Hati Senang

Zakat Barang Dagangan – Kitab Zakat – Fikih Empat Madzhab (2/2)

Fikih Empat Madzhab
(Maliki, Hanafi, Hanbali, Syafi‘i)
(Judul: Ijmā‘-ul-A’immat-il-Arba‘ati waikhtilāfihim).
Oleh: Al-Wazir Yahya bin Muhammad bin Hubairah


Penerjemah: Ali Mh.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

  1. Mereka sepakat bahwa pemilik harta yang tidak tampak boleh membayar zakatnya langsung kepada imam. (7801).

 

  1. Mereka berbeda pendapat, apakah pemilik harta boleh mengurus pembagian zakat hartanya yang tampak seperti binatang ternak dan tanaman?

Abū Ḥanīfah, Mālik dan asy-Syāfi‘ī dalam Qaul Jadīd-nya berkata: “Tidak boleh.”

Asy-Syāfi‘ī dalam Qaul Qadīm-nya dan Aḥmad berkata: “Hukumnya boleh.” (7812).

 

  1. Mereka berbeda pendapat, apabila kewajiban zakat menjadi gugur bila wafat?

Abū Ḥanīfah berkata: “Kewajiban zakatnya gugur. Bila dia berwasiat agar mengeluarkan zakatnya maka diambil dari sepertiga. Bila dia memberi wasiat lainnya sementara harta yang sepertiga sudah mepet maka hukumnya tetap sama yaitu wasiat.”

Asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad berkata: “Kewajiban zakat tidak gugur karena kematian.”

Mālik berkata: “Apabila orang yang wajib membayar zakat teledor dalam membayarnya (meremehkannya) hingga berlalu 1 tahun maka kewajiban tersebut menjadi tanggungannya dan dia telah durhaka kepada Allah s.w.t., dan harta yang ditinggalkannya menjadi milik ahli warisnya, dan zakat yang berpindah ke tanggungannya menjadi hutang beberapa orang yang tidak ditentukan selama dia belum membayarnya dari harta ahli warisnya. Bila dia berwasiat maka ia diambil dari sepertiga harta dan harus didahulukan atas wasiat-wasiat lainnya seperti memerdekakan budak dan lainnya. Sedangkan bila dia tidak teledor dalam membayarnya sampai dia wafat maka zakatnya diambil dari harta pokok.” (7823).

 

  1. Mereka berbeda pendapat, bila seseorang memperoleh harta di tengah tahun, apakah dia boleh menggabungkannya dengan harta yang dia miliki atau memulai lagi perhitungan tahunnya?

Abū Ḥanīfah dan Mālik berkata: “Dia boleh menggabungkannya dengan hartanya bila sejenis lalu membayar zakatnya untuk tahun aslinya. Kecuali untuk harga onta yang disembelih; dia harus memulai lagi perhitungan tahunnya.”

Asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad berkata: “Dia harus memulai lagi perhitungan tahunnya dan tidak boleh menggabungkkannya.”

Mālik berkata: “Apabila yang didapatinya berupa binatang maka dia boleh menggabungkannya dengan harta yang ada di tangannya lalu membayar zakatnya. Sedangkan bila yang didapatnya berupa harta benda maka dia harus memulai lagi perhitungan tahunnya.” (7834).

 

  1. Mereka berbeda pendapat, apakah hutang dapat menghalangi kewajiban membayar zakat?

Abū Ḥanīfah: “Apabila dia ditagih sesama manusia maka hutang tersebut menghalangi wajibnya zakat untuk harta yang tidak tampak. Bila jumlah hutangnya bertambah maka dapat menghalangi wajibnya zakat pada harta yang terlihat sesuai jumlah hutang yang tersisa.

Mālik berkata: “Hutang tidak menghalangi wajibnya zakat pada harta benda yang terlihat, tapi ia menghalangi wajibnya zakat pada zakat yang tidak terlihat.”

Menurut asy-Syāfi‘ī, dalam hal ini ada dua pendapat. Yang paling kuat adalah bahwa hutang tidak menghalangi wajibnya zakat.

Aḥmad berkata: “Hutang menghalangi wajibnya zakat pada harta yang tidak terlihat.”

Dalam hal ini hanya ada satu riwayat darinya. Sedangkan untuk harta yang terlihat ada dua riwayat darinya.

Pertama, ia tidak menghalangi wajibnya zakat.

Kedua, ia menghalangi wajibnya zakat. (7845).

 

  1. Mereka berbeda pendapat, apakah seseorang wajib membayar zakat dengan piutang sebelum dia menerimanya bila telah genap 1 tahun?

Abū Ḥanīfah dan Aḥmad berkata: “Bila dia memiliki piutang pada orang lain yang telah genap 1 tahun dan wajib mengeluarkan zakatnya maka dia tidak wajib membayar zakat sebelum menerimanya, baik dia mampu mengambilnya atau tidak. Bila dia telah menerimanya maka dia boleh membayar zakat untuk yang telah lalu.”

Mālik berkata: “Bila dia mengatur hartanya sementara harta (piutang) tersebut ada pada orang yang hadir maka dia harus membayar zakatnya, sedangkan bila tidak maka dia tidak perlu membayar zakatnya sampai dia menerimanya. Bila dia telah menerimanya maka dia boleh membayar zakat untuk yang telah lalu.”

Asy-Syāfi‘ī berkata: “Apabila harta tersebut ada pada orang kaya dan bisa diambil dengan mudah tanpa perlu mengadu kepada hakim maka dia wajib membayar zakatnya meskipun belum menerimanya. Sedangkan bila harta (piutang) tersebut ada pada orang kaya yang hadir tapi untuk mengambilnya dia harus lapor kepada hakim atau harus dengan cara kekerasan, atau ia ada pada orang yang tidak hadir, maka dia tidak wajib membayar zakatnya sampai dia menerimanya. Bila dia telah menerimanya maka dia harus membayar zakat untuk yang telah lalu.”

Dalam hal ini hanya ada satu pendapat. Sedangkan bila piutang tersebut ada pada orang miskin maka dia tidak wajib membayar zakatnya. Bila orang yang berhutang tersebut telah mampu dan dia (orang yang berpiutang) telah mengambilnya darinya, apakah dia wajib membayar zakat untuk yang telah lalu? Dalam hal ini ada dua pendapat. (7856).

 

  1. Mereka berbeda pendapat tentang harta Midhmar, yaitu harta yang dipendam di padang pasir dan tidak diketahui lagi di mana tempatnya, atau harta yang jatuh ke laut, atau hutang yang diingkari yang telah diminta sumpah dan tidak ada saksinya.

Abū Ḥanīfah berkata: “Tidak ada zakat untuk masa yang tidak bisa mengambil harta tersebut. Apabila dia telah bisa mengambilnya maka perhitungan tahunnya dimulai lagi.”

Mālik berkata: “Pemiliknya harus membayar zakatnya untuk 1 tahun bila dia menemukannya, bila harta tersebut terpendam.”

Dalam hal ini hanya ada satu riwayat. Kemudian apakah dia harus membayar zakat untuk lebih dari 1 tahun? Dalam hal ini ada beberapa riwayat yang berbeda darinya. Dalam suatu riwayat dikatakan: “Dia harus membayar zakatnya secara mutlak.”

Kedua, dia tidak boleh membayar zakatny secara mutlak.

Ketiga, perkataannya “dia tidak boleh membayar zakatnya secara mutlak” menunjukkan bahwa dia tidak membayar zakat kecuali untuk 1 tahun. Bila tidak demikian maka dia harus memulai lagi penghitungan tahunnya bila di rumah ada harta yang wajib dizakati. Sedangkan bila harta tersebut ada di padang pasir maka tidak wajib mengeluarkan zakat.

Tentang hutang yang diingkari, dia harus membayar zakatnya untuk 1 tahun bila dia telah menerimanya. Imām asy-Syāfi‘ī memiliki dua pendapat berkenaan dengan kasus apabila harta tersebut ada di padang pasir dan tidak diketahui tempatnya (karena lupa). Begitu pula tentang harta yang diingkari.

Aḥmad berkata: “Dia harus membayar zakat untuk semuanya yang telah lalu bila dia telah menerimanya.” (7867).

Catatan:

  1. 780). Imām an-Nawawī mengutip Ijma‘ tentang masalah ini dalam al-Majmū‘ (6/137).
  2. 781). Lih. al-Majmū‘ (6/137).
  3. 782). Lih. Bidāyat-ul-Mujtahid (1/453), Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/513), dan Raḥmat-ul-Ummah (74).
  4. 783). Lih. al-Majmū‘ (5/335), al-Mughnī (2/491), dan Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/409).
  5. 784). Lih. Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/390), Bidāyat-ul-Mujtahid (1/449), al-Majmū‘ (5/317), dan at-Taḥqīq (4/375).
  6. 785). Lih. Bidāyat-ul-Mujtahid (1/487), Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/398), dan al-Mughnī (2/637).
  7. 786). Lih. Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/398), Raḥmat-ul-Ummah (73), al-Muhadzdzab (1/263) dan al-Mughnī (2/139).
Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.