Yang Mewajibkan Mandi – Bab Thaharah – Ringkasan Fiqih Mazhab Syafi’i

RINGKASAN FIQIH MAZHAB SYAFI‘I
(Penjelasan Kitab Matan Abu Syuja‘ dengan Dalil al-Qur’an dan Hadits)
Oleh: Musthafa Dib al-Bugha

Penerjemah: Toto Edidarmo
Penerbit: Noura Books (PT Mizan Publika)

Rangkaian Pos: Bab 1 Bersuci (Thahārah) - Ringkasan Fiqih Mazhab Syafi'i

Yang Mewajibkan Mandi.

Hal-hal yang mewajibkan mandi ada enam. Tiga hal pertama berlaku secara umum bagi laki-laki dan perempuan. Tiga hal terakhir berlaku khusus bagi perempuan, yaitu sebagai berikut:

  1. Bertemunya dua khitan (kelamin). (1).

(1). Mandi itu diwajibkan apabila dua alat kelamin telah bertemu, yaitu ketika kuncup atau kepala penis (ḥasyafat-udz-dzakar) masuk ke vagina, meskipun tidak masuk seluruhnya, baik mengeluarkan mani maupun tidak. Apabila kuncup penis terpotong atau sejak lahir tidak memiliki kuncup, ukuran ḥasyafah adalah sepanjang yang belum terpotong.

Kewajiban mandi berlaku juga bagi istri yang dijima‘ (berhubungan dengan suaminya), baik ia mengeluarkan mani maupun tidak mengeluarkannya.

Ketentuan kewajiban mandi ini dijelaskan dalam beberapa hadits, di antaranya hadits berikut.

Hadits yang dirawikan oleh al-Bukhārī dan Muslim dari Abū Hurairah menyatakan:

أَنَّ نَبِيَّ الله (ص) قَالَ: إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الْأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا فَقَدْ وَجَبَ عَلَيْهِ الْغُسْلُ.

“Bahwasanya Nabiyullāh s.a.w. bersabda: “Apabila seseorang berada di antara bagian tubuh istri yang empat, lalu ia berusaha memasukkannya (jima‘) maka ia wajib mandi.

Dalam riwayat Muslim ditambahkan kata: “Meskipun tidak mengeluarkan sperma.”

Muslim merawikan dari ‘Ā’isyah r.a. yang berkata:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص): إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعْبِهَا الْأَرْبَعِ وَ مَسَّ الْخِتَانُ الْخِتَانَ، فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ.

Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Apabila seseorang berada di antara bagian tubuh yang empat, dan kelamin telah menyentuh kelamin yang lain (masuk), ia wajib mandi.”

Dalam riwayat at-Tirmidzī, ‘Ā’isyah r.a. menuturkan:

إِذَا جَاوَزَ الْخِتَانُ الْخِتَانَ، فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ. فَعَلْتُهُ أَنَا وَ رَسُوْلُ اللهِ (ص) فَاغْتَسَلْنَا.

Apabila kelamin telah masuk ke kelamin yang lain maka telah wajib mandi. Aku pernah melakukan hal itu bersama Rasūlullāh s.a.w., lalu kami pun mandi.

At-Tirmidzī berkata: “Kualitas hadits di atas ḥasan shaḥīḥ.”

Dalam kitab al-Muwaththa’, disebutkan bahwa Abū Mūsā al-Asy‘arī bertanya kepada ‘Ā’isyah r.a.:

الرَّجُلُ يُصِيْبُ أَهْلَهُ ثُمَّ يُكْسِلُ وَ لَا يُنْزِلُ. فَقَالَتْ: إِذَا جَاوَزَ الْخِتَانُ الْخِتَانَ، فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ. فَقَالَ أَبُوْ مُوْسَى الْأَشْعَرِيُّ: لَا أَسْأَلُ عَنْ هذَا أَحَدًا بَعْدَكِ أَبَدًا.

(Bagaimana dengan) seorang laki-laki yang meniduri istrinya dan menjima‘nya, tetapi ia tidak mengeluarkan mani?” ‘Ā’isyah menjawab: “Apabila khitan (kelamin) telah masuk ke khitan lain, telah wajib mandi.” Abū Mūsā al-Asy‘arī berkata: “Setelah ini, aku tidak akan bertanya lagi tentang masalah tersebut kepada orang lain.

Dalam riwayat lain, ‘Ā’isyah r.a. menyatakan:

إِنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُوْلَ اللهِ (ص) عَنِ الرَّجُلِ يُجَامِعُ أَهْلَهُ ثُمَّ يُكْسِلُ، هَلْ عَلَيْهِمَ الْغُسْلُ؟ وَ عَائِشَةُ جَالِسَةٌ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص): إِنِّيْ لَأَفْعَلُ ذلِكَ أَنَا وَ هذِهِ ثُمَّ نَغْتَسِلُ.

Seorang laki-laki bertanya kepada Rasūlullāh s.a.w. tentang seorang laki-laki yang menjima‘ istrinya, tetapi ia tidak mengeluarkan mani, apakah keduanya wajib mandi? Pada saat itu, ‘Ā’isyah sedang duduk. Lalu, Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Aku pula pernah melakukan hal tersebut bersama istriku ini (‘Ā’isyah), lalu kami mandi.” (Lihat al-Bukhārī, al-Ghusl, Bab “Idzā iltaqā al-Khitānāni”, hadits no. 287; Muslim, al-Ḥaidh. Bab “Naskh “al-Mā’u minal-Mā’i”,” hadits no. 348-350; at-Tirmidzī, ath-Thahārah, Bab “Mā Jā’a Idzā Iltaqā al-Khitānāni Wajab-al-Ghusl”, hadits no. 108; al-Muwaththa’, Bab “Wājib-ul-Ghusl Idzā Iltaqā al-Khitānāni,” juz 1, hal. 45).

Maksud kata (مَسَّ) menyentuh dan (جَاوَزَ) melewati, adalah kelamin telah masuk (ke kelamin yang lain). Makna ini diperkuat dengan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdullāh bin ‘Amr bin al-‘Ash r.a. yang menyatakan:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص): إِذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ وَ تَوَارَتِ الْحَشَفَةُ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ.

“Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Apabila dua khitan bertemu, lalu kuncupnya tersembunyi (masuk) maka telah wajib mandi”,” (Ibnu Mājah, ath-Thahārah, Bab “Mā Jā’a fī Wujūb-il-Ghusl Idzā Iltaqā al-Khitānāni”, hadits no. 611; Aḥmad juz II, hal. 178).

***

  1. Keluar mani (sperma) (1).

(1). Dalil kewajiban mandi karena keluar mani adalah beberapa hadits, antara lain sebagai berikut:

Hadits riwayat Abū Sa‘īd al-Khudrī yang mengatakan:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص): إِنَّمَا الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ.

“Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya air (wajib mandi) itu karena (keluar) air (mani).

Maksudnya, wajib mengguyurkan air ke seluruh anggota tubuh jika “air” telah keluar dari tubuh. Sebagaimana telah dimaklumi, maksud “air” yang keluar dari tubuh adalah mani (sperma). (Muslim, al-Ḥaidh, Bab “Innamā al-Mā’u min-al-Mā’i,” hadits no. 343).

Hadits yang dirawikan oleh at-Tirmidzī dari ‘Alī r.a.:

سَأَلْتُ النَّبِيَّ عِنَ الْمَذِيِّ، فَقَالَ: مِنَ الْمَذِيِّ الْوُضُوْءُ، مِنَ الْمَنِيِّ الْغُسْلُ.

Aku pernah bertanya kepada Nabi s.a.w. tentang air madzī. Beliau lalu menjawab: “Madzī mengharuskan wudhu’, dan manī (sperma) mengharuskan mandi.” (at-Tirmidzī, ath-Thahārah, Bab “Mā Jā’a fil-Manī wal-Madzī”, hadits no. 114. At-Tirmidzī berkata: “Kualitas hadits ini ḥasan shaḥīḥ”; Aḥmad, juz 1, hal. 87, hadits no. 110, 112, 121; Ibnu Mājah, ath-Thahārah, Bab “al-Wudhū’u min-al-Madzī”, hadits no. 504).

Syarat wajib mandi adalah mani keluar dari jalurnya secara jelas (meyakinkan). Bagi laki-laki, hal tersebut dapat terlihat jelas ketika air mani keluar dari penisnya. Sedangkan bagi perempuan, hal itu dapat terlihat jelas dalam keadaan duduk jongkok untuk membuang hajat.

Kewajiban mandi juga berlaku jika air mani keluar saat tertidur (mimpi). Hal ini sesuai dengan hadits riwayat ‘Ā’isyah r.a. yang menceritakan:

جَاءَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ، امْرَأَةُ إِبِيْ طَلْحَةَ، إِلَى رَسُوْلِ اللهِ (ص) فَقَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ اللهَ لَا يَسْتَحْيِيْ مِنَ الْحَقِّ، هَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ مِنْ غُسْلٍ إِذَا هِيَ احْتَلَمَتْ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص): نَعَمْ، إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ.

Suatu ketika Ummu Sulaim, istri Abū Thalḥah r.a., datang kepada Rasūlullāh s.a.w. sambil berkata: “Wahai Rasūlullāh, sesungguhnya Allah tidak malu dengan kebenaran, apakah perempuan yang bermimpi diwajibkan mandi?” Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Ya, jika ia melihat air (mani),” (al-Bukhārī, al-Ghusl, Bab “Idzā iḥtalamat-il-Mar’ah”, hadits no. 278; Muslim, al-Ḥaidh, Bab “Wujūb-ul-Ghusli ‘alal-Mar’ati fī Khurūj-il-Manī Minhā”, hadits no. 313; Mālik r.a. dalam al-Muwaththa’ dari Ummu Salamah r.a., Bab “Ghusl-ul-Mar’ah Idzā Ra’at fil-Manāmi Mitsla Mā Yarā ar-Rajul”, hadits no. 85).

Maksud mimpi dalam hadits tersebut adalah mimpi berjima‘ dan ia juga melihat air mani di bajunya ketika terbangun dari tidur.

Diriwayatkan pula dari ‘Ā’isyah r.a. yang berkata:

سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ (ص) عَنِ الرَّجُلِ يَجِدُ الْبَلَلَ وَ لَا يَذْكُرُ احْتِلَامًا. قَالَ: يَغْسِلُ وَ عَنِ الرَّجُلِ يَرَى أَنَّهُ قَدِ احْتَلَمَ وَ لَمْ يَجِدْ بَلَلًا. قَالَ: لَا غُسْلَ عَلَيْهِ. قَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ: الْمَرْأَةُ تَرَى ذلِكَ، أَعَلَيْهَا غُسْلٌ، قَالَ: نَعَمْ، إِنَّ النِّسَاءَ شَقَائِقُ الرِّجَالِ.

Rasūlullāh s.a.w. pernah ditanya tentang laki-laki yang mendapati bajunya basah (dari air mani), tetapi ia tidak ingat telah bermimpi. Beliau menjawab: “Ia wajib mandi.” Beliau juga ditanya tentang laki-laki yang bermimpi, tetapi tidak mendapati air mani ketika bangun. Beliau menjawab: “Ia tidak wajib mandi”. Ummu Salamah bertanya: “Bagaimana dengan perempuan yag mengalami hal seperti itu, apakah ia wajib mandi?” Nabi menjawab: “Ya, sesungguhnya perempuan itu sama halnya dengan laki-laki.” (Abū Dāūd, ath-Thahārah, Bab “Fir-Rajuli Yajid-ul-Ballata fī Manāmih”, hadits no. 236; at-Tirmidzī, ath-Thahārah, Bab “Mā Jā’a fī Man Yastaiqizh wa Yarā Balalan wa Lā Yadzkuru Iḥtilāmā”, hadits no. 113; Ibnu Mājah, ath-Thahārah, Bab “Man Iḥtalama wa Lam Yara Balalan”, hadits no. 612).

***

  1. Meninggal dunia. (1).

(1). Dalil wajib mandi karena meninggal dunia adalah riwayat al-Bukhārī dan Muslim dari Ummu ‘Athiyyah al-Anshārī r.a. yang mengatakan:

دَخَلَ عَلَيْنَا رَسُوْلُ اللهِ (ص) حِيْنَ تُوُفِّيَتْ ابْنَتُهُ، فَقَالَ: اغْسِلْنَهَا ثَلَاثًا.

Rasūlullāh s.a.w. mendatangi kami ketika putrinya meninggal dunia. Lalu beliau berkata: “Mandikanlah ia tiga kali,” (al-Bukhārī, al-Janā’iz, Bab “Ghusl-ul-Mayyiti wa Wudhū’ihi bil-Mā’i was-Sadr”, hadits no. 1195; Muslim, al-Janā’iz, Bab “Ghusl-ul-Mayyiti”, hadits no. 939).

Dalam hadits lain, al-Bukhārī dan Muslim merawikan dari Ibnu ‘Abbās r.a. yang berkata:

إِنَّ رَجُلًا وَقَصَهُ بَعِيْرُهُ، وَ نَحْنُ مَعَ النَّبِيِّ (ص) وَ هُوَ مُحْرِمٌ، فَقَالَ النَّبِيُّ (ص): اغْسِلُوْهُ بِمَاءٍ وَ سِدْرٍ وَ كَفِّنُوْهُ فِيْ ثَوْبَيْنِ.

Seorang laki-laki yang sedang ihram meninggal dunia karena terinjak oleh seekor unta. Saat itu, kami sedang bersama Nabi s.a.w. Nabi s.a.w. lalu bersabda: “Mandikanlah ia dengan air dan daun bidara (sidr), lalu kafanilah ia dengan dua helai kain,” (al-Bukhārī, Kitāb-ul-Janā’iz, Bab “Kaifa Yukfan-ul-Muḥrim”, hadits no. 1208; Muslim, Al-Ḥajj, Bab “Ma Yuf‘alu bil-Muḥrimi Idzā Māta”, hadits no. 1206).

***

  1. Haidh.
  2. Nifas.
  3. Melahirkan (wilādah). (1).

(1). Haidh termasuk perkara yang mewajibkan mandi. Kewajiban ini berlaku setelah darah haidh berhenti (tuntas). Begitu juga dengan nifas. Allah s.w.t. berfirman:

….. فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيْضِ وَ لَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَ يُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ.

“…. Karena itu, jauhilah istri pada waktu haidh, dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci (mandi), campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS. al-Baqarah [2]: 222).

Maksud ungkapan “jangan kamu dekati mereka” adalah tidak boleh menjima‘nya. Kata (يَطْهُرْنَ) berarti “suci” atau masa haidh berakhir, sedangkan kata (تَطَهَّرْنَ) berarti sudah suci (mandi).

Dalam hadits yang diriwayatkan dari ‘Ā’isyah r.a. diceritakan:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ (ص) قَالَ لِفَاطِمَةَ بِنْتِ أَبِيْ حُبَيْشٍ: إِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلَاةَ، وَ إِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْتَسِلِيْ وَ صَلِّيْ.

Sesungguhnya Rasūlullāh s.a.w. berkata kepada Fāthimah binti Abī Ḥubaisy r.a.: “Apabila masa haidhmu datang, tinggalkan shalat. Apabila masa haidhmu berakhir, mandilah dan shalat,” (al-Bukhārī, al-Ḥaidh, Bab “Iqbāl-ul-Maḥīdhi wa Idbāruhu”, hadits no. 314; Muslim, al-Ḥaidh, Bab “al-Mustaḥādhatu wa Ghusluhā wa Shalātuhā”, hadits no. 333).

Ketentuan tentang haidh berlaku pada nifas. Sebab, nifas adalah darah yang keluar dari rahim dalam kondisi sehat dan alami, bukan karena suatu penyakit. Begitu pula wilādah (melahirkan); ia disamakan dengan nifas. Wilādah kadang dinamakan juga nifas. Adapun rahim itu bernapas (tanaffasa) dengan mengeluarkan anak. [Tanaffasa: menghembuskan sesuatu; satu akar kata dengan “nifas” – peny.]

Sebagian ulama berpendapat bahwa syarat wajib mandi bagi perempuan yang melahirkan adalah keluarnya darah yang menyertai wilādah (melahirkan), baik sebelum wilādah maupun sesudahnya. Apabila saat melahirkan tidak disertai darah, perempuan tersebut tidak wajib mandi, tetapi hanya dianjurkan (disunnahkan) untuk mandi.

Pendapat yang kuat adalah yang mengatakan bahwa kewajiban mandi berlaku secara umum bagi perempuan yang melahirkan, meskipun kelahiran tersebut tidak disertai darah. Alasannya, karena anak yang lahir itu terbentuk dari unsur mani yang menyebabkan mandi. Dan, mandi wajib tidak sah bagi perempuan sebelum darah tersebut berakhir.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *