Tidak Sah Whudhu’nya Orang Yang Tidak Tahu – Terjemah Kifayat-ul-‘Awam

KIFĀYAT-UL-‘AWĀM
Pembahasan Ajaran Tauhid Ahl-us-Sunnah

Karya: Syaikh Muḥammad al-Fudhalī
 
Penerjemah: H. Mujiburrahman
Diterbitkan Oleh: MUTIARA ILMU Surabaya

17. TIDAK SAH WUDHŪ’NYA ORANG YANG TIDAK TAHU ATAU TIDAK MANTAP DENGAN SEGALA ‘AQĪDAH.

 

فَلَا يَصِحُّ الْحُكْمُ بِوُضُوْءِ شَخْصٍ أَوْ صَلَاتِهِ إِلَّا إِذَا كَانَ عَالِمًا بهذِهِ الْعَقَائِدِ أَوْ جَازِمًا بِهَا عَلَى الْخِلَافِ فِيْ ذلِكَ.

Maka hukum itu tidak mensahkan wudhū’-nya seseorang atau shalatnya kecuali jika dia mengetahui dengan ‘aqīdah-‘aqīdah ini atau dia mantap dengannya berdasarkan perbedaan pada yang demikian itu.”

Dalam hal ‘ilmu tentang ‘aqīdah-‘aqīdah ini sebagai dasar yang baru bisa terbina atasnya barang yang selainnya maka hukum tidak bisa mensahkan wudhū’ atau shalatnya seseorang kecuali jika dia mengetahui dengan ‘aqīdah-‘aqīdah tersebut berdasarkan pendapat yang mengatakan bahwa muqallid itu kafir. Atau dia mantap dengan ‘aqīdah-‘aqīdah itu meski dia tidak tahu dalil-dalilnya berdasarkan pendapat yang mengatakan bahwa muqallid itu mumkin.

Karena itulah sebagian ‘ulamā’ ada yang bersyair sebagai celaan terhadap orang yang sibuk dengan ‘ilmu fiqih sebelum dia sibuk dengan ‘ilmu tentang ‘aqīdah-‘aqīdah ini dengan ucapannya:

أَيُّهَا الْمُبْتَدِي لِتَطْلُبْ عِلْمًا كُلُّ عِلْمٍ عَبْدٌ لِعِلْمِ الْكَلَامِ.
تَطْلُبُ الْفِقْهَ كَيْ تُصَحِّحْ حُكْمًا ثُمَّ اغْفَلْتَ مَنْزِلَ الْأَحْكَامِ.

Wahai orang yang baru belajar! Hendaklah engkau menuntut ‘ilmu. Setiap ‘ilmu adalah hamba bagi ‘ilmu kalam.

Engkau menuntut ‘ilmu fiqih agar engkau mensahkan satu hukum kemudian engkau lalaikan kedudukan hukum-hukum itu.”

فَإِذَا قِيْلَ الْعَجْزُ مُسْتَحِيْلٌ عَلَيْهِ تَعَالَى كَانَ الْمَعْنَى أَنَّ الْعَجْزَ لَا يُصَدِّقُ الْعَقْلُ بِوُقُوْعِهِ للهِ تَعَالَى وَ وُجُوْدِهِ وَ كَذَا يُقَالُ فِيْ بَاقِي الْمُسْتَحِيْلَاتِ.

Dan jika dikatakan: sifat lemah itu adalah mustaḥīl atas Allah s.w.t. maka ma‘nanya adalah bahwa sifat lemah itu tidak dibenarkan oleh akal perihal terjadinya bagi Allah s.w.t. dan perihal adanya. Seperti inilah yang dikatakan pada sisa dari segala yang mustaḥīl.

وَ إِذَا قِيْلَ رَزَقَ اللهُ زَيْدًا بِدِيْنَارٍ يُقَالُ جَائِزٌ كَانَ الْمَعْنَى أَنَّ ذلِكَ يُصَدِّقُ الْعَقْلُ بِوُجُوْدِهِ تَارَةً وَ بَعَدَمِهِ أَخْرَى.

Dan jika dikatakan: Allah telah memberi rezeki kepada si Zaid berupa uang satu dinar, maka dikatakan dia dengan jā’iz (karena) ma‘nanya adalah bahwa yang demikian itu, akal membenarkan dengan adanya satu saat dan dengan tidak adanya pada saat yang lain.”

وَلْنَذْكُرْ لَكَ الْعَقَائِدَ الْخَمْسِيْنَ مُجْمَلَةً قَبْلَ ذِكْرِهَا مُفَصَّلَةً

Dan hendaklah kami sebutkan bagi anda akan ‘aqīdah-‘aqīdah yang 50 itu secara ijmāl (global) sebelum menyebutkannya secara tafshīl (terperinci).

فَاعْلَمْ أَنَّهُ يَجِبُ لَهُ سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى عِشْرُوْنَ صِفَةً وَ يَسْتَحِيْلَ عَلَيْهِ عِشْرُوْنَ وَ يُجُوْزُ فِيْ حَقِّهِ تَعَالَى أَمْرٌ وَاحِدٌ فَهذِهِ إحْدَى وَ أَرْبَعُوْنَ.

Maka ketahuilah bahwasanya wājib bagi Allah s.a.w. itu 20 sifat dan mustaḥīl atas-Nya sifat serta jā’iz pada hak Allah s.w.t. satu perkara maka inilah dia 41 (‘aqīdah).

وَ يَجِبُ لِرُّسُلِ أَرْبَعَةٌ وَ يَسْتَحِيْلُ عَلَيْهِمْ أَرْبَعَةٌ وَ يَجُوْزُ فِيْ حَقِّهِمْ عَلَيْهِمُ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ أَمْرٌ وَاحِدٌ فَهذِهِ الْخَمْسُوْنَ.

Dan wājib bagi para rasūl itu 4 sifat dan mustaḥīl atas mereka itu 4 sifat serta jā’iz pada hak mereka itu, semoga atas mereka shalawat dan salam, satu perkara, maka inilah dia yang 50 (‘aqīdah itu).”

وَ سَيَأْتِيْ تَحْرِيْرَ الْكَلَامِ عِنْدَ ذِكْرِهَا مُفَصَّلَةً إِنْ شَاءَ اللهُ.

Dan akan datang uraian pembicaraannya ketika menyebutkan ‘aqīdah-‘aqīdah itu secara tafshīl (terperinci) In syā’ Allāh.”

Perkataan Mushannif dengan In syā’ Allāh adalah karena melaksanakan kandungan ayat yang berbunyi:

وَ لَا تَقُوْلَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّيْ فَاعِلٌ ذلِكَ غَدًا إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللهُ.

Dan janganlah engkau mengatakan pada sesuatu: Sesungguhnya aku akan mengerjakan yang demikian itu besok, melainkan dengan (إِنْ شَاءَ اللهُ),” sebabnya adalah: karena manusia apabila dia berkata: sesungguhnya saya akan mengerjakan ini atau itu, tidaklah jauh kemungkinan bahwa dia akan mati sebelum dapat mengerjakannya dan tidaklah jauh kemungkinan pula bahwa dia akan terhalang sesuatu kalau memang dia masih hidup. Maka ketika itu dia menjadi seorang pendusta terhadap apa yang telah ia janjikan. Karena itulah maka seseorang dituntut untuk mengatakan In syā’ Allāh sehingga apabila dia terhalang untuk memenuhi janjinya dia tidak menjadi pendusta.”

18. KHILĀF (Perbedaan pendapat) UCAPAN: SAYA MU’MIN IN SYĀ’ ALLĀH.

PERHATIAN:

Mengenai apakah boleh bagi seseorang jika dia berkata dengan SAYA MU’MIN untuk mengatakan In syā’ Allāh, para ‘ulamā’ berselisih pendapat. Menurut Asyā‘irah: BOLEH, sedangkan menurut Māturīdiyyah: TIDAK BOLEH. Sebagian ‘ulamā’ menjadikan perselisihan tersebut lafzhī (bersifat lafal) di mana mereka membawa pendapat yang pertama ‘ALĀ MĀ IDZĀ QĀLA DZĀLIKA NAZHRAN LIL-MĀL ya‘ni jika seseorang mengatakan yang demikian itu karena memandang pada hari akhirat, dan membawa pendapat yang kedua ‘ALĀ MĀ IDZĀ QĀLA DZĀLIKA NAZHRAN LIL-ḤĀL ya‘ni apabila seseorang mengatakannya karena memandang pada keadaan sekarang.

Dengan kemikian, ucapan SAYA MU’MIN IN SYĀ’ ALLĀH adalah boleh dengan ittifāq (sepakat) jika seseorang mengatakannya karena memandang pada akhirat dan tidak boleh jika seseorang mengatakannya karena memandang pada keadaan sekarang, juga dengan ittifāq (sepakat).

Sebagian ‘ulamā’ ada yang menceritakan khilāf (perbedaan pendapat) dalam bentuk yang lain di mana mereka berkata: ucapan SAYA MU’MIN IN SYĀ’ ALLĀH dibolehkan oleh Syāfi‘ī dan dilarang oleh Mālikī dan Ḥanafī. Sebagian pengikut Mālikī berpendapat wājib yang demikian itu.

Kemudian mereka yang menceritakan khilāf (perbedaan pendapat itu berkata: Dan tempat yang demikian adalah jika seseorang tidak menghendaki syakk (ragu-ragu) dan tabarruk (mencari barakah). Namun jika dia menghendaki yang demikian maka dilarang secara ijma‘ apabila yang dikehendaki itu adalah syakk dan boleh secara ijma‘ pula apabila yang dikehendaki adalah tabarruk. Kesimpulan khilāf tersebut telah dinazhamkan (disya‘irkan) oleh sebagian afādhil ya‘ni orang-orang yang mempunyai keutamaan:

مَنْ قَالَ إِنِّيْ مُؤْمِنُ يُمْنَعُ مِنْ مَقَالِهِ إِنْ شَاءَ رَبِّيْ يَا فَطِنْ
وَ ذَا لِمَالِكَ وَ بَعْضُ تَابِعِيْهِ يُوْجِبُ أَنْ يَقُوْلَ هذَا يَا نَبِيْه
وَ مِثْلُ مَا لِمَالِكٍ لِلْحَنَفِي وَ مِثْلُ مَا لِمَالِكٍ لِلْحَنَفِي
وَ امْنَعْهُ اِجْتِمَاعًا إِذَا أَرَادَ بِهِ الشَّكَّ فِيْ إِيْمَانِهِ يَا مُنْتَبِهْ
كَعَدَمِ الْمَنْعِ إِذَا بِهِ يُرَادْ تَبَرُّكٌ بِذِكْرِ خَالِقِ الْعِبَادْ
فَالْخُلْفُ حَيْثُ لَمْ يُرِدْ شَكًّا وَ لَا تَبَرَّكًا فَكُنْ بِذَا مُحتَفِلَا.

Barang siapa yang mengatakan SAYA MU’MIN maka dia dilarang berkata IN SYĀ’ ALLĀH, wahai orang yang cerdik!
Ini adalah pendapat Imām Mālik. Namun sebagian pengikutnya mewajibkan seseorang mengatakan yang demikian wahai orang yang luhur!
Seperti pendapat Mālik itu adalah pendapat Ḥanafī. Dan Syāfi‘ī membolehkan yang demikian itu maka ketahuilah!
Dan cegahlah dengan ijma‘ jika seseorang menghendaki dengan lafal IN SYĀ’ ALLĀH itu akan syakk pada imannya, wahai orang yang mulia.
Seperti ketiadaan larangan jika dengannya dikehendaki akan tabarruk dengan menyebut sang Pencipta sekalian hamba.
Maka khilāf itu dalah sekira seseorang tidak menghendaki syakk dan tidak pula tabarruk maka jadilah engkau orang yang jelas dengan masalah ini.”

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *