Dihikayatkan bahwasanya Ḥasan Bashrī ditanya orang: Apakah Allah itu memaksa hambanya?” Beliau menjawab: “Allah lebih adil dari yang demikian itu”. Orang itu bertanya kembali: “Apakah Allah menyerahkan kepada mereka?” Beliaupun menjawab: “Allah lebih mulia dari yang demikian itu” kemudian beliau berkata:
لَوْ أَجْبَرَهُمْ لَمَا عَذَّبَهُمْ وَ لَوْ فَوَّضَ إِلَيْهِمْ لَمَا كَانَ لِلْأَمْرِ مَعْنًى وَ لكِنَّهَا مَنْزِلَةٌ بَيْنَ الْمَنْزِلَتَيْنِ وَ للهِ فِيْهِ سِرٌّ لَا تَعْلَمُوْنَ.
“Kalau Allah memaksa mereka niscaya Dia tidak meng‘adzāb mereka dan kalau Allah menyerahkan kepada mereka niscaya tidak ada artinya perintah. Akan tetapi dia adalah satu tempat di antara dua tempat dan bagi Allah itu ada rahasia yang kamu tidak mengetahuinya.”
قَالَ السَّعْدُ فِيْ شَرْحِ الْعَقَائِدِ وَ هذَا الْاِخْتِيَارُ لَا يُمْكِنُ أَنْ يُعَبَّرَ عَنْهُ بِعِبَارَةٍ بَلِ الشَّخْصُ بَجِدُ بَيْنَ حَرَكَةِ بَدِهِ إِذَا حَرَكَهَا هُوَ وَ بَيْنَ مَا إِذَا حَرَكَهَا الْهَوَاءُ قَهْرًا عَنْهُ فَرْقًا.
“Berkata as-Sa‘d di dalam Syarḥ-ul-‘Aqā’id: Dan ikhtiyār ini tidak mungkin untuk di‘ibāratkan dengan satu ‘ibarat melainkan seseorang itu mendapatkan di antara gerakan tangannya jika dia menggerakkannya dan di antara apa-apa yang jika tangan itu digerakkan oleh udara satu paksaan terhadapnya sebagai perbedaan.”
Masalah ikhtiyār hamba dalam hal perbuatannya adalah masalah yang sulit meng‘ibāratkannya dengan satu ‘ibārat yang terang dan jelas. Semua ‘ibārat mengenai hal itu tidak lepas dari kesamaran dan kekaburan. Di antara ‘ibārat yang masyhur mengenai hal tersebut adalah:
تَعَلُّقُ الْقُدْرَةِ بِالْمَقْدُوْرَةِ لَا عَلَى وَجْهِ التَّأْثِيْرِ فِيْهِ.
“Hubungan antara qudrat Allah dan maqdūr (yang dikuasai ya‘ni hamba) adalah bukan secara ta’tsīr atau memberi bekas padanya.”
وَ مِنَ الْجَائِزِ عَلَيْهِ تَعَالَى إِرْسَالُ جَمِيْعِ الرُّسُلِ فَإِرْسَالُهُ تَعَالَى لَهُمْ عَلَيْهِمْ أَفْضَلُ الصَّلَاةِ وَ السَّلَامِ بِفَضْلِهِ لَا بِطَرِيْقِ الْوُجُوْبِ لِأَنَّهُ تَعَالَى لَا يَجِبُ عَلَيْهِ شَيْءٌ كَمَا مَرَّ.
“Dan di antara yang jā’iz atas Allah s.w.t. adalah mengutus semua para rasūl. Maka Allah s.w.t. mengutus mereka itu – semoga atas mereka shalawat dan salām – adalah dengan keutamaan-Nya, bukan dengan jalan wajib karena tidak wajib atas Allah s.w.t. sesuatu sebagaimana yang telah lain.”
وَ مِمَّا يَجِبُ اعْتِقَادُهُ أَنَّ أَفْضَلَ الْمَخْلُوْقَاتِ عَلَى الْإِطْلَاقِ نَبِيُّنَا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَ عَلَى آلِهِ وَ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ أَجْمَعِيْنَ.
“Dan di antara perkara yang wajib mengi‘tiqādkannya adalah bahwa yang paling utama dari sekalian makhlūq ini secara mutlak adalah Nabi kita, semoga Allah memberi shalawat dan salām atasnya dan juga atas keluarganya serta atas ahl-ul-baitnya semua.”
وَ يَلِيْهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِي الْأَفْضَلِيَّةِ بَقِيَّةُ أُوْلِي الْعَزْمِ وَ هُمْ سَيَّدُنَا إِبْرَاهِيْمُ فَسَيِّدُنَا مُوْسَى فَسَيِّدُنَا عِيْسَى فَسَيِّدُنَا نُوْحٌ وَ هُمْ فِي الْأَفْضَلِيَّةِ عَلَى التَّرْتِيْبِ.
“Dan yang mengiringi Nabi s.a.w. dalam hal keutamaan adalah sisa dari Ulil-‘Azmi. Mereka itu adalah Sayyidinā Ibrāhīm, Sayyidinā Mūsā, Sayyidinā ‘Īsā serta Sayyidinā Nūḥ dan mereka itu dalam hal keutamaan adalah berdasarkan ketertiban (urutan) ini.”
وَ كُوْنُهُمْ خَمْسَةً: نَبِيُّنَا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَ الْأَرْبَعَةُ بَعْدَهُ وَ هُوَ الصَّحِيْحُ وَ قِيْلَ أَوْلِي الْعَزْمِ أَكْثَرُ مِنْ ذلِكَ.
“Dan keadaan mereka itu adalah lima (ya‘ni) Nabi s.a.w. dan empat sesudahnya dan dialah yang benar. Dan dikatakan (bahwa) Ulil-‘Azmi itu lebih dari yang demikian.”
وَ يَلِيْ أُوْلِي الْعَزْمِ فِي الْأَفْضِلِيَّةِ بَقِيَّةُ الرُّسُلِ ثُمَّ بَقِيَّةُ الْأَنْبِيَاءِ عَلَى نَبِيِّنَا وَ عَلَيْهِمُ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ ثُمَّ الْمَلَائِكَةُ.
“Dan yang mengiringi Ulil-‘Azmi dalam hal keutamaan adalah sisa dari para rasūl, kemudian sisa dari para nabi – semoga atas Nabi kita dan atas mereka itu shalawat dan salām – kemudian para Malaikat.”
Zhāhir ‘ibārat ini menunjukkan bahwa semua Malaikat itu lebih utama dari pemimpin-pemimpin manusia seperti Abū Bakar, sedangkan yang benar adalah selainnya ya‘ni bahwa yang demikian itu terbatas kepada pemimpin-pemimpin Malaikat saja seperti Jibrīl. Maka yang mengiringi para nabi itu adalah para pemimpin Malaikat, lantas para pemimpin manusia, lantas Malaikat secara umum kemudian manusia secara umum.
وَ يَجِبُ أَنْ يُعْتَقَدَ أَنَّ اللهُ تَعَالَى أَيَّدُهُمْ بِالْمُعْجِرَاتِ وَاخْتَصَّ نَبِيَّنَا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بِأَنَّهُ خَاتَمُ الرُّسُلِ وَ بِأَنَّ شَرْعَهُ لَا يُنْسَخُ حَتَّى يُنْقَضِيَ الزَّمَانُ.
“Dan wajib untuk dii‘tiqadkan bahwa Allah s.w.t. memperkuat mereka (para nabi) itu dengan mu‘jizat-mu‘jizat dan telah mengkhususkan Nabi kita s.a.w. bahwa dia itu adalah penutup para Rasūl dan bahwa syarī‘atnya tidak akan terhapus hingga akhir zaman.”
وَ عِيْسَى عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ بَعْدَ نُزُوْلِهِ يَحْكُمُ بِشَرْعِ نَبِيِّنَا فَقِيْلَ يَأْخُذُهُ مِنَ الْقُرْآنِ وَ السُّنَّةِ وَ قِيْلَ يَذْهِبُ إِلَى الْقَبْرِ الشَّرِيْفِ فَيَتَعَلَّمُهُ مِنْهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ.
“Dan ‘Īsā a.s. sesudah turunnya (dari langit) akan berhukum dengan syarī‘at Nabi kita, maka dikatakan: “Dia mengambilnya (syarī‘at tersebut) dari al-Qur’ān dan Sunnah”. Dan dikatakan: “Dia pergi ke kubur yang mulia lantas dia mempelajarinya dari Nabi s.a.w.”
Kalau dikatakan bahwa ‘Īsā a.s. sesudah turunnya dari langit tidak menerima jizyah (pajak) dari kaum kafir sedangkan Nabi kita dahulu menerimanya, apakah yang demikian itu tidak menunjukkan bahwa ‘Īsā tersebut berhukum dengan syarī‘atnya sendiri dan bukan dengan syarī‘at Nabi kita, maka kita dapat memberikan jawaban bahwa Nabi kita Muḥammad s.a.w. sudah selesai dan merasa tidak perlu lagi untuk menerima jizyah tersebut dengan turunnya ‘Īsā maka hukum yang demikian itu ya‘ni hukum tidak menerima jizyah yang akan diterapkan ‘Īsā adalah dari syarī‘atnya Nabi kita juga.
وَ اعْلَمْ أَنَّهُ يُنْسَخُ بَعْضُ شَرْعِ نَبِيِّنَا بِبَعْضِهِ الْآخَرِ كَمَا نُسِخَ وُجُوْبُ كَوْنِ عِدَّةِ الْمَرْأَةِ الْمُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا سَنَةً بِوُجُوْبِ كَوْنِهَا أَرْبَعَةَ أَشْهُرِ وَ عَشْرًا وَ لَا نَقْصَ فِيْ ذلِكَ.
“Dan ketahuilah, bahwa sebagian syarī‘at Nabi kita ada yang dinasakh (dihapus) dengan sebagian yang lain sebagaimana dinasakh wajibnya keadaan ‘iddah perempuan yang ditinggal mati suaminya selama satu tahun dengan wajibnya keadaan ‘iddah itu selama 4 bulan 10 hari dan tidaklah ada kekurangan pada yang demikian itu.”
Mengenai ayat-ayat yang menunjukkan wajibnya perempuan yang ditinggal mati suaminya untuk ber‘iddah dengan satu tahun adalah:
وَ الّذِيْنَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَ يَذَرُوْنَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ.
“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan istri hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya yaitu diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya).”
Ayat ini di-nasakh (dihapus) oleh ayat lain ya‘ni surat al-Baqarah 234:
وَ الّذِيْنَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَ يَذَرُوْنَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَ عَشْرًا
“Dan orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya selama 4 bulan 10 hari.”
Ayat yang menghapus ini (an-Nāsikh) meskipun dia lebih dahulu dalam tilāwah (bacaan)nya dibanding dengan ayat yang dihapus (al-Mansūkh) namun dia terakhir dalam hal turunnya sehingga tidak menyimpang dari syarat nāsikh mansukh di mana yang nāsikh harus lebih akhir daripada mansūkh. Demikian dikatakan oleh al-Khathīb di dalam tafsirnya.