000 Muqaddimah – Terjemah al-Hikam – H.S. Bahreisy

TERJEMAH
AL-HIKAM
(PENDEKATAN ABDI PADA KHALIQNYA)

Diterjemahkan Oleh: H. SALIM BAHREISY

MUQADDIMAH

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

 

Segala puji bagi Allah, Tuhan yang mengisi (memenuhi) hati para walinya dengan kasih sayangnya, dan mengistimewakan jika mereka dengan memperhatikan kebesaran-Nya, dan mempersiapkan sir mereka untuk menerima bahan ma‘rifat-Nya (mengenal pada-Nya), maka hati nurani mereka merasa bersuka-ria dalam kebun ma‘rifat-Nya, dan roh mereka bersuka-suka di alam malakut-Nya, sedang sir mereka berenang di lautan jabarut, maka keluar dari alam fikiran mereka berbagai permata ilmu, dan dari lidah mereka mutiara hikmat/pengertian. Maha Suci Allah yang memilih mereka untuk mendekat pada-Nya, dan mengutamakan mereka dengan kasih-sayangNya.

Maka terbagi antara sālik dan majdzūb, dan menyintai dengan yang dicintai, mereka tenggelam dalam cinta Dzāt-Nya dan timbul kembali karena memperhatikan sifat-Nya.

Kemudian selawat dan salam atas junjungan kita Nabi Muḥammad sumber dari semua ilmu dan nur, bibit dari semua ma‘rifat dan sir (rahasia). Dan semoga Allah ridha pada keluarga dan sehabatnya yang tetap taat mengikuti jejaknya. Āmīn.

Amma ba‘du: Adapun dalam segala masa maka ilmu tashawwuf yang dahulunya atau hakikatnya ilmu tauhid untuk mengenal Allah, maka termasuk semulanya – mulia ilmu terbesar dan tertinggi, sebab ia sebagai intisari daripada syari‘at, bahkan menjadi sendi yang utama dalam agama Islam, sebab Allah telah berfirman:

Wa mā khalaqt-ul-jinna wal-insa illā liya‘budūn.”

(Tidaklah Aku menjadikan jin dan manusia kecuali supaya mereka mengenal Aku).

Karena pengertian ilmu tauhid, telah berubah nama menjadi ilmu kalam, ilmu filsafat yang sama sekali, seolah-olah tidak ada hubungannya dengan akhlaq dan amal usaha, maka timbul nama ilmu tauhid yang dijernihkan kembali dari sumber yang semula diajarkan dan dilakukan oleh Nabi s.a.w. dan sahabatnya.

Sebab dari ilmu inilah akan dapat memancar nur hakikat, sehingga dapat menilai semua soal hidup dan penghidupan ini dengan tuntunan Allah dan pelaksanaan Rasūlullāh s.a.w.

Sedang kitab al-Ḥikam yang disusun oleh Abul-Fādhil Aḥmad bin Muḥammad bin ‘Abd-ul-Karīm bin ‘Abd-ur-Raḥmān bin Aḥmad bin ‘Īsā bin al-Ḥusain bin ‘Athā’illāh al-Iskandarī. Satu-satunya kitab yang sangat mantap ajaran tauhidnya sehingga tampak benar bahwa ia berupa ilmu ladunni dan rahasia quddus.

Adapun Ḥād (definisi) ilmu tashawwuf (tauhid): Al-Junaid berkata:

  1. Mengenal Allah, sehingga antaramu dengan Allah tidak ada perantara (hubungan dengan Allah tanpa perantara).
  2. Melakukan semua akhlak yang baik menurut sunnat-ur-rasul dan meninggalkan semua akhlak yang rendah.
  3. Melepas hawa nafsu menurut sekehendak Allah.
  4. Merasa tiada memiliki apapun, juga tidak dimiliki oleh si apapun kecuali Allah.

Adapun acaranya: Yaitu mengenal asmā’ Allah dengan penuh keyakinan, sehingga menyadari sifat-sifat dan af‘āl Allah di alam semesta ini.

Adapun Gurunya: Maka Nabi Muḥammad s.a.w. yang telah mengajarkan dari tuntunan wahyu dan melaksanakannya lahir batin sehingga diikuti oleh para sahabat-sahabatnya r.a.

Adapun manfaatnya: Mendidik hati sehingga mengenal Dzāt Allah, sehingga sebuah kelapangan dada, dan bersih hati dan berbudi pekerti yang luhur menghadapi semua makhluk.

Abul-Ḥasan asy-Syādzilī r.a. berkata: Perjalanan kami terdiri di atas lima:

  1. Taqwa pada Allah lahir dan batin dalam pribadi sendiri atau di muka umum.
  2. Mengikuti sunnat-ur-rasūl dalam semua kata dan perbuatan.
  3. Mengabaikan semua makhluk dalam kesukaan atau kebencian mereka (ya‘ni – tidak menghiraukan apakah mereka suka atau benci).
  4. Rela (ridha) menurut hukum Allah ringan atau berat.
  5. Kembali kepada Allah dalam suka dan duka.

Maka untuk melaksanakan taqwa harus berlaku wara‘ (menjauh dari semua yang makruh, syubhat dan haram), dan tetap istiqamah dalam menaati semua perintah, ya‘ni tetap tabah tidak berubah.

Dan untuk melaksanakan sunnat-ur-rasūl harus selalu waspada dan melakukan budi pekerti yang baik (luhur).

Dan untuk melaksanakan tidak hirau pada makhluk dengan sabar dan tawakkal (berserah diri pada Allah ta‘ālā).

Dan untuk melaksanakan: Rela (ridha) pada Allah dengan terima (qanā‘ah/tidak rakus) dan menyerah.

Dan untuk melaksanakan: Kembali kepada Allah dalam suka duka dengan bersyukur dalam suka dan berlindung kepada-Nya dalam duka.

Dan semua ini berpokok pada lima:

  1. Semangat yang tinggi.
  2. Dan berhati-hati dari yang haram atau menjaga kehormatan.
  3. Baik dalam berkhidmat sebagai hamba.
  4. Melaksanakan kewajiban.
  5. Menghargai (menjunjung tinggi) ni‘mat.

Maka siapa yang tinggi semangat, pasti naik tingkat derajatnya.

Dan siapa yang meninggalkan larangan yang diharamkan Allah, maka Allah akan menjaga kehormatannya.

Dan siapa yang benar dalam taatnya, pasti mencapai tujuan kebesaran-Nya/kemuliaan-Nya.

Dan siapa yang melaksanakan tugas kewajibannya dengan baik, maka bahagia hidupnya.

Dan siapa yang menjunjung ni‘mat, berarti mensyukuri dan selalu akan menerima tambahan ni‘mat yang lebih besar.

Abul-Ḥasan asy-Syādzilī r.a. berkata: Aku dipesan oleh guruku (‘Abd-us-Salām bin Masyīsy r.a.): Jangan anda melangkahkan kaki kecuali untuk sesuatu yang dapat mencapai keridhaan Allah, dan jangan duduk di majlis kecuali yang aman dari murka Allah (ya‘ni yang bukan maksiat). Dan jangan bersahabat kecuali kepada orang yang dapat membantu berbuat taat kepada Allah. Dan jangan memilih sahabat karib kecuali orang yang menambah keyakinanmu terhadap Allah. Sedang yang sedemikian ini kini sangat jarang didapat.

Sayyid Aḥmad al-Badawī r.a. berkata: Perjalanan kami berdasarkan (bersendikan) kitab Allah dan Sunnat-ur-Rasūl s.a.w.:

  1. Benar dan jujur.
  2. Bersih hati.
  3. Menepati janji.
  4. Menanggung tugas dan derita.
  5. Menjaga kewajiban.

Seorang muridnya yang bernama ‘Abd-ul-‘Āli bertanya: Apakah syarat yang harus diperbuat oleh orang yang ingin menjadi waliyullāh?

Jawabnya: Seorang yang benar-benar dalam syari‘at ada dua belas tanda-tandanya:

  1. Benar-benar mengenal Allah (ya‘ni mengerti benar tauhid dan mantap iman keyakinannya kepada Allah).
  2. Menjaga benar-benar perintah Allah.
  3. Berpegang teguh pada Sunnat-ur-Rasūl s.a.w.
  4. Selalu berwudhū’ (ya‘ni bila berhadas segera membaharui wudhū’).
  5. Rela menerima hukum qadha’ Allah dalam suka, duka.
  6. Yakin terhadap semua janji Allah.
  7. Putus harapan dari semua apa yang di tangan makhluk (manusia).
  8. Tabah, sabar menanggung berbagai derita dan gangguan orang.
  9. Rajin menaati perintah Allah.
  10. Kasih sayang terhadap semua makhluk Allah.
  11. Tawādhu‘, merendah diri terhadap yang lebih tua, atau lebih muda.
  12. Menyadari selalu bahwa Syaithān itu musuh yang utama. Sedang sarang Syaithān itu dalam hawa nafsunya dan selalu berbisik untuk mempengaruhimu.

Firman Allah:

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوْهُ عَدُوًّا

Inn-asy-syathāna lakum ‘aduwwun fat-tahidzūhu ‘aduwwan.”

Sesungguhnya Syaithan itu musuhmu, maka waspadalah selalu dari tipu daya musuh itu.” (Fāthir: 6).

Kemudian Sayyid Aḥmad al-Badawī melanjutkan nasehatnya: Hai ‘Abd-ul-‘Ālī: Berhati-hatilah daripada cinta dunia. Sebab itu bibit dari segala dosa, dan dapat merusak ‘amal shalih.

Sebagaimana sabda Nabi s.a.w.:

حُبُّ الدُّنْيَا رَأْسُ كُلِّ خَطِيْئَةٍ

Ḥubb-ud-dunyā ra’su kulli khathī’ah

Cinta pada dunia itu pokok (bibit/sumber) segala dosa/kejahatan”.

Sedang Allah s.w.t. berfirman:

إِنَّ اللهَ مَعَ الَّذِيْنَ اتَّقَوْا وَ الَّذِيْنَ هُمْ مُحْسِنُوْنَ

Inn-Allāha ma‘-alladzīn-at-taqau, wal-ladzīna hum muḥsinūn.”

(Sesungguhnya Allah selalu menolong/membantu orang yang taqwa, dan orang yang benar-benar berbuat baik) (an-Naḥl: 128).

Orang boleh kaya dunia, tetapi Nabi s.a.w. melarang jangan cinta dunia, seperti Nabi Sulaimān a.s. dan para sahabat yang kaya, kita harus menundukkan dunia, dunia tidak boleh diletakkan dalam hati.

Hai ‘Abd-ul-‘Ālī: Kesihanilah anak yatim dan berikan pakaian pada orang yang tidak berpakaian, dan beri makan pada orang yang lapar, dan hormatilah tamu dan orang gharīb (rantau), semoga dengan begitu anda diterima oleh Allah. Dan perbanyaklah dzikir, jangan sampai termasuk golongan orang yang lalai di sisi Allah. Dan ketahuilah bahwa satu raka‘at di waktu malam lebih baik dari seribu raka‘at di waktu siang, dan jangan mengejek balā’/mushībah yang menimpa seseorang.

Dan jangan berkata ghībah atau namīmah (menyebut kejelekan orang atau mengadu domba antara seorang dengan yang lain). Dan jangan membalas, mengganggu pada orang yang mengganggumu. Dan maafkan orang yang aniaya padamu. Dan berilah pada orang yang bakhil padamu. Dan berlaku baik pada orang yang jahat padamu. Dan sebaik-baik manusia akhlak budi pekertinya ialah yang sempurna imannya. Dan siapa yang tidak berilmu, maka tidak berharga di dunia dan akhirat. Dan siapa yang tidak sabar, tidak berguna ilmunya. Siapa yang tidak loman (dermawan), tidak mendapat keuntungan dari kekayaannya. Siapa tidak sayang sesema manusia, tidak mendapat hak syafa‘at di sisi Allah. Siapa yang tidak sabar tidak mudah selamat. Dan siapa yang tidak bertaqwa, tidak berharga di sisi Allah. Dan siapa memiliki sifat-sifat ini tidak mendapat tempat di syurga.

Berdzikirlah pada Allah dengan hati yang hadir (khusyū‘), dan berhati-hati daripada lalai, sebab lalai itu menyebabkan hati beku. Dan serahkan dirimu pada Allah, dan relakan hatimu menerima bala’ ujian sebagaimana kegembiraanmu ketika menerima ni‘mat dan kalahkan hawa nafsu dengan meninggalkan syahwat.