00 Bab 15-1 Tauhid, Sifat Orang Yang Bertauhid … – Al Luma’

Dari Buku:
Rujukan Lengkap Ilmu Tasawuf
Judul Asli: Al-Luma'
Oleh: Abu Nashr as-Sarraj
Penerjemah: Wasmukan dan Samson Rahman, MA.
Penerbit: Risalah Gusti, Surabaya.

Rangkaian Pos: Sifat Orang Yang Bertauhid ... - Al Luma'

BAB XV

TAUḤĪD, SIFAT ORANG YANG BERTAUḤĪD DAN ḤAQĪQATNYA, SERTA BERBAGAI PENDAPAT TENTANG MAKNA TAUḤĪD.

 

Syaikh Abū Nashr as-Sarrāj – raḥimahullāh – berkata: Sebagaimana yang saya terima dari Yūsuf bin al-Ḥusain ar-Rāzī, berkata: “Ada seseorang berdiri di depan Dzun-Nūn al-Mishrī sambil berkata: Beri tahu saya apa sebenarnya Tauḥīd itu? Dzun-Nūn menjawab: Yaitu hendaknya anda tahu, bahwa Kekuasaan (Qudrat) Allah s.w.t. terhadap segala sesuatu itu tanpa ada persenyawaan atau campuran. Ciptaan-nya pada segala sesuatu tanpa penanganan secara langsung. Sedangkan sebab segala sesuatu adalah ciptaan-Nya, dan tidak ada alasan (sebab) bagi ciptaan-Nya. Di langit yang paling tinggi maupun di bumi yang paling rendah tidak ada pengatur lain selain Allah s.w.t. Apa pun yang diilustrasikan oleh imajinasi anda, maka Allah sama sekali berbeda dan bukan apa yang ada dalam benak anda tersebut.

Al-Junaid – raḥimahullāh – ketika ditanya tentang Tauḥīd mengatakan: “Tauḥīd adalah pengesaan seorang muwaḥḥid (yang menauhidkan Allah) dalam merealisasikan Waḥdāniyyah-Nya dengan kemahasempurnaan Aḥadiyyah-Nya. Di mana Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan, dengan meniadakan segala persamaan, sepadan, serupa dan berbagai bentuk peribadatan (penghambaan) kepada selain Dia. Tuhan Yang tidak bisa diserupakan, dikondisikan dengan bagaimana, digambarkan dan tidak pula dapat dimisalkan. Tuhan Yang Maha Esa, Maha Kekal. Maha Tunggal Yang tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Al-Junaid ditanya lagi tentang Tauḥīd. Maka ia menjawab: “Tauḥīd adalah suatu makna, di mana berbagai gambaran hilang di dalamnya, dan berbagai ilmu pun musnah di dalamnya. Sedangkan Allah s.w.t. akan senantiasa eksis dan tidak pernah lenyap.

Syaikh Abū Nashr mengatakan, bahwa dua jawaban yang dikemukakan oleh Dzun-Nūn dan al-Junaid adalah jawaban tentang Tauḥīd zhāhir, yakni Tauḥīd orang-orang awam. Sedangkan jawaban al-Junaid yang terakhir – sebagaimana yang saya sebutkan sebelum ini – adalah jawaban Tauḥīd orang-orang khusus.

Al-Junaid ditanya tentang Tauḥīd orang-orang khusus (khas), ia menjawab: “Adalah di mana seorang hamba hanya merupakan bayangan yang tak bisa berbuat apa-apa di hadapan Allah ‘azza wa jalla, di mana perbuatan-perbuatan Allah dan segala yang diaturnya berlaku padanya sesuai dengan aturan-aturan hukum dan Kekuasaan-Nya, dalam kedalaman samudra Tauḥīd-Nya, dengan fanā’ (sirna) dari dirinya, du‘ā orang lain (makhluk) untuknya dan pemenuhan terhadap ḥaqīqat-ḥaqīqat eksistensi Kemahaesaan (Waḥdāniyyah)-Nya dalam ḥaqīqat kedekatannya, dengan hilangnya rasa dan gerakannya. Karena al-Ḥaqq sendiri Yang menjalankan segala perintah yang diinginkan-Nya. Di mana akhir perjalanan seorang hamba kembali dalam kondisinya yang pertama. Sehingga pada saat ini ia seperti sebelum ia ada.

Al-Junaid juga berkata: “Tauḥīd adalah keluar dari kesempitan bentuk-bentuk temporal menuju ke “halaman” luas keabadian dan kekekalan.

Jika ada orang bertanya” “Apa makna pendapat al-Junaid yang mengatakan: Di mana akhir perjalanan seorang hamba kembali dalam kondisinya yang pertama. Sehingga pada saat ini ia seperti sebelum ia ada.” Maka jawabannya adalah sebagaimana yang difirmankan Allah ‘azza wa jalla:

وَ إِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِيْ آدَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَ أَشْهَدَهُمْ عَلى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتَ بِرَبِّكُمْ قَالُوْا بَلى شَهِدْنَا أَنْ تَقُوْلُوْا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هذَا غَافِلِيْنَ

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Ādam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (Keesaan Tuhan).” (al-A‘rāf:172).

Al-Junaid mengemukakan tentang makna ayat tersebut: “Dari mana ia berada, bagaimana ia berada sebelum saat ini ada? Bukankah yang menjawab pada saat itu adalah ruh-ruh yang memperlihatkan Kekuasaan Allah dan melaksanakan seluruh titah-Nya? Maka keberadaannya sekarang, pada hakikatnya sama seperti sebelum ia ada. Dan inilah puncak hakikat Tauḥīd kepada Dzāt Yang Maha Tunggal, yakni hendaknya keberadaan seorang hamba seperti sebelum ia ada. Sementara Allah s.w.t. senantiasa ada dan tetap eksis.

Pernah ada seseorang bertanya kepada Abū Bakar Dulaf bin Jahdar asy-Syiblī – raḥimahullāh: “Wahai Abū Bakar, (panggilan asy-Syiblī) beri tahukan kepada saya tentang Tauḥīd murni, dengan suatu bahasa yang benar.” Asa-Syiblī menjawab: “Celaka kau!!” Barang siapa menjawab tentang Tauḥīd, maka ia adalah orang yang kafir dan ingkar (mulḥīd). Dan barang siapa memberi isyarat tentang Tauḥīd, maka ia adalah penyembah berhala. Sementara orang yang diam tak berkomentar tentang Tauḥīd adalah bodoh. Sedangkan orang yang mengira, bahwa ia telah “sampai” (wushūl), sebenarnya ia tidak mencapai apa-apa. Barang siapa bercerita tentang Tauḥīd maka ia adalah orang yang lalai, dan barang siapa menyangka, bahwa ia dekat maka sebenarnya ia adalah jauh. Sementara orang yang berpura-pura mampu menghayati, maka sebenarnya ia adalah orang yang kehilangan. Sedangkan segala apa yang anda bedakan dengan daya imajinasi, dan anda pahami dengan akal sekalipun dalam makna yang paling sempurna menurut anda, maka sebenarnya hal itu adalah sesuatu yang diatur dan berasal dari diri anda, suatu ciptaan yang baru dan makhluk yang sama dengan anda.

Jika kita berusaha menerangkan apa yang dikatakan asy-Syiblī sebagaimana mestinya, tentu akan memakan banyak waktu. Namun dengan singkat dan ringkas sepertinya ia ingin mengatakan tentang Tauḥīd: Adalah menjadikan Dzāt Yang Maha Qadīm sebagai Dzāt yang sama sekali berbeda dengan makhluk yang diciptakan (muḥdats). Sementara itu, tak ada cara lain bagi makhluk kecuali hanya menyebut-Nya, menerangkan-Nya dengan Sifat dan memberi atribut untuk-Nya sesuai dengan kadar yang bisa diterangkan kepada mereka dan digambarkan padanya.

Syaikh Abu Nashr – raḥimahullāh – berkata: Saya dapatkan dari Yūsuf bin al-Ḥusain tiga jawaban tentang Tauḥīd:

Pertama: adalah jawaban tentang Tauḥīd untuk orang-orang awam. Ialah dengan menjadikan Allah sebagai Dzāt Yang Maha Esa, yang dengan Kemahaesaan-Nya Dia berbeda sama sekali dengan yang lain, dengan meniadakan segala perbandingan, persamaan, padanan dan serupaan. Sementara itu ia cenderung untuk menentang rasa takut dan harapan dengan hilangnya hakikat pembenaran. Sebab dengan tetap adanya hakikat pembenaran tak mungkin bisa cenderung untuk menentang rasa takut dan harapan.

Kedua: Tauḥīd orang-orang ahli hakikat dari sisi zhāhir. Yaitu pengakuan akan Waḥdāniyah (Kemahaesaan) Allah, dengan tidak melihat pada sebab-sebab dan menghilangkan segala yang serupa. Selalu komitmen terhadap perintah dan larangan, baik secara lahir maupun bāthin dengan menghilangkan harapan (ar-Raghbah) dan takut (ar-Rahbah) kepada selain Alah s.w.t. Itu dilakukan dengan memberikan bukti-bukti kebenaran bersamaan dengan memberikan bukti-bukti dakwah (ajakan) dan mengabulkannya. Kalau ditanya: “Apa makna dari ungkapan: “Menghilangkan harapan (ar-Raghbah) dan takut (ar-Rahbah).” Sementara keduanya adalah hal yang benar?” Maka jawabannya, adalah memang keduanya merupakan hal yang benar (ḥaqq). Keduanya tertap berada pada posisinya semula. Namun kekuatan Waḥdāniyah telah memaksanya sirna, sebagaimana sinar matahari memaksa sinar planet lain dan bintang-bintang hilang, sedangkan mereka masih berada dalam posisi masing-masing.

Ketiga: Tauḥīd orang-orang khusus, di mana seorang hamba dengan rahasia hati, penghayatan dan qalbunya seakan-akan berada di hadapan Allah ‘azza wa jalla. Di mana perlakuan dan pengendalian Allah berlaku pada dirinya. Demikian pula hukum-hukum Kekuasaan-Nya berlaku padanya dalam samudra Tauḥīd-Nya, di mana dirinya fanā’ dan perasaannya pun hilang karena al-Ḥaqq melakukan segala-galanya sesuai dengan kehendak-Nya. Sehingga keberadaannya sebagaimana sebelum ia wujud. Yakni berada dalam lingkaran ketentuan hukum-hukum Allah dan melaksanakan apa yang dikehendaki-Nya.

Sedangkan keterangannya adalah sebagaimana yang disinggung oleh al-Junaid dalam memahami firman Allah ‘azza wa jalla dalam surat al-A‘rāf:172 di atas.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *