Thariqah Alawiyah (I) | Bab 1 : Hadits-hadits Mengenai Keutamaan Ilmu dan Ahli Ilmu

Thariqah 'Alawiyah Jalan Lurus Menuju Allah
Terjemah : al-Manhaj al-Sawi Syarh Ushul Thariqah al-Saadah Aali Ba’Alawi
Pengarang : Al Habib Zain bin Smith
Penerjemah : Ust. Husin Nabil Assegaf
Penerbit : Nafas

Ketahuilah, sesungguhnya agama Islam ditegakkan berdasarkan ilmu dan pengetahuan. Karena itu, tidak semestinya seorang muslim jauh dari cahaya ilmu, bahkan mesti mengambilnya dari warisan nabi. Karena sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi, dan wakil para Rasul as.

Mu’awiyah mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa yang dikehendaki Allah mendapatkan kebaikan maka dia dijadikan-Nya paham tentang agama.1 Rasulullah Saw. juga bersabda, Tidak ada yang lebih utama untuk digunakan dalam beribadah daripada memahami agama.2Beliau juga bersabda, “Satu orang faqih lebih ditakuti oleh setan daripada seribu orang ‘abid (ahli ibadah).3

Abu ad-Darda’ mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Dan sesungguhnya para malaikat menghamparkan sayap-sayapnya bagi penuntut ilmu karena senang dengan yang dilakukannya. Dan sesungguhnya makhluk yang berada di langit dan di bumi, bahkan sampai ikan-ikan di air, memintakan ampun bagi seorang alim. Dan keutamaan seorang alim dibanding seorang ‘abid (ahli ibadah) adalah seperti keutamaan bulan dibandingkan planet-planet lain. Dan sesungguhnya para ulama pewaris para nabi dan sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirham, melainkan hanya mewariskan ilmu. Maka barangsiapa yang mengambilnya berarti dia telah mengambil keuntungan yang besar.4

Para ulama berbeda pendapat mengenai makna para malaikat menghamparkan sayapnya bagi penuntut ilmu. Ada pendapat yang mengatakan bahwa itu merupakan kiasan dari sikap tawadhu terhadap para penuntut ilmu dan kekhusyukan. Ada pula yang mengatakan bahwa maksudnya adalah menahan diri dari terbang untuk turun dan hadir bersama para penuntut ilmu. Pendapat lain mengatakan bahwa maksudnya adalah penghormatan dan pengagungan bagi penuntut ilmu. Pendapat lain lagi mengatakan bahwa maksudnya adalah membawa dan menolong penuntut ilmu untuk mencapai tujuannya.

Saya (penulis) mengatakan bahwa makna terakhir yang dikuatkan oleh cerita tentang Syaikh Ahmad Abu al-Jadi5 bahwa ketika Syaikh Abdullah Ba’abbad dan saudaranya6 mendatanginya, maka Syaikh Ahmad mengambil berkah dan mengusap kaki keduanya dan menyuruh mereka meletakkan kaki-kaki mereka di atas salah satu anggota tubuhnya. Mereka berdua lalu bertanya kepadanya, “Mengapa engkau lakukan itu sedangkan kami mendatangimu untuk mengambil berkah darimu dan mengambil manfaat dari ilmu dan akhlakmu?” Syaikh Ahmad menjawab, “Aku tidak melakukan itu melainkan karena aku melihat para malaikat menghamparkan sayapnya bagi kalian dan aku melihat kalian meletakkan kaki di atasnya. Maka aku menginginkan keberkahan dan mengambil berkah dari tempat-tempat yang disentuh oleh sayap malaikat.” Demikian yang disebutkan dalam kitab an-Nahr al-Maurud.

Adapun ilham yang diberikan kepada hewan untuk memohonkan ampun bagi seorang alim, ada pendapat yang mengatakan bahwa sesungguhnya hewan diciptakan untuk kebaikan dan manfaat bagi para hamba. Dan para ulama, merekalah yang menjelaskan tentang yang halal dan haram dari hewan-hewan itu, dan yang berpesan agar berbuat baik dan tidak melakukan perbuatan yang merugikannya. Demikian disebutkan oleh Ibnu Jama’ah dalam kitab at Tadzkirah7.

Habib Idrus bin Umar al-Habsyi pernah ditanya tentang manfaat yang diperoleh ikan dari seorang alim, hingga ikan memohonkan ampun baginya. Maka beliau menjawab, “Orang alim yang sesungguhnya adalah bila dia beramal dengan ilmunya dan mengajarkannya kepada manusia, memerintahkan orang melakukan kebaikan, dan melarang mereka dari kejahatan. Allah meridhai hamba-hamba-Nya dan menurunkan rahmat dengan keberkahan ketaatan. Dan menurunkan hujan yang bermanfaat bagi semua hewan termasuk ikan di laut. Semua itu berkat ilmu dan seruan orang alim. Seorang alim juga menyeru agar orang berbuat baik kepada hewan dalam segala keadaannya. Termasuk ketika menyembelih binatang yang harus disembelih dan ketika membunuh binatang yang boleh dibunuh, dan melarang mencincangnya.Dengan demikian, jelaslah mengapa segala sesuatu memintakan ampun untuk seorang alim, termasuk ikan yang ada di laut. Demikian keterangan dari kitab an-Nahr al-Maurud.

Saya (penulis) katakan bahwa istighfar ikan di laut bagi seorang alim adalah ketika masih hidup dan setelah matinya hingga hari Kiamat kelak. Karena ilmunya tetap bermanfaat hingga hari Kiamat meskipun seorang alim telah mati. Terdapat dalil mengenai kemuliaan ilmu dan para ahli ilmu, dan bahwa seseorang yang diberi ilmu berarti telah diberi keutamaan yang sangat besar. Hal itu dikuatkan oleh sabda Nabi Saw., “Para ulama adalah warisan para nabi. Mereka dicintai makhluk yang berada di langit dan dimintakan ampunan oleh ikan-ikan di laut sampai hari Kiamat.”8

Dari Mu’adz bin Jabal, yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Pelajarilah ilmu karena mempelajarinya dapat menimbulkan ketundukan, mencarinya adalah ibadah, mengulang- ulangnya adalah tasbih, membahasnya adalah jihad, pengorbanan untuk ahlinya merupakan pendekatan kepada Allah, dan mengajarkannya kepada orang yang tidak mengetahui adalah sedekah. Karena ilmu merupakan rambu-rambu halal dan haram, penerang jalan para ahli surga, penghibur dalam kemurungan, sahabat dalam keterasingan, teman bicara dalam kesendirian, petunjuk dalam kelapangan dan kesempitan, senjata menghadapi lawan, dan kebaikan di sisi sahabat.

Dengannya Allah mengangkat derajat beberapa kaum, sehingga menjadikan mereka para pemimpin dalam kebaikan dan imam-imam yang diikuti jejaknya, diteladani perbuatannya, dan dijadikan rujukan pendapatnya. Para malaikat ingin bersahabat dengan mereka, dan dengan sayapnya membelai mereka. Setiap yang basah dan yang kering, ikan dan hewan- hewan kecil (plankton) di laut, serta binatang buas dan hewan-hewan ternak di darat memintakan ampun bagi mereka. Karena ilmu merupakan kehidupan bagi hati dari kejahilan dan pelita bagi pandangan dalam kegelapan. Dengan ilmu seorang hamba dapat mencapai kedudukan orang-orang baik dan derajat yang sangat tinggi di dunia dan akhirat. Memikirkan ilmu setara dengan puasa, mengajinya seimbang dengan bangun malam. Dengannya terjalin silaturahmi, dan dengannya pula diketahui yang halal dari yang haram. Ilmu adalah pemimpin amal, dan amal mengikutinya. Orang-orang bahagia (su’ada) diilhami dengannya, sedangkan orang-orang celaka diharamkan atasnya.9

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling mulia?” Beliau menjawab, “Orang yang paling bertakwa di antara mereka.” Mereka kemudian mengatakan, “Bukan tentang itu yang kami tanyakan.” Beliau menjawab, “Kalau begitu, Nabi Yusuf, dia seorang nabi, putra seorang nabi (Nabi Ya’qub) yang merupakan putra seorang nabi pula (Nabi Ishaq), putra Khalilullah (Nabi Ibrahim).” Mereka mengatakan lagi, “Bukan tentang itu yang ingin kami tanyakan. Beliau menjawab, “Apakah kalian bertanya tentang sumber-sumber di kalangan bangsa Arab? Orang yang baik di masa Jahiliyah adalah orang yang baik di masa Islam bila mereka memiliki pemahaman.”10

Al-Imam an-Nawawiy11 mengatakan yang dimaksud sumber- sumber di kalangan orang Arab adalah asal-usulnya, sedangkan yang dimaksud dengan mereka memiliki pemahaman adalah mereka menjadi alim dalam hukum-hukum syariat berupa fiqih.

Rasulullah Saw, bersabda, “Ada tiga golongan yang memberikan syafaat di hari Kiamat, yaitu para nabi, kemudian para ulama, kemudian para syuhada.12 Al-Imam al-Ghazali mengatakan setelah menyebutkan hadits ini, “Sungguh agung kedudukan yang berada di bawah kenabian dan berada di atas kesyahidan, meskipun terdapat keterangan mengenai keutamaan kesyahidan.”

Saya (penulis) katakan, “Hal tersebut merupakan dalil bahwa para ulama yang mengamalkan ilmunya lebih utama di sisi Allah dibandingkan dengan para syuhada yang terbunuh dalam peperangan untuk membela agama.

Hasan al-Bashriy13 mengatakan, “Tinta para ulama ditimbang dengan darah para syuhada, maka tinta para ulama lebih berat dibandingkan dengan darah para syuhada.” Ibnu Mas’ud mengatakan, “Kalian harus memperoleh ilmu sebelum ia diangkat, dan diangkatnya ilmu adalah dengan matinya para perawi ilmu. Demi Dzat yang diriku berada dalam genggaman-Nya, sungguh orang-orang yang terbunuh di jalan Allah sebagai syuhada ingin agar Allah membangkitkan mereka sebagai ulama karena mereka melihat kemuliaan para ulama.” Demikian yang disebutkan dalam kitab al-Ihya.

Catatan:

  1. Di-takhrj-kan oleh al-Bukhari (71), Muslim (1037), dan lain-lain.
  2. 11. Di-takhrijkan oleh al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman (1583) dengan sanad dhaif dan beliau mengatakan, “Pendapat yang lebih terjaga mengatakan bahwa ucapan ini berasal dari perkataan az-Zuhri.” Saya (penulis) mengatakan bahwa yang men-takhrij-kannya dari ucapan az-Zuhri adalah Abu Nu’aim dalam al-Hilyah(3: 365)
  3. 12. Di-takhrij-kan oleh at-Tirmidzi (2681), Ibnu Majah (222), dan lain-lain dari hadits Ibnu Abbas.
  4. Di-takhrij kan oleh Abu Daud (3641), at-Tirmidzi, Ibnu Majah (223) Semuanya dari hadits Abu ad-Dards Bagian awal dari hadits ini di takhrij kan oleh Muslim (2699) dari hadits Abu Hurairah.
  5. Syaikh Ahmad bin Abu al-Ja’d dari kota Abyan, sahabat dua orang syaikh, Syaikh Salim al-Abyani dan Syaikh Ali al-Ahdal. Wafat tahun 670-an H. Diambil dari kitab Thabaqir al-Khawish halaman 72-74.
  6. Syaikh Abdullah bin Muhammad Ba Abbad asy-Syibami, wafat tahun 687 H, kakek al-Imam Muhammad bin Abu Bakar Ba “Abbid (wafat 801 H) yang telah disebutkan riwayat hidupnya. Adapun saudaranya, Umar dan Abdurrahman.
  7. Lengkapnya Tadzkirah as Sami wa al-Mutakallim fi Adab al ‘alim wa al-Mutakallim karya imam muhaddits dan faqih, al-Qadhi Badruddin Muhammad bin Ibrahim bin Sa’dullah bin Jama’ah al-Kinani asy Syafi’iy (wafat 733 H). Kitab ini termasuk kitab terbaik mengenai adab menuntut ilmu
  8. Di-takbrij-kan oleh Abu Nu’aim, ad-Dailami, Ibn an-Najjar, dan lain-lain. Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: Hadits ini memiliki beberapa jalur dan bukti yang dapat diketahui dengannya bahwa hadits ini ada asalnya. Demikian keterangan dalam al-Faidh al-Qadir karya al-Manawi (4.385)
  9. Di-takhrij-kan oleh Ibnu Abdil-Barr dalam Jami Bayan al-‘Ilm wa Fadhlih (1:54) dan beliau mengarakan bahwa hadits ini hasan tetapi tidak memiliki sanad yang kuat. Hadits ini juga diriwayatkan dari banyak jalur yang mauquf. Di-takhrij-kan sebagai hadits yang mauquf pada Mu’adz oleh Abu Nu’aim juga dalam Hilyah al-Auliya (1: 239)
  10. Di-takhrij kan oleh al-Bukhari (3353). Muslim (2378), dan sebagainya.
  11. Syaikhul-Islam Muhyyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawi, wafat tahun 676 H, tokoh yang tak perlu diperkenalkan lagi karena sangat terkenal. Nash yang dikutip di sini adalah dari kitabnya, Syarh Shahih Muslim (15:135)
  12. Di-takhrij-kan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya (4313) dan yang lain dari hadits Utsman ra.
  13. Imam para tabi’in. Abu Said al-Hasan bin Yasir al-Bashri (21-110 H). pemimpin orang-orang pada masanya, baik dalam ilmu, amal, maupun hal ihwalnya. Imam al-Ghazali mengatakan, “Al-Hasan al-Bashri adalah orang yang perkataannya paling mirip dengan perkataan para nabi dan paling mirip petunjuknya dengan para sahabat

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *