Wasiat Ibn Arabi | Bab I Sejarah Hidup (3/3)

Oleh :
Prof. Dr. H. Abubakar Aceh
Penerbit:
Lembaga Penyelidikan Islam Jakarta 1976

(lanjutan)

4. Penilaian Terhadap Ibn Arabi

Dalam menilai kepribadian Ibn Arabi, ulama-ulama itu dapat kita bagi atas beberapa bahagian. Sebahagian yang dipimpin oleh Ibn Taimiyah, At-Taftazani dan Ibrahim al-Biqa’i yang memberi nilai yang buruk kepada Ibn Arabi dan ajarannya. Mereka mencela Ibn Arabi dan menamakannya munafik. Mereka menuduh Ibn Arabi sebagai penganjur dalam ajaran hulul dan ittihad, yang oleh kebanyakan ulama Ahlus Sunnah Waljama’ah dianggap sesat.

Bahagian yang lain dibawah pimpinan Majduddin, pengarang kitab Al-Qamus, Sayuti dan Abdur Razak al-Kasyani mempertahankan dengan gigih kebenaran Ibn Arabi dan memandangnya sebagai seorang mujtahid, seorang sufi yang terhormat dan seorang yang siddiq dalam menyampaikan pendapat-pendapatnya. Perbandingan pendapat ini akan kita bicarakan dalam bahagian lain dalam kitab ini. Disini hanya kita bentangkan saja pendapat-pendapat orang terhadap Ibn Arabi itu.

Ibn Arabi, meskipun menerima serangan dari kanan kiri, bahkan ejekan dan kutukan yang kadang2 sangat hina dilemparkan ke atas dirinya, ia sendiri tidak pernah mengambil  perhatian terhadap kecaman2 itu. Ia tidak pernah bergerak untuk menjawab serangan2 yang tajam itu, tetapi menganggap waktunya lebih penting untuk mengarang dan meneruskan karyanya dengan tenang dan kepala dingin.

Maskipun demikian tidak ada salahnya kita kemukakan disini macam2 pendapat orang terhadap kepribadiannya dan ajarannya agar kita mengenai lebih baik wali ini dan suasana di sekitarnya waktu itu. Sebagaimana yang dikatakan oleh Moulvi S.A.Q. Husaini dalam kitabnya, bahwa sangat disayangkan, keterangan2 yang langsung dari lawan2 Ibn Arabi tidak mudah didapat, sehingga banyak ucapan2 musuhnya itu hanya dibaca orang dalam karangan2 orang lain, kadang2 dalam karangan2 mereka yang membela pendiriannya.

Jamaluddin menulis tentang diri Ibn Arabi demikian : ” Mula pertama saya bertemu dengan Muhyiddin (Ibn Arabi-ed.) ini di Damascus. Ia adalah seorang ulama besar yang menuju ke jalan Allah. Ia mempersatukan dalam dirinya segala keindahan yang dianggap suatu kewajiban untuk mengemukakan keindahan2 dan mutu2-nya itu kepada manusia untuk lebih mengenai Tuhan. Pekerjaannya dalam hal ini dianggapnya suatu beban yang berat yang dipikulkan Tuhan kepadanya. Tidak dapat disangkal bahwa Ibn Arabi dalam dunia Islam sudah menduduki suatu tempat yang terhormat, dan karangan2-nya beroleh perhatian dari semua golongan ulama. Dadanya penuh meluap2 dengan iman dan rasa kesatuan khalik dengan makhluknya, walaupun rasa ini hanya merupakan keadaan dikala ia setengah sadar.

Ibn Arabi mempunyai sekolah2 dan kalau pergi untuk menyambung pekerjaannya. Diantara pengikut2nya itu terdapat pengarang2 dan guru2 yang ulung2, diantaranya guru saya Al-Harrat,yang mengikat persaudaraan dalam suatu ikatan batin yang kuat. Kamal Pasya mengatakan dalam kitab Fatwanya : “Wahai seluruh manusia, ketahuilah yang sempurna dengan keajaiban2 yang sangat menakjubkan: Siapa yang menentang Ibn Arabi kuanggap salah, dan barang siapa yang terus menentang dalam mengutuknya pasti akan hancur, serahkanlah pemeriksaannya kepada Sultan yang mempunyai tanggung jawab dalam perbuatan2 yang dilakukannya.”

Munawi mengatakan, bahwa masyarakat alim ulama sekitar zaman Ibn Arabi ter-bagi2 dalam mengeluarkan pendapat2 dan pendirian nya, ada yang menamakannya zindiq, ada yang memanggilnya siddiq, dan: ulama dari segala ulama. Ada sebahagian masyarakat demikian keras menentang ajaran Ibn Arabi sampai melarang pengikut2-nya membaca kitab karangannya (menurut Burhanuddin dalam kitabnya Al-Mu ‘jam). 

Jalaluddin Suyuti menulis sebuah kitab untuk mempertahankan Ibn Arabi dan pendirian2nya. Kitab itu bernama “Tanbihil Ghabi fi Tanziati Ibn Arabi.” Isi kitab ini akan kita bicarakan dalam bahagian lain dari risalah ini. Dalam pada itu, Syaikhun Nuwa juga menulis sebuah risalah mengenai persoalan tersebut tetapi di dalamnya dibicarakan bermacam2 pendapat orang, mulai mereka yang menuduh Ibn Arabi sebagai seorang munafik sampai kepada mereka yang mengagungkannya sebagai ulama besar. Ibn Hajar juga menulis bahwa: memang ada beberapa orang yang menganggap Ibn Arabi itu Siddiq (termasuk golongan ahli hakekat yang benar), tetapi ia tidak dapat menyangkal bahwa ada juga ulama yang mengecamnya secara keji dan menamakannya Syaitan.

Ibnal Muqri menulis dalam kitabnya, yang berjudul Ar-Raudhah : “Meragukan atau meniadakan ada aliran keyakinan sebagai disiarkan oleh Ibn Arabi adalah munafik”. Sementara itu seorang ulama hakikat yang maha besar, Abdul Wahab Asy-Sya’rani yang menulis suatu karangan singkat mengenai Al-Futuhat al-Makkiyah, berkata bahwa ia memandang Ibn Arabi itu adalah seorang ulama besar.

Najamuddin Al-Isbahani dan Taj bin Attha’illah dari Alexandria kedua2nya memuji2 Ibn Arabi sebagai seorang ulama maha besar dan seorang Sufi yang sangat taat kepada Tuhannya. Pernah pula ditanyakan kepada Muhyiddin Firuzbadi, pengarang kitab Al-Qamus, apakah baik untuk membaca karangan2 dari Ibn Arabi. Pertanyaan itu dijawab oleh Qadhi yang terkenal itu dalam sebuah kitab tersendiri, berjudul Al-Ightibath fi Muwalayati Ibnal Khaiyath.

Dalam kitabnya tersebut dapat kita baca pendapatnya diantara lain sebagai berikut :

“Adapun Syeikh yang maha besar itu (Ibn Arabi) dengan tidak ragu adalah seorang ulama yang berjalan di atas jalan Allah. Ilmu dan hasil karyanya menunjukkan bahwa ia seorang mu’min yang mengadakan sungguh2 penyelidikan terhadap masalah2 hakikat yang nyata/pelik, berbagai hikmah mengenai ibadat2 secara mendalam. Buah tangannya dan usaha2nya merupakan hasil ciptaan yang gilang-gemilang, merupakan lautan ilmu pengetahuan yang luas, yang di dalamnya penuh mutiara2 yang kilau-kilauan dan indah permai untuk diketahui.

Rupanya Tuhan telah memperuntukkan kurnia ilham kepada hambanya yang semacam itu untuk dipergunakannya. Diantara keistimewaan Ibn Arabi ialah bahwa jika ada seorang yang membaca dan menelaah kitab2nya pasti jiwa orang itu bertambah besar, pasti ia dapat mengatasi persoalan2 yang pelik yang harus dipecahkannya.

Hal yang semacam itu tidak mungkin dijumpai kecuali oleh orang2yang dianugerahi rahmat atau kurnia ilmu yang langsung dari padanya sendiri, sehingga ia beroleh kasyaf dan terbuka matanya dari hijab. Ia telah menulis tidak kurang dari pada empat ratus kitab, diantaranya sebuah tafsir Qur’an yang dalam pengupasannya dan penuh berisi mutiara2 filsafat yang indah2. Sayang tafsir Qur’an ini belum selesai sedang ia sudah dipanggil Tuhan ke rahmat-Nya. Dengan tidak ragu2 dapat kita katakan bahwa ia adalah seorang wali dan seorang siddiq.

Banyak orang2 yang mencoba untuk mengujinya. Saya pikir bahwa kebodohan ini akan membawa orang itu kepada menuduh Ibn Arabi munafik, yang tidak layak diucapkan untuk orang ini, hanya karena kurang perhatian dan pengertian tentang kepribadiannya, dan hanya karena tidak dapat memahami kata2 mutiara yang diucapkannya. Orang2 semacam ini belum beruntung dapat mengenyam buah pikiran Ibn Arabi karena kesempitan dadanya”.

Syeikhul Islam Salahuddin dengan tidak sengaja memberi nilai yang tinggi kepada Ibn Arabi. Pada suatu hari ada beberapa orang ulama berkumpul dirumahnya, diantara lain pengikut Izzuddin Ibn Abdus Salam, seorang ahli hakikat yang terkenal pada masa itu, yang melaporkan sebagai berikut : “Pada suatu hari kami berada dalam ruangan pengajian Syeikh ‘Izzuddin Ibn Abdus Salam. Disitu timbullah suatu pembicaraan mengenai pengertian dan asal usul perkataan zindik.

Seorang diantara kami menanyakan, apakah asal kata zindik itu dari bahasa Arab atau dari bahasa Persia. Seorang ulama menjawab, bahwa perkataan itu sebenarnya berasal dari bahasa Persia yang sebenarnya kata itu berbunyi Zan din, yang berarti kepercayaan wanita, kemudian diperluas dengan arti: penyembunyian, kemunafikan dan mengaku adanya Tuhan. Seorang ulama yang lain bertanya lagi : “Seperti siapa orang yang zindik itu” ? ‘Izzuddin menjelaskan : “Seperti Ibn Arabi di Damascus”.

Izzuddin ketika itu menutup mulut tidak berbicara lagi, tetapi juga tidak menolak pernyataan itu. Saya kebetulan berpuasa pada hari itu dan dipanggil berbuka di rumah ‘Izzuddin. Bertanya ketika itu kepadanya : “Tuan, tahukah tuan siapa ulama yang paling terkemuka dalam abad kita sekarang ?”

Izzuddin menjawab : “Apakah yang engkau maksudkan dengan perkataanmu itu ? lebih baik engkau makan terus ! “Maka ketahuilah, bahwa ia memahami apa yang kumaksudkan itu. Saya berhenti makan dan mendesak ‘Izzuddin atas nama Tuhan untuk memberi tahukan kepada saya, siapakah ulama itu. Akhirnya ia tersenyum dan berkata :”Ulama yang paling besar yang kau tanyakan itu pada pendapatku tidak lain daripada Syeikh Muhyiddin Ibn Arabi.”

Saya lalu tertekun sejenak dan terkejut atas jawaban itu. ‘Izzuddin bertanya, apakah sebabnya saya terkejut. Lalu saya katakan : “Karena saya heran, sebab saya pada pagi itu juga ada ulama yang telah menamakan Ibn Arabi seorang zindik”. Tapi Syeikh ‘Izzuddib dalam pernyataannya tetap menerangkan bahwa Muhyiddin Ibn Arabi itu adalah “qutub” dalam abad ini.”

Dengan mengemukakan perkara ini, kelihatan Salahuddin memberi penghargaan juga yang luar biasa kepada Ibn Arabi.

 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *