MAQAM MAHMUD
Walaupun Ibn Arabi membedakan antara perkataan maqam dan manzal, tetapi tidak kita jumpai perbedaan yang sangat bersifat pokok. Sudah menjadi kebiasaan Ibn Arabi unntuk mengeluarkan sesuatu yang berbeda dengan orang lain, misalnya orang lain menggunakan perkataan “fasal” untuk batas antara satu bagian uraian dengan bagian yang lain. Ibn Arabi menggunakan: “wasal.”
Sebelum saya bicarakan perbedaan antara Ibn Arabi dengan ahli tasawwuf yang lain mengenai ahwal dan maqam dalam perinciannya, ada suatu yang istimewa dalam pengupasan Ibn Arabi, yaitu yang dinamakan Maqam Mahmud, maqam terpuji yang sebenarnya suatu istilah yang terambil dari firman Tuhan dalam Qur’an. Dalam seratus lima puluh lima soal, yang disediakan tempat dalam kitabnya “Futuhatul Makkiyah” (juz kedua): dalam soal ketujuh puluh tiga ia menjawab pertanyaan apa itu Maqam Mahmud ?
Ibn Arabi menerangkan dengan panjang lebar, bahwa maqam atau puncak dari segala maqam yang lain, oleh karena itu ia dikhususkan kepada Nabi Muhammad, yang merupakan Rasul penutup dan penghulu segala Nabi, sesuai dengan pengakuannya sendiri dalam sebuah sabdanya: “ana sayyidin naasi yaumal qiyamah (aku adalah penghulu segala manusia pada hari kiamat).” Tuhan menjadikan Adam, tetapi malaikat tidak sujud kepadanya di dunia, karena maqam itu disediakan bagi Muhammad di akherat sebagai kesempurnaan yang dikurniai Tuhan kepada Abul Basyar yang kejadian tubuhnya dari pada Nur Muhammad itu. Dialah bapak yang besar dalam sifat tubuh dan dalam sifat terdekat kepada Allah, dijadikan daripada tanah yang bersari kemanusian, sehingga disebut maqam (hal, 86).
Ibn Arabi menceriterakan, bahwa ia pernah bertanya kepada seorang tokoh sufi terbesar Abdul (Abul-ed.?) Abbas (al-Marsi ?) tentang maksiat Adam yang berupa dosa. Abdul Abbas menjawab, bahwa Adam tidak mempunyai maksiat kecuali dari anak cucu di belakangnya. Maka oleh karena itulah Tuhan jadikan Muhammad untuk menampung segala akibat dosa dan maksiat anak cucu Adam itu diakhirat. Maka dianugerahkanlah kepadanya Maqam Mahmud, suatu maqam yang merupakan puncak segala maqam, sehingga dengan kedudukan ini terbukalah baginya pintu syafa’at.
Syafa’at yang diperkenankan Allah pada awal mulanya berasal aslinya daripada malaikat, rasul/nabi, wali, mukmin dan lain, tetapi syafa’at Muhammad Rasulullah adalah puncak dari segala syafa’at yang beroleh keistimewaan dari pada Tuhannya untuk semua ahli syafa’at tersebut, Dan dengan demikian Nabi Muhammad terangkat kepada kedudukan yang terpuji (Maqam Mahmud) dalam segala kata dan bahasa. Bagi Muhammad-lah syafa’at yang pertama, syafa’at pada waktu pertengahan dan syafa’at pada akhir kesudahannya. Allah berkata: “Malaikat meminta syafa’at. Nabi meminta syafa’at dan orang yang mukmin meminta syafa’at, tinggal-lah pada akhirnya keputusan Yang Maha Pengasih dari segala yang mengasihani (Arhamur raahimin)“. Tuhan yang Maha Perkasa menghapuskan segala siksaan dan melepaskan segala rombongan yang berdosa daripada api neraka. Ia berfirman “Pada hari itu berkumpul-lah segala orang yang takwa berbondong kepada yang bersifat pengasih. Orang yang takwa adalah orang yang mempunyai rasa ketakutan kepada Tuhan dalam hatinya, dan rasa ketakutan itu hilang dengan syafa’at. Dan tidaklah ada terkumpul segala pujian pada hari itu melainkan kepada Muhammad saw., dan kedudukan inilah yang dinamakan Maqam Mahmud.
Bukankah umat Muhammad sejak didunia sudah mengharapkan kedudukan yang terpuji itu bagi Nabinya? Jabir r.a. menerangkan bahwa Rasulullah saw. pernah menerangkan “Barang siapa berdo’a tatkala mendengar panggilan kepada sembahyang (azan): ‘Wahai Tuhan yang memiliki do’a yang sempurna wasilah dan fadhilah, dan anugerahkan kepadanya Maqam Mahmud, yang pernah engkau janjikan kepada Nabi kami’, ia akan beroleh syafa’atku pada hari kiamat.” (Riwayat empat orang Imam Hadits).
Nabi Muhammad pernah menerangkan mengenai Maqam Mahmud itu, bahwa ia memuji Tuhan dengan segala pujian yang tidak dapat diketahui lagi, dan beberapa ucapannya menunjukkan bahwa dirinya itu merupakan perantaraan atau wasilah, bagi mereka yang akan beroleh syafa’at di hari kiamat, sehingga barang siapa berwasilah kepadanya pasti ia akan beroleh svafa’atnya. Maqam ini dinamakan Maqam Mahmud Wasilah, Rasulullah pernah menerangkan: “Aku diberikan kurnia mengeluarkan ucapan yang pelik (Utilu jawami’ul kalam)”, karena syari’at yang dibawa Nabi Muhammad adalah kesimpulan seluruh syariat yang pernah diturunkan kepada semua Nabi dan Rasul, dan kedalam syariatnya terkumpul segala amal.
Dari uraian Nabi juga kita ketahui, bahwa surga yang disediakan sebagai balasan amal (yang-ed.) berjumlah antara delapan puluh kepada tujuhpuluh, tidak lebih dan tidak kurang. Sedang iman yang merupakan pintu untuk memasuki surga itu disebutkan kurang lebih tujuh puluh juga, yang paling rendah: menghilangkan kesukaran di jalan, dan yang paling tinggi terletak dalam: “pengakuan tidak ada Tuhan melainkan Allah”. Semua ini membawa manusia masuk ke dalam surga. Tidak ada umat lain yang diberikan keistimewaan seperti itu, dan sunnah Tuhan ini hanya dianugerahkan kepada Nabi Muhammad, sehingga dengan itu ia mencapai Maqam Mahmud, ia diistimewakan dengan jawamiul kalam, keangkatan umum menjadi Rasul untuk semua manusia, dan dikurniai memberi bantuan terakhir kepada umatnya di hari pengadilan Tuhan.
(bersambung)