadbir-mu, bahkan kebanyakan hal yang terjadi pada dirimu itu adalah sesuatu yang tidak pernah engkau pikirkan dan rencanakan.
Keempat, ketahuilah bahwasanya Allah-lah yang menguasai segala kerajaan; 7 langit, 7 bumi, ‘arsy, kursy, dan tidak ada satupun yang ikut serta berkuasa. Kesemuanya itu tunduk pada apa yang diperintahkan Allah s.w.t. dan berserah diri pada tadbīr Allah, maka lebih besar manakah antara kepala manusia dan langit beserta bumi seisinya? Sehingga engkau tidak mau menerima tadbīr Allah dan engkau masih saja ikut serta mengurus dirimu.
Kelima, engkau sudah mengetahui bahwa engkau adalah milik Allah, jika engkau sudah dimiliki Allah maka dirimu bukan lagi milikmu dengan dalil bahwa engkau tidak bisa membuat kesembuhan pada dirimu sendiri. Sehingga, sesuatu yang bukan menjadi milikmu maka tidak layak bagimu untuk mengurusnya, karena engkau akan meng-ghashab, sebab memerintah yang bukan milikmu. Adapun sesuatu yang engkau miliki maka kepemilikan itu hanya menurut hukum syara‘, bukan menurut hukum ḥaqīqī. Maka pahamilah!
Keenam, hendaknya engkau ketahui bahwa engkau ini hanya bertamu kepada Allah. Karena semua dunia ini adalah ibarat “desa”-Nya Allah, dan engkau itu hanya beristirahat di dalamnya, sekadar bertamu kepada Allah. Adapun hak-hak tamu adalah tidak perlu ikut mengurus makanan apa yang hendak dimakan, bahkan jangan ber-ikhtiyār untuk membuat hidangan sendiri karena pemilik rumah pasti sudah mengatur hidangannya. Begitu pula jika yang didatangi (dikunjungi) adalah raja yang amat kaya raya, maka tidak layak bagimu untuk ikut serta mengurusnya hingga mencapai tiga hari. Karena sabda Rasūlullāh s.a.w.:
الضِّيَافَةُ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ
“Hidangan tamu itu selama tiga hari.”
Engkau bertamu kepada Allah s.w.t., sedang satu hari menurut Allah sama dengan seribu tahun menurut perhitungan harimu. Allah berfirman:
وَ إِنَّ يَوْمًا عِنْدَ رَبِّكَ كَأَلْفِ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّوْنَ.
“Sesungguhnya satu hari menurut Allah itu sama halnya seribu tahun menurut perhitungan hari kalian….” (al-Ḥajj [22]: 47).
Maksudnya, jika engkau hidup selama tiga ribu tahun, maka Allah akan memberimu hidangan (rezeki) seumur hidupmu, tanpa kurang sesuatu apapun, dan bila umurmu tidak sampai tiga ribu tahun, maka Allah akan menyempurnakan hidangan tersebut di akhirat kelak, dengan menetapkanmu di surga atas fadhal Allah. Wallāhu a‘lam.
Pahamilah!
Ketujuh, hendaknya engkau merenungkan firman Allah yang berbunyi:
اللهُ لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ.
“Allah, tidak ada tuhan melainkan Dia Yang Hidup Kekal lagi Terus-menerus mengurus (makhluk-Nya)….” (al-Baqarah [2]: 255).
Allah adalah Dzat yang mengurus hamba-Nya baik di dunia maupun di akhirat, di dunia dengan memberi rezeki dan di akhirat dengan memberi pahala dan pembalasan (amal perbuatannya). Maka, jika engkau sudah mengetahui bahwa Allah bersifat Qayyūm (Maha Mengurus makhluk-Nya) maka berserah dirilah kepada-Nya!
Kedelapan, hendaklah engkau disibukkan dengan beribadah kepada Allah sampai ajal menjemputmu, Allah berfirman:
وَ اعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِيْنُ.
“Beribadah atau sembahlah Tuhanmu hingga engkau menghadapi kematian….” (al-Ḥijr [15]: 99).
Ketika engkau tersibukkan oleh ibadah maka engkau tidak akan berangan-angan dan ber-tadbīr untuk dirimu sendiri. Wallāhu a‘lam.
Kesembilan, sesungguhnya engkau sudah mengetahui bahwa engkau adalah hamba Allah, dan hak-hak hamba adalah hendaknya tidak ikut serta mengurus dan mengatur sebagaimana tuannya. Akan tetapi, kewajibannya adalah melayani apa yang diperintahkan sang majikan, majikannya yang mengatur pemberian. Tidakkah engkau mendengar firman Allah di dalam al-Qur’ān?
وَ أْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَ اصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ.
“(Wahai Muḥammad) Perintahkanlah keluargamu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah di dalamnya (perkara shalat). Aku tidak meminta rezeki darimu (untuk memberi rezeki kepada keluargamu) akan tetapi Aku-lah yang memberimu (dan keluargamu) rezeki…..” (Thāhā [20]: 132).
Hal ini berarti tetaplah melayani majikanmu (Allah) dan majikanmu yang akan menyiapkan atau mengurus sandang panganmu.
Kesepuluh, sesungguhnya engkau tidak mengetahui tentang akhir suatu perkara dan engkau tidak bisa memperkirakannya. Engkau menganggap suatu perkara itu bermanfaat, namun nyatanya membahayakan, engkau anggap berbahaya tapi nyatanya bermanfaat.
Ketahuilah, sesungguhnya meninggalkan tadbīr dan ikhtiyār serta mau menerima atau rela dengan tadbīr Tuhanmu itu adalah ibadah yang paling utama. Sesungguhnya musibah yang paling besar adalah ikut campur mengatur dengan ikhtiyār dan tadbīr-nya sendiri. Musibah putra nabi Nūḥ a.s. yang mati dalam keadaan kafir, adalah sebab mengikuti tadbīr-nya sendiri dan menjauh dari tadbīr Allah. Dan juga kafirnya iblis itu sebab mengikuti tadbīr-nya sendiri dan tidak mau menerima tadbīr Allah.