(lanjutan)
Dalam bidang Tasawuf, seorang penulis dari Belanda (Brockleman) mencatat ada 3 karya Syeikh Nawawi yang dapat dikategorikan dalam pandangan tasawuf, yaitu:
21. Misbah al-Zulam.
22. Qami’ al-Thugyan.
23. Salalim al Fudlala.
Di dalam kitab-kitab tersebut Syeikh Nawawi banyak sekali merujuk kitab Ihya ‘Ulumuddin al-Ghazali. Bahkan kitab ini merupakan rujukan penting bagi setiap tarekat. Pandangan tasawufnya meski tidak tergantung pada gurunya (pamannya sendiri): Syeikh Abdul Karim, seorang ulama tasawuf asal Jawa Barat yang memimpin sebuah organisasi tarekat, namun atas pengetahuan dan pengembangan spesialisasi ilmu yang ditekuni serta tuntutan masyarakat, beliau tidak mengembangkan metoda tarbiyah tasawuf seperti guru-gurunya.
Dalam kitab Salalim al-Fudlala, Nawawi bagai seorang sosok al-Gazali di era modern. Beliau lihai dalam mengurai kebekuan dikotomi fiqh dan tasawuf. Sebagai contoh dapat dilihat dari pandangannya tentang ilmu alam lahir dan ilmu alam batin.
Ilmu lahiriyah (ilmu alam lahir), menurutnya dapat diperoleh dengan proses ta’alum (berguru) dan tadarrus (belajar) sehingga mencapai derajat ‘Alim.
Sedangkan ilmu batin (ilmu alam batin) hanya bisa diperoleh melului proses dzikir, muraqabah dan musyahadah sehingga mencapai derajat ‘Arif.
Pendirian Syeikh Nawawi
Seperti teolog Asy’ary lainnya, Syeikh Nawawi menempatkan dirinya sebagai penganut aliran yang berada di tengah-tengah antara dua aliran teologi ekstrim yaitu Qadariyah dan Jabbariyah, yaitu sebagaimana dianut oleh faham (aliran) Ahlussunnah wal-Jama’ah.
Dia mengakui Kemahakuasaan Tuhan, tetapi konsepnya tidak sampai pada konsep jabbariyah, yang meyakini bahwa sebenarnya semua perbuatan manusia itu dinisbatkan pada Allah dan tidak disandarkan pada daya manusia (manusia tidak memiliki kekuatan apa-apa). Untuk hal ini dalam konteks Indonesia sebenamya Syeikh Nawawi telah berhasil membangkitkan dan menyegarkan kembali ajaran Agama dalam bidang teologi dan berhasil mengikis kecenderungan meluasnya konsep Jabbariyah di Indonesia dengan konsep tawakkal bi Allah.
Secara konteks Islam Jawa, teologi Asyariyah, dalam kadar tertentu konsep Syeikh Nawawi sebenarnya telah dapat menumbuhkan sikap merdeka (lepasnya) dari kekuatan lain setelah tawakkal kepada Allah.
Konsep penyerahan diri kepada Allah umat Islam disadarkan, bahwa tidak ada kekuatan lain kecuali Allah. Dan sesungguhnya kekuatan Allah tidak akan terkalahkan oleh kekuatan kolonialis. Disinilah letak peranan Syeikh Nawawi dalam mensosialisasikan teologi Asyariyah yang terbukti dapat menggugah semangat jihad para muridnya di Mekkah “koloni Jawa” saat berkumpul. Dan seringkali perkumpulan itu selalu dicurigai oleh kolonial Belanda, karena memiliki potensi makar.
Dalam beberapa kesempatan Syeikh Nawawi sering memprovokasi bahwa bekerja sama dengan kolonial Belanda (non muslim) haram hukumnya.
Tentang Keluarganya
Istri pertama Syeikh Nawawi bernama Nasimah. asimah adalah wanita kelahiran Tanara. Darinya, Kiai Nawawi dikaruniai tiga anak putri:
1. Nafisah.
2. Maryam.
3. Rubi’ah.
Istrinya yang kedua bernama Hamdanah. Hamdanah yang baru berusia belasan tahun ketika dinikahi, sementara usia Syeikh Nawawi pada saat itu sudah mendekati seabad. Darinya, ia dikaruniai satu putri, yaitu Zuhrah.
Di antara Karomah-karomah Syeikh Nawawi
Alkisah: Saat menulis syarah kitab Bidayatul Hidayah (karya Imam Ghozali), lampu minyak beliau padam, padahal saat itu sedang dalam perjalanan di atas (sekedup) onta. Kemudian beliau berdoa:
“Bila kitab ini dianggap penting dan bermanfaat buat kaum muslimin, berikanlah sinar ya Allah, agar bisa melanjutkan menulis“.
Tiba-tiba jempol kaki beliau mengeluarkan api, bersinar terang, dan beliau meneruskan menulis syarah itu hingga selesai. Dan bekas api dijempol tadi membekas, hingga saat Pemerintah Hijaz memanggil beliau untuk dijadikan tentara (karena badan beliau tegap), ternyata beliau ditolak, karena adanya bekas luka bakar di jempol kaki tadi.
Karomah yang lain, beberapa tahun setelah beliau wafat. Saat makamnya akan dibongkar oleh pemerintah untuk dipindahkan tulang belulangnya dan liang lahatnya akan ditumpuki jenazah lain (sebagaimana lazim di Ma’la, Makkah). Saat itulah para petugas mengurungkan niatnya, sebab jenazah Syeikh Nawawi (beserta kafannya) masih utuh walaupun sudah bertahun-tahun dikubur. Karena itu, sampai sekarang bila pergi ke Makkah, akan bisa menemukan makam beliau di Pemakaman Umum Ma’la.
Wafat Syeikh Nawawi
Syeikh Nawawi al-Bantani wafat pada 25 Syawal 1314H/1879 M.
Dia wafat pada saat sedang menyusun sebuah kitab yang menguraikan Minhaj ath- Thalibin karya Imam Yahya bin Syaraf bin Mura bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jam’ah Hujam An-Nawawi.
Jenazahnya dimakamkan di Syeib A’li (Ma’la), sebuah kawasan di pinggiran kota Mekkah, dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri Nabi, dan berdekatan pula dengan makam Ibnu Hajar dan Siti Asma binti Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Wallohu a’lam