Wasiat Ibn Arabi | Pendahuluan | Sepatah Kata Mengenai Hakikat (1/4)

Oleh :
Prof. Dr. H. Abubakar Aceh
Penerbit:
Lembaga Penyelidikan Islam Jakarta 1976

Sesudah dua buah kitab (telah-ed.) saya terbitkan dalam bidang tasawwuf, pertama : Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawwuf , dan kedua: Pengantar Ilmu Tarekat, (kemudian-ed.) ada teman datang mengatakan bahwa saya mengarang kitab-kitab tersebut bukan hanya sekedar mengupas masalah secara ilmu pengetahuan, tetapi termasuk kupasan yang meyakini dan membelanya. Senyumnya saya balas dengan senyum pula, seraya berkata : “Orang tidak dapat melihat kebenaran dalam sesuatu persoaalan, jika ia sudah mempunyai kecurigaan pada waktu hendak menyelidiki persoalan itu. Jika persoalan ini mengenai keyakinan dan cara berpikir seseorang, maka penyelidikan yang sudah mempunyai corak dan warna itu, hanya akan melahirkan kecaman dan kebencian belaka. Saya tidak ingin menempuh jalan yang telah dilalui oleh berpuluh dan beratus orang semacam itu, yang hanya melahirkan kebencian semata-mata terhadap Tasawwuf, tetapi saya ingin mempelajari bidang ilmu ini, karena saya tidak ingin bermusuhan, hanya hendak mengetahui apa dan betapa daripada kebenarannya dan menyelaminya dari dalam.

Banyak cara yang sudah digunakan orang dalam mengajarkan Islam, untuk mengembalikan umatnya kepada kebesaran zaman Nabi dan Sahabat tetapi sampai sekarang tidak ada satupun diantara cara itu berhasil. Umat Islam betul bertambah banyak dari empat puluh orang di bukit Safa sampai delapan ratus juta, tetapi mutunya bertambah kurang. Jika dahulu menyerang, sekarang diserang. Jika dahulu merdeka, sekarang hampir semua daerah Islam merupakan iajahan orang yang bukan Islam, kalau tidak seluruhnya, separohnya.

Memang caranya bertambah banyak dipikirkan orang untuk mengembalikan kebesaran umat Islam itu, ada yang mengatakan dengan memperdalam ilmu fiqh dan memperbanyak sembahyang. Ada yang mencari kesalahannya dalam kekurangan ilmu pengetahuan umum, ada yang menuduh dalam Islam sudah banyak kemasukan syirik, lalu mengecam bid’ah dan membasminya mati-matian ada. Ada yang melihat karena tertutup pintu ijtihad dan ia hendak menafsirkan ayat-ayat Qur’an dan Hadis menurut pendapatnya sendiri-sendiri. Ada yang hendak menanam iman dan menebalkannya dengan menyuruh menghafal nama-nama Allah, dan ada yang melihat dalam kerusakan akhlak lalu menerangkan ayat-ayat dan hadis-hadis akhlak serta menyuruh menghafalnya, sedang dari seluruh cara itu kita melihat hampir tidak ada hasilnya. Bahkan sebaliknya yang terjadi aliran yang satu mencaci aliran yang lain, sehingga timbullah keretakan dalam kalangan umatIslam dan hilanglah dasar ukhuwwah untuk kerja sama dalam memperbaiki nasib keseluruhannya.

Orang-orang Sufi menempuh suatu jalan yang tertentu, baik dalam meresapkan iman, baik dalam memperbaiki ibadat dan keta’atan, baik dalam memperbaiki akhlak, termasuk mengikis cinta diri (egoisme), yang menjadi pokok kebinasaan, maupun dalam memupuk kesederhanaan hidup atau dalam menciptakan ikatan ukhuwwah antara satu sama lain dsb., semuanya itu merupakan suatu cara pula yang dicipta sebagaimana menciptakan kebangkitan semangat jihad, ilmu pengetahuan, ijtihad dan kitab fiqh.yang berpuluh-puluh jilid. Dengan ciptaan cara itu mau tidak mau diakui, gerakan Sufi telah mempunyai kedudukan dan peradaban sendiri dalam dunia Islam yang luas. Dan dengan demikian pula kita tidak dapat lagi mengukur dasar pendirian kita dengan mengecam, tetapi dengan memperdalam segala persoalan dalam segala bidang tasawwuf itu.

Kita baru dapat memahami tasawwuf dan sufi untuk kepentingan kemajuan Islam, jika kita mempelajari dan mengenai dari dalam, bukan jika kita hanya melihat dari luar, apa lagi dengan kecurigaan. Juga dalam keduniaan terdapat totoh-tokoh ulama besar dalam bidangnya, yang tidak dapat kita ejek dan kita kafirkan gitu saja atau kita katakan tidak bermanfa’at buat masyarakat karena peninjauan kita yang bersifat sepihak. Jika tasawwuf dan segala bidang ilmunya tidak berarti apa-apa buat Islam, tidaklah ia akan berkembang biak dan mendapat sambutan dimana-mana, dan tidaklah akan terdapat kesusastraan peradaban fiqh atau bidang lain dalam Islam.

Cukup dikenal orang nama-nama R.A. Nicholson, A.J. Wensinck, Golziher, Massignon, Asin Palacios dan D.B. MacDonald dalam bidang tarikh tasawwuf, tetapi jarang orang menyebut nama J. Renet, seorang Perancis yang mula-mula tertarik hanya mempelajari Islam untuk mengenalnya, kemudian menyelidiki tasawwuf sampai kepada persoalan hakikat, rupanya disini ia beroleh ilham dalam membandingkan cara memahami Tuhan dengan pemeluk agamanya, lalu masuk Islam dan bernama Adul Wahid Yahya. 

(bersambung)

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *