Yang Ja’iz Pada Hak Allah s.w.t. – Terjemah Kifayat-ul-‘Awam

KIFĀYAT-UL-‘AWĀM
Pembahasan Ajaran Tauhid Ahl-us-Sunnah

Karya: Syaikh Muḥammad al-Fudhalī
 
Penerjemah: H. Mujiburrahman
Diterbitkan Oleh: MUTIARA ILMU Surabaya

45. ‘AQĪDAH KE-41: YANG JĀ’IZ PADA HAK ALLAH s.w.t.

 

(الْعَقِيْدَةُ الْحَادِيَةُ وَ الْأَرْبَعُوْنَ الْجَائِزُ فِيْ حَقِّهِ تَعَالَى). فَيَجِبُ عَلَى كُلِّ مُكَلَّفٍ أَنْ يَعْتَقِدَ أَنَّ اللهَ تَعَالَى يَجُوْزُ فِيْ حَقِّهِ أَنْ يَخْلُقَ الْخَيْرَ وَ الشَّرَّ فَيَجُوْزُ أَنَّ اللهَ تَعَالَى يَخْلُقُ الْإِسْلَامَ فِيْ زَيْدٍ وَ الْكُفْرَ فِيْ عَمْرٍ وَ الْعِلْمَ فِيْ أَحَدِهِمَا وَ الْجَهْلَ وَ الْجَهْلَ فِي الْآخَرِ.

(‘Aqīdah ke-41 adalah yang jā’iz bagi Allah s.w.t.). Maka wajib atas setiap mukallaf untuk mengi‘tiqādkan bahwa Allah s.w.t. jā’iz pada hak-Nya untuk menciptakan kebaikan dan kejahatan. Maka jā’iz bagi Allah s.w.t. itu menciptakan Islam pada si Zaid dan kafir pada si ‘Amr dan (menciptakan) ‘ilmu pada salah satunya serta kejahilan pada yang lainnya.”

 

وَ مِمَّا يَجِبُ اعْتِقَادُهُ أَيْضًا أَنَّ الْأُمُوْرَ خَيْرَهَا وَ شَرَّهَا بِقَضَاءٍ وَ قَدَرٍ.

Dan di antara perkara yang wajib mengi‘tiqādkannya pula adalah bahwa perkara-perkara itu, yang baiknya atau jeleknya adalah dengan qadhā’ dan qadar.”

46. KHILĀF (perbedaan pendapat) PADA MA‘NA QADHĀ’ DAN QADAR.

وَ اخْتُلِفَ فِيْ مَعْنَى الْقَضَاءِ وَ الْقَدَرِ فَقِيْلَ الْقَضَاءُ إِرَادَةُ اللهِ تَعَالَى وَ تَعَلُّقُهَا الْأَزَلِيُّ وَ الْقَدَرُ إِيْجَادُ اللهِ تَعَالَى الْأَشْيَاءَ عَلَى وِفْقِ الْإِرَادَةِ.

Dan diperselisihkan pada ma‘na qadhā’ dan qadar. Maka dikatakan: Qadhā’ itu adalah kehendak Allah s.w.t. dan ta‘alluq-nya (hubungannya) adalah azali. Sedangkan Qadar itu adalah penciptaan Allah s.w.t. akan segala sesuatu sesuai dengan irādah.

فَإِرَادَةُ اللهِ تَعَالَى الْمُتَعَلِّقَةُ أَزَلًا بِأَنَّكَ تَصِيْرُ عَالِمًا أَوْ سُلْطَانًا قَضَاءٌ وَ إِيْجَادُ الْعِلْمِ فِيْكَ بَعْدَ وُجُوْدِكَ أَوِ السَّلْطَنَةِ عَلَى وِفْقِ الْإِرَادَةِ قَدَرٌ.

Maka kehendak Allah s.w.t. yang ta‘alluq-nya pada azali dengan bahwa anda akan menjadi orang ber‘ilmu atau orang berkuasa (Sulthān) adalah qadhā’ dan penciptaan ‘ilmu pada diri anda sesudah anda terwujūd atau (penciptaan) kekuasaan sesuai dengan irādah adalah qadar.”

وَ قِيْلَ الْقَضَاءُ عِلْمُ اللهِ الْأَزَلِيُّ وَ تَعَلُّقُهُ بِالْمَعْلُوْمِ وَ الْقَدَرُ إِيْجَادُ اللهِ الْأَشْيَاءَ عَلَى وَفْقِ الْعِلْمِ فَعِلْمُ اللهِ الْمُتَعَلِّقُ أَزَلًا بِأَنَّ الشَّخْصَ يَصِيْرُ عَالِمًا بَعْدَ وُجُوْدِهِ قَضَاءٌ وَ إِيْجَادُ الْعِلْمِ فِيْهِ بَعْدَ وُجُوْدِهِ قَدَرٌ.

Dan dikatakan: Qadhā’ itu adalah ‘ilmu Allah yang azali dan ta‘alluq-nya adalah dengan yang ma‘lūm. Sedangkan qadar adalah penciptaan Allah akan segala sesuatu sesuai dengan ‘ilmu. Maka ‘ilmu Allah yang ta‘alluq pada azali dengan bahwa seseorang akan menjadi ber‘ilmu sesudah wujūd-nya adalah qadhā’ dan penciptaan ‘ilmu padanya sesudah wujūd-nya adalah qadar.

وَ عَلَى كُلٍّ مِنَ الْقَوْلَيْنِ فَالْقَضَاءُ قَدِيْمٌ لِأَنَّهُ صِفَةٌ مِنْ صِفَاتِهِ تَعَالَى إِمَّا الْإِرَادَةُ أَوِ الْعِلْمِ وَ الْقَدَرُ حَادِثٌ لِأَنَّهُ الْإِيْجَادُ وَ الْإِيْجَادُ مِنْ تَعَلُّقَاتِ الْقُدْرَةِ وَ تَعَلُّقَاتُ الْقُدْرَةُ حَادِثَةٌ.

Dan berdasarkan tiap-tiap dari dua perkataan itu maka qadhā’ adalah qadīm karena dia adalah sifat dari sifat-sifatnya Allah s.w.t., adakalanya irādah atau ‘ilmu dan qadar adalah baru karena dia merupakan ciptaan, sedangkan ciptaan atau (الْإِيْجَادُ) adalah sebagian dari ta‘alluq qudrat dan ta‘alluq qudrat itu adalah baru.”

47. DALIL BAHWA YANG MUMKINĀT ITU JĀ’IZ PADA ALLAH.

وَ الدَّلِيْلُ عَلَى الْمُمْكِنَاتِ جَائِزَةٌ فِيْ حَقِّهِ تَعَالَى أَنَّهُ اُتُّفِقَ عَلَى جَوَازِهَا فَلَوْ وَجَبَ عَلَيْهِ تَعَالَى فِعْلُ شَيْءٍ مِنْهَا لَا انْقَلَبَ الْجَائِزُ وَاجِبًا وَ لَوِ امْتَنَعَ عَلَيْهِ فِعْلُ شَيْءٍ مِنْهَا لَا انْقَلَبَ الْجَائِزُ مُسْتَحِيْلًا وَ انْقِلَابُ الْجَائِزِ وَاجِبًا أَوْ مُسْتَحِيْلًا بَاطِلًا.

Dan dalil bahwa segala yang mungkin itu jā’iz pada hak Allah s.w.t. adalah bahwa telah disepakati atas ke-jā’iz-annya. Maka kalau wajib atas Allah s.w.t. mengerjakan sesuatu dari (segala yang mungkin itu) niscaya yang jā’iz itu berbalik menjadi wajib dan kalau tercegah atas Allah s.w.t. mengerjakan sesuatu dari yang mungkin niscaya yang jā’iz itu berbalik menjadi mustahil. Dan berbaliknya yang jā’iz menjadi itu berbalik menjadi adalah bāthil.

وَ بِهذَا تَعْلَمُ أَنَّهُ تَعَالَى لَا يَجِبُ عَلَيْهِ شَيْءٌ خِلَافًا لِلْمُعْتَزِلَةِ فِيْ قَوْلِهمْ إِنَّ اللهَ تَعَالَى يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَفْعَلَ الصَّلَاحَ بِالْعَبْدِ فَيَجِبُ عَلَيْهِ تَعَالَى أَنْ يَرْزُقْهُ وَ هذَا زُوْرٌ عَلَيْهِ تَعَالَى وَ كَذِبٌ تَنَزَّهَ اللهُ عَنْ ذلِكَ.

Dan dengan ini tahulah anda bahwa Allah s.w.t. tidak wajib atas-Nya sesuatu, berbeda halnya dengan Mu‘tazilah di dalam perkataan mereka sesungguhnya Allah s.w.t. wajib atas-Nya untuk berbuat sesuatu yang baik dengan hamba, maka wajib atas Allah s.w.t. untuk memberikannya rezeki” dan ini adalah satu kedustaan atas Allah s.w.t. dan satu kebohongan, Maha Suci Allah dari yang demikian.

Sebenarnya perkataan Mu‘tazilah itu adalah: “Wajib atas Allah untuk berbuat sesuatu yang baik dan sesuatu yang lebih baik (الصَّلَاحُ وَ الْأَصْلَاحُ) namun karena pendapat Mu‘tazilah tersebut, adalah pendapat yang masyhur maka cukuplah mengungkapkannya dengan salah satunya saja.

48. ASH-SHALĀḤ WAL-ASHLĀḤ MENURUT MU‘TAZILAH.

Dalam hal pendapat Mu‘tazilah tersebut tidak perlu ada pertanyaan: “Kenapa wajib berbuat (الصَّلَاحُ) dan (الْأَصْلَاحُ) sedangkan keduanya adalah berlawanan dan kapan saja tetap kewajiban bagi salah satunya niscaya tercegahlah yang lain” karena maksud mereka itu adalah bahwa jika ada dua sesuatu, salah satunya adalah (صَلَاحٌ) “baik” dan yang lainnya (فَسَادٌ) “rusak” maka jadilah (الْأَصْلَاحُ) itu yang wajib, bukan lawannya. Dan jika sesuatu yang dua itu, salah satunya (صَلَاحٌ) dan yang lainnya (أَصْلَحُ) lebih baik maka jadilah yang (أَصْلَحُ) itu yang wajib, bukan lawannya. Jadi bukanlah maksud mereka itu bahwa jika ada dua sesuatu, salah satunya (صَلَاحٌ) dan yang lainnya (أَصْلَحُ) maka kedua-duanya lantas menjadi wajib sehingga Allah harus mendatangkan yang demikian itu.

فَخَلْقُهُ الْإِيْمَانَ فِيْ زَيْدٍ مَثَلًا وَ إِعْطَائُهُ الْعِلْمَ مِنْ فَضْلِهِ مِنْ غَيْرِ وُجُوْبٍ.

Maka pencipataan Allah akan iman pada si Zaid umpamanya dan pemberiannya akan ‘ilmu adalah dari keutamaan-Nya dengan tanpa ada kewajiban.

وَ مِمَّا يَرِدُ عَلَى الْمُعْتَزِلَةِ أَنَّ الْأَطْفَالَ يَنْزِلُ بِهِمُ الضَّرَرُ مِنَ الْأَسْقَامِ وَ الْأَعْرَاضِ وَ هذَا لَا صَلَاحَ فِيْهِ لِلْأَطْفَالِ.

Dan di antara apa-apa yang datang atas (membantah) Mu‘tazilah adalah bahwa anak-anak kecil, turun dengan mereka itu kemudharatan berupa asqām ya‘ni penyakit-penyakit dan ini tidak ada kebaikan padanya bagi anak-anak kecil.”

وَ لَوْ كَانَ الصَّلَاحُ وَاجِبًا عَلَيْهِ تَعَالَى لَمَا نَزَلَ الضَّرَرُ بِالْأَطْفَالِ لِأَنَّهُمْ يَقُوْلُوْنَ إِنَّ اللهَ لَا يَتْرُكُ الْوَاجِبَ عَلَيْهِ تَعَالَى لِأَنَّ تَرْكَ الْوَاجِبِ عَلَيْهِ نَقْصٌ وَ اللهُ تَعَالَى مُنَزَّهٌ عَنِ النَّقْصِ بِالْإِجْمَاعِ.

Kalau ada kebaikan itu wajib atas Allah s.w.t. niscaya tidak turun kemudharatan dengan anak-anak kecil karena mereka (mu‘tazilah) berkata: “Sesungguhnya Allah tidak meninggalkan yang wajib atas-Nya Yang Maha Tinggi karena meninggalkan perkara yang wajib atas-Nya adalah satu kekurangan dan Allah s.w.t. itu disucikan dari kekurangan dengan ijma‘ (secara sepakat).”

وَ إِثَابَتُهُ تَعَالَى لِلْمُطِيْعِ فَضْلٌ مِنْهُ وَ عِقَابُهُ لِلْمَعَاصِيْ عَدْلٌ مِنْهُ إِذ لَا تَنْفَعُهُ تَعَالَى طَاعَةٌ وَ لَا تَضُرُّهُ مَعْصِيَّةٌ لِأَنَّهُ النَّافِعُ الضَّارُّ وَ إِنَّمَا هذِهِ الطَّاعَاتُ وَ الْمَعَاصِيْ عَلَامَةٌ عَلَى أَنَّ اللهَ تَعَالَى يُثِيْبُ وَ يُعَاقِبُ مَنِ تَّصَفَ بِهِمَا.

Dan pemberian Allah s.w.t. akan pahala kepada orang yang taat adalah satu keutamaan dari-Nya dan pemberian-Nya akan siksa kepada orang yang berbuat ma‘shiyat adalah satu keadilan dari-Nya karena tidaklah memberi manfaat kepada Allah s.w.t. satu ketaatan dan tidaklah memberikan mudharat kepada-Nya satu kema‘shiyatan karena sesungguhnya Dialah (Allah) yang memberikan manfaat serta memberikan mudharat dan hanyalah ketaatan-ketaatan dan kema‘shiyatan-kema‘shiyatan ini adalah satu tanda bahwa Allah s.w.t. akan memberi pahala dan memberi siksa terhadap orang yang bersifat dengan keduanya.”

Berdasarkan ‘ibārat ini maka seyogyanya bagi hamba itu agar menjadikan pegangannya hanya kepada Allah semata. Maka janganlah dia berharap dan jangan pula dia takut kepada seseorang selain Allah s.w.t.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *