Wasiat Ibn Arabi | Pendahuluan | Sepatah Kata Mengenai Hakikat (2/4)

Oleh :
Prof. Dr. H. Abubakar Aceh
Penerbit:
Lembaga Penyelidikan Islam Jakarta 1976

(lanjutan)

Bagaimana riwayatnya sampai ia memeluk agama Islam dengan keyakinan akan saya uraikan dibawah ini: J. Renet adalah seorang ahli filsafat Keristen bangsa Perancis beberapa tahun dan dibeberapa tempat menjadi guru besar. Untuk mempelajari mistik dalam Islam ia pergi ke Mesir. Disini ia mempelajari dengan mendalam persoalan-persoalan sekitar hakikat dan mengikuti kuliah-kuliah perbandingan mistik yang diberikan di sekolah tinggi Al-Azhar. Sebagaimana seorang bekas guru besar lekas ia dapat menangkap kebenaran, yang kemudian menjadi iman yang kuat baginya. Lalu ia memeluk agama Islam dan bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu pengetahuannya dalam segala bidang, terutama dalam bidang tasawwuf, sehingga Renet menjadi seorang Sufi yang saleh dan zahid. Ia menempuh suluk dan beroleh ijzah dalam tarekat Syaziliyah dari tangan Syekh Muhammad Ulaisy, seorang ulama yang termasyhur dalam masanya di Mesir. Maka semaraklah kehidupan Renet dalam kalangan Islam dengan ilmunya yang mendalam tentang tasawwuf, mempelajarinya, mengamalkannya, mengajarkannya kepada orang banyak di sekolah-sekolah dan di tempat tabligh umum serta menulis karangan-karangan yang berfaedah tentang ilmu ini terutama dalam membahas hakikat sepanjang pengertian Islam. Ia mengajar pada beberapa sekolah tinggi di Perancis dan di Swiss yang banyak diikuti oleh murid-murid bangsa Eropah, kemudian sebahagian memeluk agama Islam dan mengikuti jejak gurunya dalam bertaqwa.

Setelah beberapa lama ia mengajar di Eropa, Renet meninggalkan Perancis dan kembali ke Kairo dengan hidup yang berubah samasekali. Ia menjadi seorang Syeikh besar dan mengajar bersama-sama temannya di Azhar. Di samping itu, ia menghidupkan amal-amal tarekatnya dalam zawiyah, suluk dan banyak beroleh murid-murid, suatu usaha yang dihargai sangat tinggi oleh orang-orang Islam di Mesir. Ia hidup sederhana, dan sebagai orang sufi yang murni ia makan dari hasil karya tangannya dan buahpenanya. Banyak gubahannya mengenai tasawwuf yang dimuat dalam majalah-majalah dan surat berkala bahasa Perancis dan bahasa lain karangan-karangan yang merupakan hasil penyelidikannya. Banyak diantara karangan-karangan itu kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Arab dan bahasa-bahasa lain. Terutama majalah Al-Ma’arif, yang dipimpin oleh Ustaz Abdul Aziz Al-Islambuli, adalah langganan tempat ia menulis persoalan-persoalan hakikat tasawwuf dalam bahasa Arab.

Ia merasakan persaudaraan dalam Islam, yang tidak membedakan bangsa dan warna kulit dan yang menerima segala saudaranya dari keyakinan lain dengan dada terbuka, dan sesudah menjadi anggota kekeluargaan Islam menganggap seperti sefamili dan seketurunan. Lalu kawinlah Renet dengan seorang anak perempuan ulama Mesir yang terkenal, dan dari perkawinan ini lahirlah beberapa anak-anak laki-laki dan perempuan yang salih-salih. Majalah Al-Muslim, suatu majalah gerakan tassawwuf di Mesir, bulan Rabi’ul awwal (12 Agustus 1961) lalu membacakan hari kematian tokoh hakikat besar ini dengan peringatan yang terharu dan sanjungan yang pada tempatnya. “Al-Muslim” itu menerangkan bahwa Renet dikuburkan di Kairo, di tempat yang terbanyak ia meninggalkan risalah atau tugas suci kerohaniannya, ditempat yang ia banyak meninggalkan amal perbuatan dan penerangan, dan di tempat yang banyak meninggalkan khutbah-khutbah mengenai iman dan akhlak Sufi, yang sering didengar orang dengan mencucurkan airmata, dan disambut dengan tepukan tangan, suatu kehormatan tarekat yang belum pernah diterima orang Perancis dari Umat Islam. Nama Renet masih hidup dalam hati umat Islam, masih tercantum dalam karangan-karangannya.

Beberapa waktu kemudian lupalah masyarat Islam akan jasa ulama besar ini, yang telah turut menambah harumnya sejarah ilmu hakikat dalam tasawwuf Islam, sebagaimana biasa teman-teman seperjuangan sebelumnya dari dilupakan orang, ulama-ulama Sufi yang mengorbankan pikiran dan jiwanya dalam usaha menyusun suatu ilmu guna meresapkan rasa keTuhanan dan tauhid, yang dinamakan tasawwuf. Ia berjalan sehabis tugasnya menghadap Tuhannya untuk mempersembahkan segala amal dan ibadatnya, dengan tidak ria dan takebur, sehingga sedikit manusia yang melihat kepergiannya itu, lalu melupakannya.

Salah satu risalah mengenai riwayat hidupnya ditulis oleh Dr. Abdul Halim Mahmud, yang kemudian ternyata berguna sekali untuk menghidupkan nama pujangga Sufi itu dalam sejarah Islam sehingga dikenal orang banyak. Sesudah itu barulah orang insaf dan memperingatinya, sehingga pernah peringatan itu terdapat juga dalam suatu rapat menteri di Mesir. 

(bersambung)

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *