وَ لَا يَقْتَضِي التِّكْرَارَ عَلَى الصَّحِيْحِ) لِأَنَّ مَا قُصِدَ بِهِ مِنْ تَحْصِيْلِ الْمَأْمُوْرِ بِهِ يَتَحَقَّقُ بِالْمَرَّةِ الْوَاحِدَةِ، وَ الْأَصْلُ بَرَاءَةُ الذِّمَّةِ مِمَّا زَادَ عَلَيْهَا (إِلَّا إِذَا دَلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى قَصْدِالتِّكْرَارِ) فَيُعْمَلُ بِهِ، كَالْأَمْرِ بِالصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ، وَ الْأَمْرِ بِصَوْمِ رَمَضَانَ.
وَ مُقَابِلُ الصَّحِيْحِ أَنَّهُ يَقْتَضِي التِّكْرَارِ فَيَسْتَوْعَبُ الْمَأْمُوْرُ بِالْمَطْلُوْبِ مَا يُمْكِنُهُ مِنْ زَمَانِ الْعُمْرِ حَيْثُ لَا بَيَانَ لِأَمَدِ الْمَأْمُوْرِ بِهِ لِانْتِفَاءِ مُرَجِّحِ بَعْضِهِ عَلَى بَعْضٍ.
Amr tidak menuntut adanya pengulangan (atas perbuatan yang diperintahkan) menurut pendapat shaḥīḥ. Karena tujuan dari amr, ya‘ni berupa merealisasikan perbuatan yang diperintahkan, sudah tercapai dengan sekali dilakukan. Dan hukum asal menyatakan bebas dari tanggungan lebih dari satu kali. Kecuali apabila ada dalīl yang menunjukkan tujuan pengulangan, maka dalīl inipun harus di‘amalkan. Contoh, perintah menjalankan shalat lima waktu dan perintah melakukan puasa Ramadhān.
Menurut muqābil-ush-shaḥīḥ, amr menuntut adanya pengulangan, sehingga orang yang diperintah harus menjalankannya sebisa mungkin selama hidupnya. Selama tidak ada penjelasan tentang masa berlakunya sesuatu yang diperintahkan. Karena di sini tidak ada faktor yang mengunggulkan antara satu dengan yang lain.
Substansi amr adalah mewujūdkan (مَاهِيَةٌ) “hakikat dan tujuannya), tidak menetapkan pengulangan perbuatan yang diperintahkan dan juga tidak menuntut dilakukan satu kali menurut pendapat shaḥīḥ. Tujuan dasar dari amr adalah terealisasinya perbuatan yang diperintahkan (مَأْمُوْرٌ بِهِ), sedangkan dilakukan satu kali merupakan keharusan (ضَرُوْرِيَّةٌ) untuk mewujūdkan tujuan tersebut. Pendapat kedua (muqābil-ush-shaḥīḥ) menyatakan bahwa amr menetapkan pengulangan, dan diarahkan satu kali dengan adanya qarīnah. Diungkapkan oleh al-Ustādz Abū Isḥāq al-Isfirayānī, Abū Ḥātim al-Qazwaynī dan sekelompok ‘ulamā’ lainnya. Pendapat ketiga menyatakan, amr menetapkan pengulangan apabila diikat dengan syarat atau shifat. Contoh QS. al-Mā’idah: 6:
وَ إِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْا
“Dan jika kamu junub maka mandilah”
Dan QS. an-Nūr: 2:
الزَّانِيَةُ وَ الزَّانِيْ فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةً.
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.”
Dua ayat di atas menunjukkan bahwa pengulangan mandi dan dera terikat dan disesuaikan dengan diulanginya janabat dan zina.
Mengikuti pendapat pertama, meskipun tidak menetapkan pengulangan, namun apabila ditemukan dalīl di luar amr yang menuntut pengulangan, maka harus di‘amalkan. Contoh perintah shalat, di mana dalīl kewajiban mengulangi shalat lima waktu adalah hadits shaḥīḥ Bukhārī-Muslim:
فَرَضَ اللهُ عَلَى أُمَّتِيْ لَيْلَةَ الْإِسْرَاءِ خَمْسِيْنَ صَلَاةً فَلَمْ أَزَلْ أُرَاجِعُهُ وَ أَسْأَلُهُ التَّخْفِيْفَ حَتَّى جَعَلَهَا خَمْسًا فِيْ كُلِّ يَوْمٍ وَ لَيْلَةٍ.
“Allah mewajibkan shalat lima puluh kali pada umatku di malam Isra’. Kemudian aku tidak henti-hentinya menawar dan aku minta kepada-Nya keringanan, hingga Allah s.w.t. menjadikan 5 kali sehari semalam.”
Contoh lain, adalah puasa Ramadhān. Dalīl wājib diulanginya puasa Ramadhān adalah QS. al-Baqarah: 185:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ.
“Barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.”
dan HR. Bukhārī-Muslim:
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَ أَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ.
“Berpuasalah kalian karena melihat tanggal (hilal) dan berbukalah (juga) karena melihatnya.”
Ayat dan hadits di atas menyimpulkan bahwa puasa dilaksanakan setiap melihat hilal bulan Ramadhān, dikarenakan puasa dalam dua dalīl tersebut digantungkan dengan melihat hilal. (211).
Apa maksud “harus menjalankan sebisa mungkin selama hidupnya” menurut pendapat muqābil-ush-shaḥīḥ?
Jawab:
Maksudnya adalah menjalankan di setiap waktu dengan tanpa disertai adanya (مَشَقَّةٍ لَا تُحْتَمَلُ عَادَةً) “kesulitan yang lazimnya tidak mampu ditanggung”. Sehingga mengecualikan waktu-waktu dharurat, seperti waktu untuk makan, minum, tidur dan lain-lain.
Referensi:
(قَوْلُهُ مَا يُمْكِنُهُ) أَيْ مِنْ غَيْرِ مَشَقَّةٍ لَا تُحْتَمَلُ عَادَةً فِيْمَا يَظْهَرُ وَ احْتَرَزَ بِهذَا عَنْ أَوْقَاتِ الضَّرُوْرَةِ مِنْ أَكْلٍ وَ شُرْبٍ وَ نَوْمٍ وَ غَيْرِهَا (النَّفَحَاتُ صـــ 55).
“(Ucapan pensyarah: menjalankan sebisa mungkin selama hidupnya) artinya adalah dengan tanpa disertai adanya kesulitan yang lazimnya tidak mampu ditanggung menurut zhāhirnya. Sehingga hal ini mengecualikan waktu-waktu dharurat, seperti waktu untuk makan, minum, tidur dan lain-lain.” (an-Nafaḥāt, hal. 55).