Tujuh Kondisi Sang Pecinta – Kitab Cinta (2/2)

KITAB CINTA: Risalah Utama Para Pecinta Sejati
Oleh: Syaikh ‘Abd-ul-Qādir ash-Shūfī

 
Penerjemah: Maufur, M.A.
Penerbit: Alifia Books

Rangkaian Pos: Tujuh Kondisi Sang Pecinta - Kitab Cinta

Selain empat kondisi yang sudah disebutkan, ada tiga lagi kondisi khusus bagi sang Pecinta yang harus dipenuhi.

Kondisi pertama adalah ta‘awwuh – berkeluh-kesah dalam cinta Allah, memberikan keluh-kesah yang mendalam atas cinta. Kita melihat pada Surat at-Taubah (9: 114), dan bait terakhir dari ayat itu:

إِنَّ إِبْرَاهِيْمَ لأَوَّاهٌ حَلِيْمٌ

Sesungguhnya Ibrāhīm adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.

Terjemahan kita menyebutkan “sangat lembut hati”, padahal arti sebenarnya bukan seperti itu. Yang benar adalah, dia “berkeluh kesah secara mendalam” dengan cinta terhadap Allah s.w.t.

Sekarang kita cermati perihal berkeluh kesah karena cinta kepada Allah ini. Allah s.w.t. disifati oleh nama-Nya, ar-Raḥmān yang, jika bisa kita katakan, memiliki nafas ke dalam – nafas, dan mengembuskan – naffasa, yang membuat para hamba-Nya ada. Embusan inilah yang memberikan penciptaan bagi para hamba itu. Embusan Ilahi inilah yang melahirkan alam semesta, dengan sabda-Nya: “Kun!” “Jadilah!” kata kun berisi vokal yang berembus dan konsonan yang mengapitnya. Ini menunjuk pada alam seluruh makhlūq yang terikat dengan ruang dan waktu. Benar juga bahwa huruf hā’ – nafas-keluar, dan huruf ‘a – pecahan hamzah yang merupakan konsonan, adalah sebuah perhentian. Inilah huruf-huruf pertama dengan suara tekak, atau lebih tepatnya, huruf-huruf yang terletak di dada, menjadi model konsonan dari embusan alamiah – mutanaffis. Inilah keterkaitan mendalam dengan hati karena huruf-huruf itu mengindikasikan aktivitas hati dengan ta’awwuh, dengan hā’” ini, dengan keluh-kesah dalam cinta ini.

Inilah ma‘na dari imārah, atau ḥadrah, bagi para shūfī. Sebagaimana jagad raya diciptakan dengan sabda kun, semua huruf itu juga dihasilkan dengan embusan nafas. Karena Hadis Qudsi telah mengajarkan pada kita bahwa keseluruhan jagad raya ini tidak mungkin dapat memuat Dia, sementara hati seorang mu’min berisikan Dia, maka dari nafas yang dilepaskan oleh hati inilah kita ketahui bahwa sumbernya adalah dalam kun – nafas Sang Maha Penyayang.

Pengetahuan tentang hal inilah yang membangkitkan dalam diri sang Pecinta perhatian dan keinginan agar manusia yang terhijab juga akan memiliki cinta ini, karena Rasūlullāh s.a.w. telah bersabda: “Sempurnanya iman dalam diri mukmin adalah ketika dia mencintai saudaranya seperti dia mencintai dirinya sendiri.” Jadi, sang Pecinta Allah juga memiliki perhatian yang besar bahwa orang-orang yang terhijab harus memiliki cinta Allah s.w.t. ini.

Karenanya, kelembutan bagi sang Kekasih adalah salah satu kondisi sang Pecinta, yang pada gilirannya membangkitkan dalam diri mereka kelembutan bagi sesama manusia yang terhijab dari pengetahuan ini. Syafaqa.

Kondisi kedua adalah istirāḥu ilā-l-kalām – mencari ketenangan dalam Firman sang Kekasih, dan dalam pembacaan ayat-ayat yang mengingatkan pada-Nya – dzikr. Sekarang, kita menuju pada al-Qur’ān dan melihat pada Surat al-Ḥijr (15: 9):

إِنَّ نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَ إِنَّا لَهُ لَحَافِظُوْنَ

Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’ān dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.

Dalam ayat ini, firman Allah disebutkan sebagai dzikr – peringatan. Dengan kata perintah: “Kun!” ketika kun menjadikan segala sesuatu ada – manusia diubah dan digerakkan dari keadaan tanpa kemampuan (‘Aam) menuju eksistensinya yang berguna (wujūd), dan karenanya dibangkitkan (takawwana), ia menjadi makhlūq yang hidup, kaun. Proses dasar inilah yang mengumandang dalam diri manusia manakala dia mendengar sama‘, saat dia mendengar alunan musik ruhani itu. Dzikr, peringatan, mengingatkan kita akan Perintah Ilahi dan ini melahirkan wajd – ekstase, yang menjadi bahan kajian kita.

Jadi, dzikr menghubungkan sang Pecinta pada pengetahuan bahwa dirinya adalah hasil dari “kun”. Dia adalah hasil dari Perintah Ilahi. Ketika kun itu juga dikenal dengan dzikr yang merupakan Pesan dan Perintah sang Kekasih, maka demikian juga wajd, ekstase, adalah ḥubb sejati, cinta murni terhadap sang Kekasih.

Wajd juga merupakan ḥubb sejati, cinta murni sang Kekasih, yang pada gilirannya adalah syauq – kerinduan sang Pecinta. Mengertikah anda? Dinamikan ini tersusun dalam gerakan makhlūq yang terikat masa menuju pada realitas Allah s.w.t. yang melampaui masa, dalam penciptaan-Nya atas alam semesta dan penciptaan-Nya atas kita satu demi satu.

Sang Pecinta mencari ketenangan dalam Firman, seluruh sabda sang Kekasih. Al-Qur’ān adalah firman dari dan mengenai sang Kekasih. Karena itu, kita dapat melihat tempat Allah s.w.t. memberikan wahyu pada Rasūlullāh s.a.w. dan memperlihatkan petunjuknya pada orang-orang kafir. Tapi pada saat bersamaan, kata-kata itu adalah obat bagi mu’min yang mendengarkan. Karenanya, ketika sebuah ayat diwahyukan terkait suatu hal tertentu maka ia juga membawa obat bagi Rasūlullāh s.a.w., sebab ayat itu adalah Firman Tuhannya. Surat Yāsīn (36; 58):

سَلاَمٌ قَوْلاً مِنْ رَبٍّ رَحِيْمٍ

Salām, sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang.”

Jadi, ia juga menjadi obat bagi mu’min yang mendengarkan bacaan al-Qur’ān selama ribuan tahun yang lalu. Simaklah Surat at-Taubah (9: 6):

وَ إِنْ أَحَدٌ مِّنَ الْمُشْرِكِيْنَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتّى يَسْمَعَ كَلاَمَ اللهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لاَّ يَعْلَمُوْنَ

Dan jika seorang di antara orang-orang musyrik itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah dia supaya dia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah dia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.

Ayat ini memiliki tiga unsur di dalamnya. Ia mengandung perintah tentang hubungan kaum musyrik dengan Wahyu, dengan Firman Allah. Dengan sendirinya, Firman Allah s.w.t. mengisi hati Rasūlullāh s.a.w. karena ia turun ke dalam hatinya untuk menyampaikan ayat ini. Ayat itulah, yang merupakan perintah mengenai kaum musyrik dan pengisi hati Rasūlullāh s.a.w., yang juga memengaruhi hati sang mu’min ketika mendengar kumandang bacaan al-Qur’ān. Apakah anda melihat dimensi-dimensi realitas yang terkandung dalam Wahyu Suci itu?

Ayat ini juga memperlihatkan makna hadits yang di dalamnya Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Setiap ayat memiliki lahir, batin, dan ‘urf – penglihatan.” Kita memaknainya dalam pengertian ruhani. Setiap ayat memiliki lahir, batin, dan sumber ruhani. Jadi, yang kita maksud, bagian lahir dari ayat ini adalah perintah terkait dengan bagaimana Rasūlullāh s.a.w. harus berhubungan dengan kaum musyrik. Pada saat bersamaan, ma‘na batinnya adalah bahwa ia merupakan pencerahan bagi Rasūlullāh s.a.w. yang datang dari hati beliau dan masuk ke lidahnya, dari malaikat Jibrīl ‘alaih-is-salām.

‘Urf, penglihatan, adalah bahwa ia masuk ke dalam hati seorang mu’min dan memengaruhinya sehingga dia juga bisa melihat di dalamnya: “Berikan perlindungan pada mereka hingga mereka telah mendengar Firman Allah. Kemudian ajak mereka pada suatu tempat yang mereka aman di dalamnya.” Jadi, ketika kita mendengarnya, ayat ini mengantarkan kita pada suatu tempat yang aman itu, aman dari syirk batin – dan tempat itu berada dalam ḥadrat-ur-rabbānī.

Sekarang, kita sampai pada fase kondisi ketiga sang Pecinta – ītsār. Pilihan. Ītsār berarti “memilih sang Kekasih ketimbang siapa pun yang lain”. Pilihan Pecinta terhadap sang Kekasih ini dijelaskan oleh kenyataan bahwa setiap unsur alam semesta memiliki tempat dalam diri manusia, yang kepadanya rahasia itu diungkapkan, dan mesti dikembalikan. Pemberian-pemberian yang menjadi tanggung jawab manusia ini jumlahnya amat banyak dan pengembaliannya terkait tepat pada saat-saat masing-masing memiliki pemberian khusus ini.

Biar saya jelaskan. Manusia telah ditempatkan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas dunia. Mereka akan ditanyai mengenai pertanggungjawaban tugas itu, karena merekalah tujuan diciptakannya dunia, puncak penciptaan, dan tuannya. Mari kita perhatikan hal ini. Abū Thālib al-Makkī, orang pertama dari jajaran penulis shūfī agung yang menulis tentang pengetahuan tashawwuf ini, dalam bukunya yang terkenal, Qūt al-Qulūb, menunjukkan amanat kosmis ini, menjelaskan persoalan yang baru saya jelaskan ini:

Benda-benda di angkasa berjalan di jalurnya berkat nafas manusia – anfās, atau tepatnya berkat nafas semua makhluk yang bernafas. Karena tujuan akhir dari manifestasi alam, terutama manusia, diwujudkan oleh dzikr, atau nafas yang digerakkan, karena cakrawala langit – fulk, memperoleh gerakannya dari gerak aktual nafas dzikr dan bagaimanapun tidak bisa dilepaskan darinya. Inilah sebabnya dunia selalu dikaitkan erat dengan manusia.

Mari kita melihat pada al-Qur’ān, Surat al-Jumu‘ah (61: 1):

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

يُسَبِّحُ للهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَ مَا فِي الأَرْضِ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ الْعَزِيْزِ الْحَكِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah, yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Senantiasa bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Dengan pengetahuan yang dimiliki para Pecinta ini, mereka tahu bahwa keseluruhan alam semesta terkandung dalam diri mereka! Syair terkenal dari Maulā ‘Abd-ul-Qādir al-Jailānī, yang sedang menggambarkan ma‘rifah, mengatakan: “Inilah anehnya: sampan berada di atas samudra, dan sekarang samudra telah berada di atas sampan itu.” Makhlūq adalah kosmos itu dan sekarang keseluruhan kosmos berada dalam diri mereka!

Dibebani dengan tanggung jawab atas keseluruhan dunia, para Pecinta memandang-Nya dengan penuh kasih dalam keadaan dekat dan jauh-Nya, memilih-Nya ketimbang dunia yang selalu berubah. Kita menjumpai ini dalam Surat al-Ḥadīd (57: 4):

هُوَ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَ الأَرْضَ فِيْ سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوى عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الأَرْضِ وَ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَ مَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَ مَا يَعْرُجُ فِيْهَا وَ هُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَ اللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ

Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: kemudian dia bersemayam di atas ‘arasy, dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar darinya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya, dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

Salah seorang shūfī agung, Sahl at-Tustarī, ditanya: “Bagaimanakah pemeliharaan atas dunia ini? Apakah yang menopang, yang menahan, yang memelihara bentuk-bentuk dunia itu?” Beliau menjawab: “Allah.” Mereka menjawab: “Beritahu kami apa yang menciptakan kehidupan.” Dia menjawab: “Allah”. Dia hanya melihat Allah. Saat ia menyadari mereka tidak mengerti, ia pun menjabarkan jawabannya. Dia berkata:

Serahkan bangunan pada tukangnya. Jika Allah berkehendak, Dia akan menghidupkan dan jika Dia berkehendak, Dia akan memusnahkannya. Dia tidak masuk ke dalam kondisi entitas manusiawi yang halus untuk berasosiasi dengan bangunan rumah ini, kecuali ia mengarahkan dirinya pada kerja sang Kekasih, kerja yang telah diperintahkan sang Kekasih padanya – Dialah hidup itu sendiri dan keberadaan entitas yang halus ini. Apa pun bangunan rumah yang Dia berikan pada Diri-Nya, maka di sanalah dia bertempat tinggal dan di sanalah Dia bersemayam.

Jadi, sekarang kita melihat bahwa sesuatunya benar-benar terbalik. Kita memulai pengembaraan ini dengan melihat pada diri kita sendiri sebagai para Pecinta yang rindu akan sang Kekasih, lalu kita mengetahui bahwa sang Pecinta itu adalah Allah s.w.t., karena Dia telah lebih memilih manusia daripada makhlūq lain. Dia telah memilih manusia untuk persahabatan-Nya. Lihatlah pada Surat al-Baqarah (2: 30):

وَ إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلآئِكَةِ إِنِّيْ جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيْفَةً

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalīfah di muka bumi.

Inilah petunjuk mengenai posisi manusia: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalīfah di muka bumi.Khalif, dalam bahasa ‘Arab berma‘na “seseorang yang menggantikan saat raja tidak ada.” Jadi, di sini Allah s.w.t. seolah-olah berfirman: “Aku menjadikan wakil-Ku di muka bumi.” Kedekatan dengan cara ditinggikan dan dimuliakan inilah yang menjadi fitnah manusia.

Bagian selanjutnya dari al-Qur’ān ini, tentang percakapan antara Sayyidunā Ādam dan para malaikat, menyatakan bahwa Allah s.w.t. telah memposisikan manusia lebih tinggi dibanding para malaikat. Satu aspek dari ma‘rifah ini adalah penemuan bahwa anda telah memiliki posisi agung ini di sisi Allah s.w.t. anda adalah khalif-Nya di muka bumi ini.

Hal ini membawa kita pada sabda terakhir Rasūlullāh s.a.w. yang disinggung oleh imam kita pada Jumu‘ah terakhir:

بَلِ الرَّفِيْقِ الأَعْلَى

Pada Persahabatan paling Agung.

Pada Persahabatan paling Agung.” – pada Allah s.w.t. Inilah sang Kekasih yang menuju kepada sang Pecinta, kepada Allah s.w.t. Inilah jalan ma‘rifah, dan contoh terbaiknya adalah Rasūlullāh s.a.w.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *