Ulama-Ulama Kitab Kuning Indonesia | Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari (1/3)

Ulama-Ulama Kitab Kuning Indonesia

Nadzirin (Mbah Rien)

Penerbit : Mitra Gayatri- Lirboyo, Kediri

SYEIKH MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARI

(1710 M. – 1812 M.)

Tentang Syeikh Muhammad Arsyad 

Nama lengkapnya Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah bin Abdur Rahman Al- Banjari. Lahir di desa Lok Gabang pada hari Kamis dini hari, pukul 03.00 (waktu sahur), 15 Safar 1122 H atau 17 Maret 1710 M. Wafat pada 6 Syawal 1227 H atau 3 Oktober 1812 M. Beliau adalah cicit Sayid Abu Bakar bin Sayid Abdullah Al-‘Aidrus bin Sayid Abu Bakar As-Sakran bin Sayid Abdur Rahman As-Saqaf bin Sayid Muhammad Maula Dawilah Al-‘Aidrus. Silsilahnya kemudian sampai pada Sayidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidatina Fatimah binti Rasulullah.

Dengan demikian Syeikh Muhammad Arsyad masih memiliki darah keturunan Rasulullah.

Masa Kecil dan Masa Belajar

Syeikh Muhammad Arsyad adalah anak pertama dari pasangan keluarga muslim yang taat beragama, yaitu Syeikh Abdullah dan Siti Aminah. Sejak masa kecilnya Allah SWT telah menampakkan kelebihan pada dirinya dengan kawan sebayanya. Dimana beliau sangat patuh dan ta’dzim kepada kedua orang tuanya, serta jujur dan santun dalam pergaulan bersama teman- temannya.

Allah SWT juga menganugrahkan kepadanya kecerdasan berpikir serta bakat seni, khususnya di bidang khat (kaligrafi), mewarisi keahlian ayahnya. Sehingga siapa saja yang melihat karyanya akan merasa kagum dan terpukau. Bapak Syeikh Muhammad Arsyad yaitu Syeikh Abdullah bukan asli orang Banjar, tetapi seorang pendatang dari India yang mengembara untuk tujuan berdakwah. Semasa Syeikh Muhammad Arsyad dalam kehamilan, kedua orang tuanya sering berdo’a agar diberikan anak yang alim dan zuhud.

Setelah lahir putra sulung yang dinanti-nantikan, bapak ibunya mendidik dengan penuh kasih sayang, beliau dididik dengan dendangan Asma’ul husna, disamping do’a- do’a lainnya. Kemudian barulah menyusul setelah kelahiran Syeikh Muhammad, dilanjutkan kelahiran adik-adiknya yaitu: Arsyad, Abidin, Zainal Abidin, Nurmein, dan Nurul Amin.

Syeikh Abdullah tercatat sebagai pemimpin peperangan melawan Portugis dan Belanda, kemudian ikut melarikan diri bersama istrinya ke daerah Lok Gabang (Martapura). Diceritakan Pada suatu hari, tatkala Sultan Kerajaan Banjar (Sultan Tahmidullah) mengadakan kunjungan ke kampung- kampung, dan sampailah ke kampung Lok Gabang, alangkah terkesimanya Sang Sultan manakala melihat lukisan anak kecil yang indah dan menawan hatinya. Maka ditanyakanlah siapa anak kecil yang melukisnya, kemudian dijawab orang bahwa pelukisnya adalah Muhammad Arsyad.

Ditambahkan pula bahwa Muhammad Arsyad juga telah fasih membaca Al-Quran dengan indahnya. Mengetahui kecerdasan dan bakat Muhammad Arsyad, terbesitlah di hati Sultan keinginan untuk mengasuh dan mendidik Muhammad Arsyad di istana yang ketika itu baru berusia 7 tahun. Pada akhirnya Sultan mengutarakan keinginan hatinya kepada kedua orang tua Muhammad Arsyad. Sultan mengharap agar anak tersebut sebaiknya tinggal di istana untuk belajar bersama dengan anak-anak dan cucu Sultan.

Pada mulanya Syeikh Abdullah (bapak Syeikh Muhammad Arsyad) beserta istri merasa enggan melepas anaknya yang tercinta. Tapi demi masa depan sang buah hati yang diharapkan menjadi anak yang berbakti kepada agama, negara dan orang tua, maka diterimalah tawaran sultan tersebut. Kepandaian Muhammad Arsyad dalam membawa diri, sifatnya yang rendah hati, kesederhanaan hidup serta keluhuran budi pekertinya menjadikan segenap warga istana sayang dan hormat kepadanya. Bahkan sultanpun memperlakukannya seperti anak kandung sendiri.

Berkeluarga dan Tetap Belajar

Setelah Syeikh Muhammad Arsyad berumur 30 tahun, beliau dinikahkan dengan seorang perempuan yang solehah “Tuan Bajut” bernama Siti Aminah, seorang perempuan yang ta’at lagi berbakti pada suami sehingga terjalinlah hubungan saling pengertian dan hidup bahagia, seiring sejalan, se-ia sekata, bersama-sama meraih ridho Allah semata, dan dikaruniai seorang anak yang diberi nama Syarifah.

Ketika istrinya mengandung anak yang pertama, terlintaslah di hati Syeikh Muhammad Arsyad suatu keinginan yang kuat untuk menuntut ilmu di tanah suci Mekkah. Maka disampaikanlah hasrat hatinya kepada sang istri tercinta. Meskipun dengan berat hati mengingat usia pernikahan mereka yang masih muda, akhirnya Siti Aminah mengamini niat suci sang suami dan mendukungnya dalam meraih cita-cita.

Maka setelah mendapat restu dari Sultan, dan sultanpun mengabulkan keinginannya demi memperdalam ilmunya, segala perbelanjaanya ditanggung oleh Sultan, berangkatlah Muhammad Arsyad ke Tanah Suci mewujudkan cita-citanya. Deraian air mata dan untaian kepergiannya. do’a mengiringi kepergiannya (ke Mekkah-ed.).

(bersambung)

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *