Thariqah Alawiyah (I) | Bab 1 : Keutamaan Para Penuntut Ilmu dan Orang-Orang Yang Mendalami Agama

Thariqah 'Alawiyah Jalan Lurus Menuju Allah
Terjemah : al-Manhaj al-Sawi Syarh Ushul Thariqah al-Saadah Aali Ba’Alawi
Pengarang : Al Habib Zain bin Smith
Penerjemah : Ust. Husin Nabil Assegaf
Penerbit : Nafas

Keutamaan Para Penuntut Ilmu dan Orang-orang yang Mendalami Agama

Dari Anas, mengatakan, “Rasulullah Saw. bersabda, ‘Barangsiapa keluar dalam menuntut ilmu, maka ia berada di jalan Allah sampai ia kembali.1 Beliau juga bersabda, “Barangsiapa yang pergi ke masjid dengan keinginan hanya untuk mempelajari suatu kebaikan atau mengajarkannya, maka ia mendapatkan pahala seperti orang yang menunaikan haji dengan sempurna.2 Dari Ibnu Abbas, mengatakan bahwa Nabi Saw. bersabda, “Pergi untuk mempelajari agama adalah lebih baik di sisi Allah daripada berjihad di jalan- Nya.3

Nabi Saw bersabda,

Barangsiapa memperdalam agama Allah maka Allah mencukupi segala yang menjadi kepentingannya dan memberinya rezeki yang tak diduga-duga,4

Di dalam atsar disebutkan, “Sesungguhnya Allah menanggung rezeki penuntut ilmu.” Sayyidina Abdullah al-Haddad mengatakan, “Ini merupakan tanggungan khusus setelah tanggungan umum yang diberikan Allah bagi setiap makhluk yang melata di permukaan bumi. Maka maknanya adalah diberikan tambahan kemudahan. serta dihilangkan kesukaran dan bebannya dalam mencari dan mendapatkan rezeki.

Di antara perkataan Sayyidina al-Arifbillah al-Habib Ahmad bin Zain al-Habsyi adalah, “Apabila seseorang memiliki pemahaman dalam masalah ilmu, dan Allah memberikan semangat untuk menuntutnya, maka itu merupakan sebab terkuat untuk mendapakan rezeki, dan tidak ada yang lebih bermanfaat baginya dibandingkan itu-yakni menuntut ilmu. Maka hendaknya mengarahkan semangatnya untuk menuntur ilmu dan tidak membebani dirinya dengan mencari rezeki. Karena ia akan dicukupkan dan diarahkan rezekinya. Sebab sesungguhnya Allah menjamin rezeki para penuntut ilmu,

Saya (penulis) mengatakan: Diantara sebab terkuat yang dapat menarik rezeki, sebagaimana yang disebutkan oleh orang-orang arif, adalah: mendirikan shalat dengan ta’zhim (pengagungan) dan khusyu’, membaca Surah al-Waqi’ah terutama di waktu malam, membaca Surah Yasin dan Tabarak di waktu Subuh, hadir di masjid sebelum azan, senantiasa dalam keadaan suci, menunaikan sunnah fajar dan witir di rumah, i’tikaf di masjid antara shalat Subuh sampai terbitnya matahari, dan mengucapkan ya kâfi, ya mughni, ya fattah, ya razzaq berulang-ulang.

Dari Imam Syafi’i disebutkan bahwa ada empat hal yang mendatangkan rezeki: bangun malam, banyak beristighfar di waktu sahur (menjelang Subuh), selalu bersedekah, dan berzikir pada awal siang (yakni pagi hari) dan pada akhir siang (yakni petang hari).

Dan ada empat hal yang mencegah (menghalangi) rezeki: tidur di pagi hari, sedikit melakukan shalat, malas, dan khianat.

Di antara yang juga menghalangi rezeki adalah: banyak tidur, makan dan minum dalam keadaan junub, menyapu rumah pada malam hari, membiarkan sampah di dalam rumah, berjalan mendahului orang tua, mencuci tangan dengan tanah (kecuali untuk mencuci najis mughalazhah, penj.), duduk di tangga, berwudhu di tempat buang hajat, menjahit pakaian tanpa melepasnya dari badan, mengeringkan wajah dengan pakaian, membiarkan sarang laba-laba di dalam rumah, menganggap enteng shalat, mematikan pelita dengan napas (tiupan), dan tidak mendoakan orang tua. Semua itu menyebabkan kefakiran. Hal itu diketahui dari atsar. Nashiruddin ath-Thûsi5 menyebutkan dalam kitab Adab al-Muta’allimin.

Catatan:

  1. Di-takhrij-kan oleh at-Tirmidzi (2647), yang mengatakan, “Hadits ini hasan gharib.”
  2. Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Kabir (8: 111 nomor 7473) dan al-Hakim dalam al-Mustadrak (1: 91) dari hadits Abu Umamah dengan sanad La basa bih, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Mundziri dalam at Targhib wa at-Tarhib (1: 138), yang mengatakan dalam al- Majma’ (1: 123), “Semua perawinya orang-orang terpercaya.”
  3. Di-takhrij-kan oleh ad-Dailami dalam al-Firdaus (3: 109).
  4. Diriwayatkan oleh Abu Hanifah dari hadits Abdullah bin al-Harits bin Jaza’, seorang sahabat Rasulullah Saw. Musnad Abu Hanifah (1:25).
  5. Abu Ja’far Nashiruddin Muhammad bin Muhammad bin al-Hasan ath-Thúsi (597-672 H), seorang filosof dan sangat alim dalam ilmu- ilmu aqliyah, meteorologi, dan matematika. Beliau memiliki sejumlah karangan penting. Wafat di Baghdad.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *