Tidak ada Suatu Kewajiban bagi Allah – Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat

TERJEMAH TAUHID

سَبِيْلُ الْعَبِيْدِ عَلَى جَوْهَرَةِ التَّوْحِيْدِ
Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat
Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara
(1820-1903 M.)

Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah
Penerbit: Sahifa Publishing

Rangkaian Pos: 002 Tentang Ketuhanan (Ilahiyyat) - Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat

Tidak ada Suatu Kewajiban bagi Allah

 

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī meneruskan pembahasan dengan menjelaskan pendapat madzhab Mu‘tazilah yang sesat.

Beliau berkata:

وَ قَوْلُهُمْ إِنَّ الصَّلَاحَ وَاجِبٌ عَلَيْهِ زُوْرٌ مَا عَلَيْهِ وَاجِبُ.

Pendapat Mu‘tazilah: “Sesungguhnya berbuat baik wajib bagi Allah” adalah bohong. Tidak ada sesuatu yang wajib bagi Allah.

Madzhab Mu‘tazilah berpendapat: “Berbuat baik wajib bagi Allah, seperti menciptakan iman.” Ucapan ini adalah sebuah kebohongan dan kebatilan. Tidak ada kewajiban apapun bagi Allah untuk melakukan sesuatu.

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī kemudian menyusun hujjah dengan berkata:

أَلَمْ يَرَوْا إِيْلَامَهُ الْأَطْفَالَا وَ شِبْهَهَا فَحَاذِرِ الْمِحَالَا.

Tidakkah mereka melihat bahwa Allah mendatangkan sakit kepada anak-anak kecil dan hal-hal lain yang serupa, maka takutlah engkau terhadap siksa.

Apakah orang Mu‘tazilah tidak melihat dan merenungkan, Allah telah menimpakan sakit kepada anak-anak kecil yang belum baligh dan tidak berdosa. Allah juga menimpakan rasa sakit pada kerbau dan sapi, yang juga tidak memiliki dosa. Apabila Allah wajib berbuat baik (shalāḥ), tidak akan ada anak kecil yang sakit, tidak ada orang kafir, tidak ada orang miskin yang sengsara dan terhina. Takutlah engkau pada siksa Allah apabila engkau meyakini Allah wajib berbuat baik.

Penjelasan

Kesimpulan dari dua bait tersebut adalah orang Mu‘tazilah meyakini Allah wajib shalāḥ (berbuat baik) dan ashlaḥ (berbuat lebih baik/memperbaiki). Ada perbedaan pendapat dalam masalah shalāḥ dan ashlaḥ antara Mu‘tazilah di Baghdād dan di Bashrah. Mu‘tazilah di Baghdad berpendapat bahwa Allah wajib melakukan shalāḥ dan ashlaḥ pada hamba-Nya, baik dalam masalah agama maupun masalah dunia, sedangkan Mu‘tazilah di Bashrah berpendapat bahwa Allah wajib melakukan shalāḥ dan ashlaḥ pada hamba-Nya dalam masalah agama saja. (861)

Keduanya juga berbeda pendapat mengenai pengertian ashlaḥ. Menurut Mu‘tazilah di Baghdād, ashlaḥ adalah kesesuaian dalam hikmah dan pengaturan, sedangkan menurut Mu‘tazilah di Bashrah, ashlaḥ adalah sesuatu yang lebih bermanfaat bagi hamba. (872)

Permasalahn shalāḥ dan ashlaḥ inilah yang menyebabkan Syaikh Abul-Ḥasan al-Asy‘arī memisahkan diri dari gurunya, yakni Syaikh Abū Ḥāsyim al-Juba’ī al-Mu‘tazilī (883).

Pada saat Syaikh Abū Ḥāsyim al-Juba’ī sedang mengajar di hadapan banyak orang. Syaikh Abul-Ḥasan al-Asy‘arī bertanya: “Wahai Syaikh, bagaimana pendapatmu apabila ada tiga orang bersaudara, saudara pertama meninggal ketika sudah tua dan selama hidupnya dia taat. Saudara kedua meninggal ketika sudah tua dan selama hidupnya dia selalu bermaksiat. Saudara ketiga meninggal ketika masih kecil dan belum baligh.”

Syaikh al-Juba’ī menjawab: “Saudara yang pertama masuk surga, saudara kedua disiksa di neraka, saudara ketiga tidak mendapat pahala dan tidak pula mendapat siksa.”

Syaikh al-Asy‘arī kembali bertanya: “Wahai Syaikh, bagaimana jika saudara yang ketiga berkata: “Wahai Tuhanku, kenapa engkau mencabut nyawaku ketika aku masih kecil? Mengapa Engkau tidak memanjangkan umurku sampai aku dewasa agar aku bisa melakukan ketaatan kepada-Mu sehingga aku berhak untuk masuk surga?” Kira-kira seperti apa jawaban Allah Yang Maha Suci?”

Syaikh al-Juba’ī menjawab: “Allah akan berkata: “Wahai hambaku, aku mengetahui bahwa jika engkau tetap hidup sampai dewasa, engkau akan bermaksiat dan nantinya malah akan masuk neraka, maka yang ashlaḥ bagimu adalah mati saat masih kecil.”

Syaikh al-Asy‘arī kembali bertanya: “Lalu bagaimana pendapatmu jika saudara yang kedua berkata: “Wahai Tuhanku, mengapa engkau tidak mencabut nyawaku saat aku masih kecil agar aku tidak masuk neraka?” kira-kira bagaimana jawaban Tuhan, wahai Syaikh?”

Syaikh al-Juba’ī terdiam, bingung tak bisa menjawab. Sejak saat itu Syaikh al-Asy‘arī meninggalkan gurunya terebut, beliau menyibukkan diri dengan menggali akidah Islam dari hadits-hadits Nabi dan perilaku para ‘ulamā’ salaf dari golongan para sahabat. Akhirnya beliau mendirikan madzhab tauhid sendiri yang diberi nama Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah.

Keyakinan kaum mu‘tazilah yang mengatakan bahwa Allah wajib berbuat shalāḥ dan ashlaḥ adalah sebuah kebohongan dan kerusakan karena tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Apabila Allah wajib berbuat shalāḥ dan ashlaḥ pada hamba-Nya, tidak akan ada orang kafir ataupun orang miskin yang sengsara dan terhina, yang disiksa di dunia dengan kekafirannya dan di akhirat disiksa di neraka. Karena yang ashlaḥ seharusnya orang tersebut dicabut nyawanya saat masih kecil atau dijadikan gila agar tidak masuk neraka. Selain itu, apabila wajib bagi Allah bertindak shalāḥ dan ashlaḥ, tidak akan ada anak kecil, sapi, atau kerbau yang diberi rasa sakit karena semuanya tidak memiliki dosa.

Dengan argumentasi di atas dapat disimpulkan bahwa Allah tidak wajib shalāḥ dan ashlaḥ. Allah boleh menjadikan seseorang kufur atau beriman, taat atau bermaksiat.

Allah s.w.t. berfirman:

لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَ هُمْ يُسْأَلُوْنَ.

Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanya”. (QS. al-Anbiyā’ [21]: 23).

Catatan:

  1. 86). Tuḥfat al-Murīd, hal. 182.
  2. 87). Ibid.
  3. 88). Ibid.

1 Komentar

  1. Dwi Hanto berkata:

    saya ini baru,awam,mencoba untuk bs banyak mengambil pelajaran dari tokoh panutan ini,smg barokah ke sholehan beliau bs membimbing saya untuk mengerti

Tinggalkan Balasan ke Dwi Hanto Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *