Bab 9:
Sebagian dari musuh-musuh Islam menuduh bahwa Nabi s.a.w. melakukan koneksi dan berteman dengan rahib Yahudi dan pendeta Nasrani, serta belajar dari mereka, ini adalah tuduhan yang tidak benar dikarenakan tuduhan itu bertentangan dengan fakta dan bukti bahwa Nabi s.a.w. dikenal tumbuh besar dalam keadaan ummiy (buta huruf) di antara kalangan keluarga dan kaumnya.
Al-Imām Qādhī ‘Iyādh rhm. berkata dalam kitabnya “asy-Syifā’” berikut:
“Beliau s.a.w. adalah seorang lelaki yang difirmankan Allah s.w.t. ummiy (tidak membaca dan menulis), dan tidak diketahui bahwa beliau bersahabat dengan orang yang bisa membaca dan menulis, juga tidak pula tumbuh besar di kalangan kaum yang memiliki pengetahuan baca dan tulis serta tidak diketahui bahwa beliau sebelumnya mengetahui tentang baca dan tulis tersebut.” Allah s.w.t. berfirman:
وَ مَا كُنْتَ تَتْلُوْ مِنْ قَبْلِهِ مِنْ كِتَابٍ وَ لَا تَخُطُّهُ بِيَمِيْنِكَ إِذًا لَّارْتَابَ الْمُبْطِلُوْنَ.
“Dan engkau (Muḥammad) tidak pernah membaca sesuatu Kitab sebelum (al-Qur’ān) dan engkau tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; sekiranya (engkau pernah membaca dan menulis), niscaya ragu orang-orang yang mengingkarinya.”. (QS. al-‘Ankabūt [29]: 48).
بَلْ هُوَ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِيْ صُدُوْرِ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْعِلْمَ وَ مَا يَجْحَدُ بِآيَاتِنَا إِلَّا الظَّالِمُوْنَ.
“Sebenarnya, (al-Qur’ān) itu adalah ayat-ayat yang jelas di dalam dada orang-orang yang berilmu. Hanya orang-orang yang zhalim yang mengingkari ayat-ayat Kami.”. (QS. al-‘Ankabūt [29]: 49). (11).
Perlu diketahui bahwa dahulu banyak pengetahuan kaum ‘Arab hanya tertuju kepada ilmu nasab, kabar-kabar (kisah) pendahulunya, syair-syair dan ilmu bayan, yang mana pengetahuan itu mereka dapatkan setelah mereka memfokuskan diri, bekerja keras dalam membahasnya, dan mencari pakarnya.
Sedangkan ilmu pengetahuan tersebut bagaikan setitik dari lautan ilmu yang dimiliki Baginda Nabi s.a.w., sehingga tidak ada jalan lain bagi para pembenci untuk menentang terhadap apa yang kamu sampaikan kecuali perkataan mereka:
أَسَاطِيْرُ الْأَوَّلِيْنَ، إنَّمَا يُعَلِّمُهُ بَشَرٌ.
“Ini hanyalah dongeng orang-orang terdahulu, sesungguhnya dia diajarkan oleh manusia.”
Maka, Allah s.w.t. pun membalas perkataan mereka dengan firman-Nya berikut:
وَ لَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّهُمْ يَقُوْلُوْنَ إِنَّمَا يُعَلِّمُهُ بَشَرٌ لِّسَانُ الَّذِيْ يُلْحِدُوْنَ إِلَيْهِ أَعْجَمِيٌّ وَ هذَا لِسَانٌ عَرَبِيٌّ مُّبِيْنٌ.
“Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata: “Sesungguhnya al-Qur’ān itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muḥammad)”. Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muḥammad belajar kepadanya bahasa ‘Ajam, sedang al-Qur’ān adalah dalam bahasa ‘Arab yang terang.”. (QS. an-Naḥl [16]: 103).
Kemudian yang mereka (musuh-musuh Islam) pertentangkan terhadap Baginda Nabi s.a.w., bahwasanya beliau s.a.w. mendapat pembelajaran al-Kitāb dari sahabat Salmān al-Fārisī dan ‘Abd-ur-Rūmī. Perlu diketahui bahwa Salmān al-Fārisī, Rasūlullāh s.a.w. mengenalnya setelah hijrah dan setelah banyak ayat-ayat al-Qur’ān yang turun, sedangkan sahabat ‘Abd-ur-Rūmī setelah memeluk Islam beliau mengaji (belajar) kepada Rasūlullāh s.a.w.
Kedua sahabat Nabi s.a.w. ini adalah orang ‘Ajam, jika dibanding mereka (kaum ‘Arab) yang terlahir fasih akan tetapi masih lemah dalam perbandingan sastra bahasa ‘Arab dengan al-Qur’ān untuk menjiplaknya, terlebih membalasnya dan mengerti inti dan sistemnya, maka bagaimana dengan orang ‘Ajam yang susah untuk menyebut lafazh ‘Arab dengan fasih dan benar?
Kita ketahui bahwa sahabat Salmān al-Fārisī dan ‘Abd-ur-Rūmī di tengah-tengah mereka berbicara dengan Nabi s.a.w., apakah mereka (‘Arab Makkah) menceritakan berita (kabar) seperti berita yang dibawa oleh Baginga Nabi s.a.w.?
“Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata: “Sesungguhnya al-Qur’ān itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muḥammad)”. Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muḥammad belajar kepadanya bahasa ‘Ajam, sedang al-Qur’ān adalah dalam bahasa ‘Arab yang terang.”. (QS. an-Naḥl [16]: 103).
Pakar sejarah bersepakat bahwa Nabi s.a.w. tidak pernah berpergian lama dari kaumnya dan tidak banyak juga Nabi s.a.w. bepergian ke daerah ahli kitab, sehingga para penentang berkata: “Sesungguhnya Dia (Muḥammad) belajar dari mereka.” Sedangkan Nabi s.a.w. hanya melakukan satu atau dua kali safar (bepergian) ke daerah ahli kitab semasa hidupnya, dalam waktu yang sebentar sekiranya tidak memungkinkan untuk belajar sedikit, apakah sebanding waktu belajar itu dengan luasan ilmunya Baginda Nabi s.a.w.?
Dan al-Qur’ān telah membantah apa yang ditentangkan kepada Baginda Nabi s.a.w., seperti yang tercantum dalam ayat berikut:
وَ قَالُوْا أَسَاطِيْرُ الْأَوَّلِيْنَ اكْتَتَبَهَا فَهِيَ تُمْلى عَلَيْهِ بُكْرَةً وَ أَصِيْلًا.
“Dan mereka berkata: “(Itu hanya) dongeng-dongeng orang-orang terdahulu, yang diminta agar dituliskan, lalu dibacakanlah dongeng itu kepadanya setiap pagi dan petang”.”. (QS al-Furqān [25]: 5).
“Katakanlah (Muḥammad): “al-Qur’ān itu diturunkan oleh (Allah) yang mengetahui rahasia di langit dan di bumi. Sungguh, Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang”.”(QS al-Furqān [25]: 6).
قُلْ أَنْزَلَهُ الَّذِيْ يَعْلَمُ السِّرَّ فِي السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضِ إِنَّهُ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا.
“Katakanlah (Muḥammad): “al-Qur’ān itu diturunkan oleh (Allah) yang mengetahui rahasia di langit dan di bumi. Sungguh, Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang”.”. (QS al-Furqān [25]: 6).