Tidaklah Menjadi Nabi Kecuali Penggembala – Kisah Sang Rasul

KISAH SANG RASUL:
Menyimak dan Meneguhkan Sosok Pembawa Risalah

Karya: Abdullah ibn Jakfar al-Habsyi
 
Diterbitkan oleh:
CV. Layar Creative Mediatama

Bab 6:

TIDAKLAH MENJADI NABI KECUALI PENGGEMBALA

 

Allah s.w.t. telah menjadikan penggembalaan domba sebagai sunnahnya para nabi-nabi dan kekasih-Nya, agar mereka menjadi penggembala umat, penerang dan pemimpin manusia, serta penyeru kepada rahmat dan kedamaian.

Dan penggembalaan domba dikhususkan oleh Allah s.w.t. sebelum mengutus para nabi-Nya, supaya mereka mendapatkan hikmah pelatihan dari penggembalaan tersebut tentang bagaimana bertanggung-jawab terhadap umat mereka, karena di dalam penggembalaan tersebut akan menimbulkan banyak dari sifat-sifat mulia seperti kesabaran, kasih-sayang, dan rasa tanggung-jawab, maka mereka mendapatkan peningkatan oleh Allah s.w.t. dari tugas mereka sebagai penggembala domba menjadi penggembala umat.

Maka penggembalaan yang para kekasih Allah s.w.t. ini lakukan bukanlah karena kemiskinan dan kefakiran yang melanda keluarga mereka, sesungguhnya Allah tidak mengutus seorang rasul dari kalangan keluarga yang tidak mampu, akan tetapi pekerjaan penggembalaan yang mereka lakukan menjadi pendidikan dan persiapan bagi jiwa mereka yang suci agar mereka bersabar terhadap apa yang mereka jumpai nanti di dalam da‘wah dari segala cobaan dan kesukaran serta menjadi hal yang dibutuhkan para umat dari budi pekerti, kasih-sayang dan lemah-lembut.

Sehingga sunnah (ketetapan) Allah s.w.t. terhadap para nabinya ini menjadi madrasah kenabian, tempat di mana mereka belajar cara mengayomi manusia, mendidik umat dan menjadi penyelamat mereka dari jurang celaka menuju puncak kebahagiaan abadi. Dan al-Qur’ān pun telah mencatat sunnah (ketetapan) Allah s.w.t. ini di dalam surat Thāhā sebagai berikut:

وَ مَا تِلْكَ بِيَمِيْنِكَ يَا مُوْسَى. قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَ أَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِيْ وَ لِيَ فِيْهَا مَآرِبُ أُخْرَى.

Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Mūsā?” Berkata Mūsā: “Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya”.”. (QS. Thāhā [20]: 17-18).

Jelas dalam ayat ini Nabi Mūsā a.s. menggembalakan kambing. Demikian juga Rasūlullāh s.a.w. menggembalakan kambing sejak kecil ketika dalam pemeliharaan ibu susuannya di pedalaman Bani Sa‘ad dan pada waktu Nabi s.a.w. masuk usia remaja di kota Makkah.

Baginga Nabi Besar Muḥammad s.a.w. mulai menggembalakan kambing sejak masih berada di pedalaman Bani Sa‘ad ketika diasuh oleh Ḥalīmah as-Sa‘diyyah dan dalam usia yang dini sekali. Hal ini diakui beliau sendiri ketika menyatakan:

Ibu susuanku dari Bani Sa‘ad, lalu aku dan anak ibu susuanku tersebut berangkat menggembalakan ternak kami tanpa membawa bekal, lalu aku berkata: “Wahai saudaraku, pulanglah dan ambil bekal dari ibu kita.” Lalu ia berangkat dan aku tinggal bersama ternak.

Maka, terjadilah kisah pembelahan dada beliau.

Dan ketika di Makkah, beliau s.a.w. walaupun berada dalam kasih-sayang yang besar dari pamannya, namun hal itu tidak membuat Nabi s.a.w. menjadi manja dan malas, bahkan segera menggunakan seluruh kemampuannya untuk mencari kerja demi membantu pamannya dalam mencukupi keperluan hidupnya dan keluarga pamannya. Hal ini menunjukkan pribadi dan tabiat yang luhur yang melekat pada Baginda Nabi s.a.w. dalam bergaul dan membantu orang lain. Demikianlah, kita lihat betapa Rasūlullāh s.a.w. bersusah-payah membantu perekonomian pamannya, Abū Thālib, yang memang dikategorikan bukanlah orang kaya, dengan memelihara dan menggembalakan kambing, sebagaimana beliau sampaikan sendiri dalam sabdanya berikut:

مَا بَعَثَ اللهُ نَبِيًّا إِلَّا رَعَى الْغَنَمَ، فَقَالَ أَصْحَابُهُ: وَ أَنْتَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ: نَعَمْ، كُنْتُ أَرْعَاهَا عَلَى قَرَارِيْطَ لِأَهْلِ مَكَّةَ.

Tidaklah Allah mengutus seorang nabi kecuali telah menggembalakan kambing.” Lalu para sahabat beliau bertanya: “Demikian juga engkau Ya Rasūlullāh?” Beliau s.a.w. menjawab: “Ya, aku dahulu menggembalakan kambing milik penduduk Makkah dengan imbalan beberapa qirāth (qarārīth).” (HR. Bukhārī dan Muslim).

Terdapat perbedaan pendapat ‘ulamā’ mengenai arti kata qarārīth dalam sabda beliau s.a.w. di atas, sebagian mengartikannya sebagai

مَا بَعَثَ اللهُ نَبِيًّا إِلَّا رَعَى الْغَنَمَ.

Tidaklah Allah mengutus seorang nabi kecuali telah menggembalakan kambing.(HR. Bukhārī dan Muslim).

alat tukar (mata uang) dan sebagian lainnya mengartikan sebagai nama tempat di pinggir kota Makkah. Dari sini kami simpulkan bahwa seandainya arti kata qarārīth adalah nama tempat ataupun mata uang yang dijadikan sebagai upah untuk Rasūlullāh s.a.w., maka hal itu bukanlah suatu aib terhadap Baginda Nabi s.a.w.

Adapun al-Qur’ān juga menceritakan Nabi Mūsā a.s. yang bekerja sebagai penggembala dan mendapatkan upahnya sebagai mahar pernikahannya kepada putri Nabi Syu‘aib a.s.:

قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَىٰ أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ ۖ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ ۖ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ ۚ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِينَ.

Berkatalah dia (Syuaib): “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu in syā’ Allāh akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik”.”. (QS. al-Qashash [28]: 27).

Sesungguhnya para nabi, mereka adalah orang yang mengajak ke jalan Allah s.w.t. dengan kerja keras yang mereka lakukan dan bukan sebagai pengangguran yang menyerukan kalimat ilāhi tanpa kerja keras sedikit pun.

Dahulu kala kehidupan bangsa ‘Arab banyak berkaitan dengan kambing serta penggembalaannya, maka banyak dari pada remaja dan pemuda mereka yang melewati fase sebagai penggembala, baik untuk keluarganya sendiri maupun orang lain, walaupun pemuda atau remaja tersebut berasal dari kalangan keluarga yang kaya raya ataupun menengah ke bawah.

Suatu ketika pernah Sayyidinā ‘Umar ibn Khaththāb r.a. naik ke mimbar dan seraya berkata:

“Wahai segenap manusia, ketahuilah bahwa dahulu aku pernah menggembala bagi bibi-bibiku dari Bani Makhzūm dan aku mencarikan air bagi mereka, maka mereka mengupahku dengan segenggam kurma atau kismis….”

Kemudian beliau turun dari mimbarnya, lalu sahabat ‘Abd-ur-Raḥmān ibn ‘Auf r.a. pun bertanya kepada Sayyidinā ‘Umar ibn Khaththāb r.a. berikut:

“Apa yang engkau maksud dengan perkataanmu wahai Amīr-ul-Mu’minīn?”

Sayyidinā ‘Umar pun menjawab:

“Aku telah mencaci hawa-nafsuku yang telah berkata kepadaku: “Engkau adalah Amīr-ul-Mu’minīn, tidak ada antara kau dan Allah seseorang pun, siapa yang lebih mulia daripada dirimu?” Maka, aku ingin memberitahunya nilai harga diriku ini wahai ‘Abd-ur-Raḥmān.”

Sangat jelas bahwa menjadi penggembala merupakan suatu profesi yang mulia. Walaupun dewasa kini secara lahiriah seperti suatu pekerjaan yang kasar dan tidak bergengsi. Profesi ini menjadi mulia dikarenakan banyaknya hikmah-hikmah yang didapat dari pekerjaan yang Allah s.w.t. sunnahkan kepada para kekasih-Nya. (11)

Catatan:

  1. 1). Ringkasan dari “Sirah Nabawiyyah Ibn Dahlan” hlm. 71-76.

Sanggahan (Disclaimer): Artikel ini telah kami muat dengan izin dari penerbit. Terima kasih.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *