Abū Ḥanīfah, asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad berkata: “Apabila telah genap 1 tahun maka harus ditaksir nilainya. Bila nilainya telah mencapai Nishāb maka wajib dikeluarkan zakatnya.”
Mālik berkata: “Apabila dia tidak mengetahui kondisi pasar maka dia boleh menunggu satu bulan dalam tahun tersebut untuk menaksir harganya lalu mengeluarkan zakatnya dengan emas dan perak yang dia miliki. Sedangkan bila dia menunggu kondisi pasar maka dia tidak wajib menaksir nilainya setiap tahun sampai dia menjualnya dengan emas atau perak lalu mengeluarkan zakatnya untuk 1 tahun.” (7643).
Abū Ḥanīfah berkata: “Zakat pada barang dagangan wajib pada bendanya, tapi yang dianggap tetap nilainya. Apabila ia telah mencapai Nishab, bila dia mau dia bisa mengeluarkan 1/40 dari jenisnya, dan bila mau dia juga boleh mengeluarkn 1/40 dari nilainya.”
Mālik dan Aḥmad berkata: “Zakat wajib pada nilainya, bukan pada bendanya, dan ia dikeluarkan dari nilainya.”
Asy-Syāfi‘ī berkata: “Yang wajib adalah mengeluarkan dengan nilainya.”
Dalam hal ini hanya ada satu pendapat. Lalu apakah zakatnya dikeluarkan dari bendanya atau dari nilainya? Dalam hal ini ada dua pendapat. (7654).
559). Mereka berbeda pendapat tentang sifat penaksiran nilainya.
Abū Ḥanīfah dan Aḥmad berkata: “Nilainya ditaksir dengan sesuatu yang paling berguna bagi orang-orang miskin baik harta benda atau mata uang, dan tidak berlaku apa yang dibeli dengannya.”
Asy-Syāfi‘ī berkata: “Nilainya ditaksir dengan harga yang digunakan untuk membeli. Bila dia membeli barang dengan kompensasi (cara barter) maka harus ditaksir nilainya dengan mata uang negeri setempat.” (7665).
Abū Ḥanīfah dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Zakatnya gugur darinya meskipun dia telah berbuat salah.”
Mālik dan Aḥmad berkata: “Zakat tidak gugur darinya.” (7676).
Abū Ḥanīfah dan Mālik berkata: “Zakat wajib pada harta.”
Menurut asy-Syāfi‘ī, dalam hal ini ada dua pendapat.
Pertama, zakat wajib pada harta.
Kedua, zakat wajib pada tanggungan.
Menurut Aḥmad, dalam hal ini ada dua riwayat darinya.
Pertama, zakat wajib pada tanggungan. Pendapat inilah yang dipilih oleh al-Khiraqī. (7687).
Kedua, zakat wajib pada harta. (7698).
Faidah dari perbedaan pendapat ini adalah, bahwa apabila seseorang memiliki 40 ekor kambing dan telah genap 2 tahun, maka dia wajib mengeluarkan zakatnya untuk 2 tahun, menurut pendapat yang mengatakan bahwa zakat wajib pada tanggungan. Sedangkan bagi yang mengatakan bahwa zakat wajib pada harta maka dia wajib mengeluarkan zakat untuk 1 tahun.
Abū Ḥanīfah berkata: “Tidak sah mengeluarkan zakat kecuali dengan niat yang bersamaan dengan saat mengeluarkannya atau untuk membayar kadar yang wajib.”
Mālik dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Pembayaran zakat hukumnya sah bila dibarengi dengan niat.”
Aḥmad berkata: “Hukumnya disunnahkan. Apabila niat lebih dulu beberapa saat sebelum menyerahkan maka dibolehkan, sedangkan bila jeda waktunya lama maka tidak boleh, seperti Thahārah, haji dan shalat.” (77110).
Abū Ḥanīfah berkata: “Ia bukan syarat wajib zakat. Hanya saja bila harta rusak setelah wajib mengeluarkan zakat maka kewajiban zakat menjadi gugur, baik dia mampu membayarnya atau tidak.”
Mālik berkata: “Kemampuan untuk membayar merupakan syarat wajibnya. Apabila Nishāb-nya rusak atau sebagiannya rusak setelah ada kemampuan membayar maka zakat tetap wajib dibayar.”
Menurut asy-Syāfi‘ī, dalam hal ini ada dua pendapat.
Pertama, sesungguhnya kemampuan membayar merupakan salah satu syarat wajibnya. Berdasarkan hal ini, apabila sebagian Nishāb rusak maka zakat gugur pada semua harta tersebut.
Kedua, ia merupakan salah satu syarat penjaminan. Berdasarkan pendapat ini maka zakat gugur bila hartanya rusak.
Berdasarkan dua pendapat ini mereka sepakat bahwa apabila harta rusak setelah ada kemampuan membayar maka kewajiban zakat tidak gugur.
Aḥmad berkata: “Adanya kemampuan membayar bukan syarat wajibnya zakat dan bukan pula syarat penjaminannya. Apabila harta rusak setelah genap 1 tahun maka zakat tetap menjadi tanggungannya, baik dia mampu membayar atau tidak.” (77211).
Abū Ḥanīfah berkata: “Apabila Nishāb dicapai pada awal dan akhir tahun tapi berkurang di tengah tahun maka hal tersebut tidak menghalangi wajibnya zakat secara mutlak.”
Mālik dan Aḥmad berkata: “Berkurangnya Nishāb pada sebagian tahun menghalangi wajibnya zakat, dan tidak ada bedanya antara barang dagangan dengan harta benda lainnya.”
Asy-Syāfi‘ī berkata: “Berkurangnya Nishāb pada barang dagangan tidak menghalagi wajibnya zakat. Adapun untuk harta benda lainnya maka ia menghalanginya.”
Pendapat ini sama dengan madzhab Mālik dan Aḥmad.
Aḥmad berkata: “Berkurangnya satu biji atau dua biji tidak mempengaruhi berkurangnya Nishāb.” (77514).
Abū Ḥanīfah berkata: “Tidak ada zakat pada harta keduanya.”
Mālik, asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Ada zakat pada harta keduanya.” (77716).
Abū Ḥanīfah, Aḥmad – dalam riwayat yang masyhur darinya – dan asy-Syāfi‘ī dalam Qaul Jadīd-nya berkata: “Yang wajib membayar zakat majikannya.”
Asy-Syāfi‘ī dalam Qaul Qadīm-nya dan Aḥmad dalam riwayat lain berkata: “Yang membayar zakat si budak bila dia memilikinya.”
Pendapat ini berdasarkan pada masalah: Apabila majikan memberikan sesuatu kepada budaknya sebagai hak milik, apakah budak tersebut memiliki harta tersebut atau tidak?
Mālik berkata: “Apabila majikan memberikan harta kepada budaknya sebagai hak milik maka kewajiban membayar zakat gugur dari orang yang memberikan harta tersebut, karena ia telah keluar dari tangannya, disamping itu kepemilikannya bersifat terbatas.” (77918).
Lih. al-Majmū‘ (6/28), al-Mughnī (2/624), dan Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/428).