00 Bab 14 Sifat Kaum Shufi Dan Siapa Mereka – Al Luma’

Dari Buku:
Rujukan Lengkap Ilmu Tasawuf
Judul Asli: Al-Luma'
Oleh: Abu Nashr as-Sarraj
Penerjemah: Wasmukan dan Samson Rahman, MA.
Penerbit: Risalah Gusti, Surabaya.

XIV

SIFAT KAUM SHŪFĪ DAN SIAPA MEREKA?

 

Syaikh Abū Nashr as-Sarrāj – raḥimahullāh – berkata: Ada pun sifat-sifat kaum Shūfi dan siapa sebenarnya mereka, adalah sebagaimana yang pernah dijawab oleh ‘Abd-ul-Wāḥid bin Zaid – sebagaimana yang pernah saya terima – di mana ia adalah salah seorang yang sangat dekat dengan Ḥasan al-Bashrī – raḥimahullāh – ketika ditanya: “Siapakah kaum Shūfī itu menurut anda?” Ia menjawab: Adalah mereka yang menggunakan akalnya tatkala ditimpa kesedihan dan selalu menetapinya dengan hati nurani, selalu berpegang teguh pada Tuannya (Allah) dari kejelekan nafsunya. Maka merekalah kaum Shūfī.

Dzun-Nūn al-Mishrī – raimahullāh – ditanya tentang Shūfī, kemudian ia menjawab: Seorang Shūfī ialah orang yang tidak dibikin lelah oleh tuntutan, dan tidak dibuat gelisah oleh sesuatu yang hilang darinya. Dzun-Nūn juga pernah mengemukakan: Orang-orang Shūfī adalah kaum yang lebih mengedepankan Allah daripada segala sesuatu. Maka dengan demikian Allah akan mengutamakan mereka di atas segala-galanya.

Pernah ditanyakan pada sebagian orang Shūfī: “Siapa yang pantas menjadi sahabatku?” Maka ia menjawab: Bertemanlah dengan kaum Shūfī, karena di mata mereka kejelekan yang ada pasti memiliki berbagai alasan untuk dimaafkan. Sedangkan sesuatu yang banyak dalam pandangan mereka tak ada artinya, sehingga tak membuat anda merasa bangga (‘ujub).

Al-Junaid bin Muḥammad – raimahullāh – ditanya tentang kaum Shūfī: “Siapa mereka?” Ia menjawab: Mereka adalah kaum pilihan Allah dari makhluk-Nya yang Dia sembunyikan tatkala Dia menyukai dan Dia tampakkan tatkala Dia menyukai pula.

Abū al-Ḥusain Aḥmad bin Muḥammad an-Nūrī – raimahullāh – ditanya tentang kaum Shūfī, maka ia menjawab: Kaum Shūfī ialah orang yang mendengar samā (ekstase ketika dzikir) dan lebih memilih menggunakan sarana (sebab).

Orang-orang Syām menyebut kaum Shūfī dengan sebutan fuqarā (orang-orang fakir). Di mana mereka memberikan alasan, bahwa Allah s.w.t. telah menyebut mereka dengan fuqarādalam firman-Nya:

لِلْفُقَرَاءِ الْمُهَاجِرِيْنَ الَّذِيْنَ أُخْرِجُوْا مِنْ دِيَارِهِمْ وَ أَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُوْنَ فَضْلاً مِّنَ اللهِ وَ رِضْوَانًا وَ يَنْصُرُوْنَ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ أُولئِكَ هُمُ الصَّادِقُوْنَ

(Juga) bagi orang-orang fakir yang berhijrah, di mana mereka diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridaan-Nya dan mereka menolong Allah dan Rasūl-Nya. Mereka itulah orang-orang yang jujur (benar).” (al-Ḥasyr:8).

Dan firman-Nya pula:

لِلْفُقَرَاءِ الَّذِيْنَ أُحصِرُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللهِ

(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah.” (al-Baqarah:273).

Abū ‘Abdillāh Aḥmad bin Muḥammad Yaḥyā al-Jallā’ – raimahullāh – ditanya tentang seorang Shūfī. Maka ia menjawab: Kami tidak tahu akan adanya persyaratan ‘ilmu, akan tetapi kami hanya tahu, bahwa ia adalah seorang fakir yang bersih dari berbagai sarana (sebab). Ia selalu bersama Allah ‘azza wa jalla dengan tanpa batas tempat. Sementara itu al-aqq, Allah tidak menghalanginya untuk mengetahui segala tempat. Itulah yang tersebut seorang Shūfī.

Ada pendapat yang menyatakan, bahwa kata Shūfī awalnya berasal dari kata Shafawī (orang yang bersih), namun karena dianggap berat dalam mengucapkan, maka diganti menjadi Shūfī.

Abū Ḥasan al-Qannād – raimahullāh – ditanya tentang makna Shūfī, maka ia menjawab: Kata itu berasal dari kata Shafā’, yang artinya adalah selalu berbuat hanya untuk Allah ‘azza wa jalla dalam setiap waktu dengan penuh setia.

Sebagian yang lain berkata: Shūfī adalah seseorang apabila dihadapkan pada dua pilihan kondisi spiritual atau dua akhlak yang mulia, maka ia selalu memilih yang paling baik dan paling utama.

Ada pula yang lain ditanya tentang makna Shūfī, maka ia menjawab: Makna Shūfī adalah apabila seorang hamba telah mampu merealisasikan penghambaan (‘ubūdiyyah), dijernihkan oleh al-Ḥaqq sehingga bersih dari kotoran manusiawi, menempati kedudukan hakikat dan membandingkan hukum-hukum syariat. Jika ia bisa melakukan hal itu, maka dialah seorang Shūfī. Karena ia telah dibersihkan.

Syaikh Abū Nashr – raḥimahullāh – berkata: Jika anda ditanya: “Siapa pada hakikatnya kaum Shūfī itu?” Coba terangkan pada kami! Maka Syaikh Abū Nashr as-Sarrāj memberi jawaban: Mereka adalah ulama yang tahu Allah dan hukum-hukum-Nya, mengamalkan apa yang Allah ajarkan pada mereka, merealisasikan apa yang diperintahkan untuk mengamalkannya, menghayati apa yang telah mereka realisasikan dan hanyut (sirna) dengan apa yang mereka hayati. Sebab setiap orang yang sanggup menghayati sesuatu ia akan hanyut (sirna) dengan apa yang ia hayati.

Abū Ḥasan al-Qannād – raimahullāh – berkata: Tasawwuf adalah nama yang diberikan pada lahiriah pakaian. Sedangkan mereka berbeda-beda dalam berbagai makna dan kondisi spiritual.

Abū Bakar Dulaf bin Jahdar asy-Syiblī – raḥimahullāh – ditanya tentang, mengapa para kaum Shūfī disebut dengan nama demikian. Ia menjawab: Karena masih ada sisa-sisa nafsu yang tertinggal pada mereka. Andaikan tidak ada sisa-sisa tersebut, tentu berbagai nama tidak akan bisa melekat dan bergantung pada mereka.

Disebutkan juga bahwa kaum Shūfī adalah sisa-sisa orang-orang terbaik Ahlush-Shuffah (para penghuni masjid yang hidup pada zaman Nabi s.a.w. pent.)

Adapun orang yang mengatakan bahwa nama tersebut merupakan simbol lahiriah pakaian mereka. Hal ini telah disebutkan dalam riwayat tentang orang-orang yang mengenakan pakaian shūf (wool), di mana para nabi dan orang-orang saleh memilih pakaian jenis ini. Sementara untuk membicarakan masalah ini akan cukup panjang.

Banyak jawaban tentang tasawwuf, di mana sekelompok orang telah memberikan jawaban yang berbeda-beda. Dia antaranya adalah Ibrāhim bin al-Muwallad ar-Raqqī – raimahullāh – yang memberikan jawaban lebih dari seratus jawaban. Sedangkan yang kami sebutkan, kami rasa sudah cukup memadai.

‘Alī bin ‘Abd-ur-Raḥīm al-Qannād – raimahullāh – memberi jawaban tentang tasawwuf dan lenyapnya orang-orang Shūfī dalam untaian sya’irnya:

Ahli tasawwuf telah berlalu, tasawwuf menjadi kebohongan belaka,

Tasawwuf akhirnya jadi teriakan, kemunafikan cinta dan bencana.

Berbagai ilmu telah berlalu, maka tak ada lagi ilmu dan hati yang bersinar,

Nafsumu telah mendustaimu di jalan nan penuh nestapa.

Hingga kau tampak pada manusia dengan ketajaman mata,

Mengalir rahasia yang ada di dalam dirimu terbuka.

Di kalangan para guru (syaikh) Shūfī ada tiga jawaban tentang tasawwuf:

Pertama: jawaban dengan syarat ‘ilmu, yaitu membersihkan hati dari kotoran-kotoran, berakhlak mulia dengan makhluk Allah dan mengikuti Rasūlullāh s.a.w. dalam syariat.

Kedua: jawaban dengan lisān-ul-aqīqah (bahasa hakikat), yaitu tidak merasa memiliki (pamrih), keluar dari perbudakan sifat dan semata mencukupkan diri dengan Sang Pencipta langit.

Ketiga: jawaban dengan lisān-ul-Ḥaqq (bahasa al-Ḥaqq), yakni mereka yang Allah bersihkan dengan pembersihan sifat-sifatnya, dan Dia jernihkan dari sifat mereka. Merekalah yang pantas disebut kaum Shūfī.

Saya pernah bertanya pada al-Ḥushrī: “Siapakah sebenarnya seorang Shūfī menurut pandangan anda?” Ia menjawab: Ia adalah seorang manusia yang tidak bertempat di atas bumi dan tidak dinaungi langit. Artinya, sekalipun mereka berada di atas bumi dan di bawah langit, akan tetapi Allah-lah yang menempatkannya di atas bumi dan Dia pula Yang menaunginya dengan langit. Bukan bumi atau langit itu sendiri.

Dari Abū Bakar ash-Shiddīq r.a. diriwayatkan bahwa ia pernah berkata: “Bumi mana yang akan sanggup memberi tempat pada saya dan langit mana yang sanggup menaungiku, jika saya mengatakan tentang apa yang ada dalam Kitāb Allah menurut pendapatku semata.”

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *