Ulama-Ulama Kitab Kuning Indonesia | Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari (2/3)

Ulama-Ulama Kitab Kuning Indonesia

Nadzirin (Mbah Rien)

Penerbit : Mitra Gayatri- Lirboyo, Kediri

(lanjutan)

Guru-guru Syeikh Muhammad Arsyad

Selama belajar di Mekah Syeikh Muhammad Arsyad tinggal di sebuah rumah di Samiyah yang dibeli oleh Sultan Banjar. Beliau mengaji kepada masyayikh terkemuka pada masa itu. Diantara guru-guru beliau yang berasal dari Melayu dan bermukim di Arab Saudi adalah :

1) Syeikh Abdur Rahman bin Abdul Mubin Pauh Bok Al-Fathani (Thailand Selatan).

2) Syeikh Muhammad Zain bin Faqih Jalaluddin (Aceh).

3) Syeikh Muhammad ‘Aqib bin Hasanuddin Al-Falimbani (Palembang).

Dan guru-guru beliau yang dari Mekkah antara lain:

4) Syeikh ‘Athoillah bin Ahmad al Mishry,

5) Syeikh Muhammad bin Sulaiman al Kurdi.

6) Syeikh Muhammad bin Abdul Karim Al-Samman Al-Hasani Al-Madani.

Syeikh Muhammad bin Abdul Karim Al-Samman adalah guru Syeikh Muhammad Arsyad di bidang tasawuf, di bawah bimbingannya Syeikh Muhammad Arsyad melakukan suluk dan khalwat, sehingga mendapat ijazah darinya dengan kedudukan sebagai khalifah.

Menurut riwayat, Khalifah Al-Sayyid Muhammad Al-Samman di Indonesia pada masa itu, hanya empat orang yaitu:

1. Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari,

2. Syeikh Abdush Shomad Al-Falimbani (Palembang),

3. Syeikh Abdul Wahab (Bugis). Yang kemudian menjadi menantu Syeikh Muhammad Arsyad.

4. Syeikh Abdul Rahman Mesyri (Betawi).

Mereka berempat dikenal dengan “Empat Serangkai dari Tanah Jawa” yang sama-sama menuntut ilmu di Haramain Al-Syarifain (seperti telah dipaparkan dalam kisah Syeikh Abdush Shamad Al-Falimbani).

Setelah lebih kurang 35 tahun menuntut ilmu, timbullah kerinduan akan kampung halaman. Terbayang di pelupuk mata, indahnya tepian pantai yang diarak barisan pepohonan nyiur menjulang. Terngiang kicauan burung di pematang dan desiran angin membelai hijaunya rumput. Terkenang akan kesabaran dan ketegaran sang istri yang setia menanti tanpa tahu sampai kapan penantiannya akan berakhir.

Pada Bulan Ramadhan 1186 H bertepatan 1772 M, pulanglah Syeikh Muhammad Arsyad sampai di kampung halaman, Martapura pusat Kerajaan Banjar pada masa itu. Akan tetapi, Sultan Tahlilullah seorang yang telah banyak membantunya telah wafat dan digantikan oleh Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah I, yaitu cucu Sultan Tahlilullah.

Sultan Tahmidullah II, menyambut kedatangan beliau dengan upacara adat kebesaran. Segenap rakyatpun mengelu-elukan Syeikh Muhammad Arsyad sebagai seorang ulama “Matahari Agama” yang cahayanya diharapkan mampu menyinari seluruh Kerajaan Banjar.

Sultan Tahmidullah II sebagai seorang Sultan sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan serta kemajuan agama Islam di kerajaannya. Sultan inilah yang meminta kepada Syeikh Muhammad Arsyad agar menulis sebuah Kitab Hukum Ibadat (Hukum Fiqh), yang kemudian dikenal dengan nama Kitab Sabilal Muhtadin.

Masa-masa Mengajar

Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah pelopor pengajaran Hukum Islam di Kalimantan Selatan.

Sekembalinya ke kampung halaman dari Mekkah, hal pertama yang dikerjakannya ialah membuka tempat pengajian (semacam pesantren) bernama “Dalam Pagar”, yang kemudian menjadi sebuah nama kampung yang ramai tempat menuntut ilmu agama Islam para santri dari berbagai pelosok negeri. Ulama-ulama yang dikemudian hari menduduki tempat-tempat penting di seluruh Kerajaan Banjar, banyak yang merupakan didikan dari suraunya di desa Dalam Pagar.

Aktivitas beliau dicurahkan untuk menyebar luaskan ilmu yang diperolehnya. Baik kepada keluarga, kerabat ataupun masyarakat umum. Bahkan sultanpun termasuk menjadi salah seorang muridnya, sehingga jadilah Sultan Tahmidullah II seorang raja yang alim serta wara’.

Dalam menyampaikan ilmunya, Syeikh Muhammad Arsyad mempunyai beberapa metode, di mana antara satu dengan yang lain saling menunjang. Adapun metode-metode tersebut yaitu:

1) Bil-hal.

Keteladanan yang baik (uswatun hasanah) yang di refleksikan dalam tingkah-laku, gerak-gerik atau tutur-kata sehari-hari dan disaksikan secara langsung oleh murid-murid beliau.

2) Bil-lisan.

Dengan mengadakan pengajaran dan pengajian yang bisa di ikuti siapa saja, baik keluarga, kerabat, sahabat dan handai taulan.

3) Bil-kitabah

Menggunakan bakat yang beliau miliki di bidang tulis-menulis, sehingga terciptalah kitab-kitab yang menjadi pegangan umat. Hampir semua ilmu keislaman yang telah dipelajari di Mekah dan Madinah mempunyai sanad atau silsilah muttashil hingga ke pengarangnya (pun dengan Syaikh Muhammad Arsyad-ed.). Hal ini cukup jelas seperti yang ditulis oleh Syeikh Yasin bin Isa Al-Fadani (Padang, Sumatera Barat) dalam beberapa buah karya beliau.

(bersambung)

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *