3. سَوَابِقُ الْهِمَمِ لَا تَحْرِقُ أَسْرَارَ الْأَقْدَارِ.
Tekad yang kuat takkan mampu menembus dinding takdir.
– Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī –
Tekad adalah kekuatan jiwa yang bisa memengaruhi segala sesuatu. Orang-orang sufi menyebutnya dengan himmah. Tekad ini takkan berpengaruh apa-apa, kecuali dengan takdir dan ketentuan Allah.
Hikmah di atas menguatkan hikmah sebelum dan sesudahnya. Seakan Ibnu ‘Athā’illāh ingin menyatakan bahwa keinginanmu tidak akan ada gunanya bila berbeda dengan keinginan Tuhanmu. Jika tekad yang kuat saja tidak akan membuahkan hasil apa-apa, kecuali dengan takdir dan izin Allah, apalagi tekad yang lemah, seperti halnya tekadmu, wahai murīd. Hikmah ini ditujukan untuk mendinginkan api ketamakan yang menyala-nyala di dalam hatimu yang selalu yakin bahwa segala sesuatu itu bergantung pada usahamu sendiri dan pasti berhasil.
4. أَرِحْ نَفْسَكَ مِنَ التَّدْبِيْرِ فَمَا قَامَ بِهِ غَيْرُكَ عَنْكَ لَا تَقُمْ بِهِ لِنَفْسِكَ
Istirahatkan dirimu dari kesibukan mengurusi duniamu. Urusan yang telah diatur Allah tak perlu kau sibuk ikut campur.
– Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī –
Seseorang Kerap merencanakan berbagai hal bagi dirinya sesuai dengan keinginan nafsunya. Kemudian, untuk menggapai rencana yang telah ditetapkannya itu, ia melakukan berbagai pekerjaan yang menyibukkan dirinya. Tentu saja, hal ini akan membuatnya lelah. Bahkan mungkin pula kecewa, terutama bila sebagian besar perkara yang telah direncanakannya itu tidak berhasil diwujudkan.
Dengan menggunakan lafaz “istirahat”, Ibnu ‘Athā’illāh ingin menjelaskan kepada para murīd bahwa mereka dituntut untuk meninggalkan segala perkara yang menyebabkan keletihan dan penderitaan. Kecuali, jika perencanaan atau pengaturan tersebut ditujukan untuk sekadar memenuhi tuntutan hidup dan tak sampai memberatkan. Tentu saja, hal ini tidak akan merugikan diri. Bahkan pepatah mengatakan: “Perencanaan adalah setengah dari kehidupan.”
Urusan-urusan yang telah diatur Allah hendaknya dijauhi oleh seorang murīd. Ia tak perlu lagi sibuk mengurusi apa yang telah ditangani Allah karena tindakan semacam itu termasuk sikap “sok tahu” yang tak layak dilakukan oleh orang yang berakal. Lagi pula, tindakan itu bertentangan dengan prinsip rubūbiyyah (kepengaturan) dan takdir Allah, selain juga bisa melalaikan ibadah.
Hikmah di atas ditujukan sebagai peringatan bagi para murid karena biasanya apabila seorang murīd sedang menghadap Tuhan dan sibuk dengan zikir-zikir dan ibadah-ibadahnya, seluruh sebab penghidupan duniawi akan terputus darinya. Saat itulah, setan datang dan mulai membisikinya, mengiming-iminginya dengan berbagai hal yang sebagian besarnya tidak akan pernah terwujud. Bisikan setan itu kemudian akan membuat si murīd lalai, bahkan meninggalkan kebiasaan zikir dan ibadah. Tips untuk menghindari hal itu ialah banyak berzikir dan riyādhah (olah jiwa). Dengan zikir dan riyādhah, seorang murid akan dijauhi setan dan terhindar dari kesibukan menyusun rencana ini dan itu yang membuatnya letih.
5. اِجْتِهَادُكَ فِيْمَا ضُمِنَ لَكَ وَ تَقْصِيْرُكَ فِيْمَا طُلِبَ مِنْكَ دَلِيْلٌ عَلَى انْطِمَاسِ الْبَصِيْرَةِ مِنْكَ
Kegigihanmu dalam mencari apa yang telah dijamin untukmu dan kekuranganmu dalam melaksanakan apa yang diminta darimu menjadi bukti butanya mata hatimu.
– Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī –
Maksud dari “apa yang telah dijamin” ialah rezeki dan karunia Allah.
Allah s.w.t. berfirman: “Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (al-‘Ankabūt [29]: 60).
Sementara itu, maksud dari “kekurangmu dalam melaksanakan apa yang diminta darimu” ialah kekurangan dalam melaksanakan ‘amalan-‘amalan yang bisa membimbingmu menempuh jalan menuju Tuhanmu, seperti zikir, shalat, dan wirid. Allah s.w.t. berfirman: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (al-‘Ankabūt [29]: 56).
Yang dituntut dari seorang murīd ialah terus berusaha memberi makan ruh dengan zikir-zikir kepada Allah dan melakukan ‘amalan-‘amalan yang mendekatkan diri kepada-Nya; bukan memberi makan yang lainnya karena itu sudah menjadi wewenang Tuhannya.
Buta mata hati maknanya, hati tidak lagi bisa melihat berbagai perkara maknawi, sebagaimana mata dapat melihat perkara-perkara indrawi.
Dalam hikmah di atas, Ibnu ‘Athā’illāh menggunakan lafaz “kegigihan” untuk menyatakan bahwa mencari rezeki yang dilakukan sekadarnya dan tanpa kegigihan tidak dilarang bagi seorang murīd karena tidak menyebabkan buta mata hatinya.