Dorongan Bertanya kepada Ulama dan Terus Menambah Ilmu
Allah Swt. berfirman,
“Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama, dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.“(QS. at-Taubah: 122)
Ayat ini menggabungkan dorongan untuk belajar dan mengajar dengan perintah untuk mendalami agama, serta dakwah di jalan Allah dan di jalan yang lurus.
Allah berfirman dalam rangka mendorong untuk bertanya dalam urusan agama yang dirasakan sulit, kepada ulama yang mengamalkan ilmunya. Allah Swt. berfirman,
“Maka bertanyalah kalian kepada orang-orang yang berilmu jika kalian tidak mengetahui.“(QS.al-Anbiya’: 7)
Al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad mengatakan,
“Bertanya adalah kunci yang dapat menyampaikan seseorang kepada makna-makna ilmu dan rahasia-rahasia kegaiban yang ada dalam dada dan hati. Sebagaimana seseorang tidak dapat sampai kepada barang-barang dan hal-hal berharga di dalam rumah, kecuali dengan menggunakan kunci terbuat dari yang besi dan kayu, demikian pula seseorang tidak dapat sampai kepada ilmu dan pengetahuan yang ada pada ulama, tetapi dengan pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan untuk mengambil manfaat yang disertai dengan kesungguhan, keinginan, dan adab yang baik.”
Kemudian beliau menyebutkan bahwa Imam Sufyan ats-Tsauri segera meninggalkan suatu negeri yang dimasukinya bila tidak seorang pun dari penduduknya bertanya kepadanya tentang ilmu, dan beliau mengatakan, “Ini adalah negeri di mana ilmu telah mati di dalamnya.”
Asy-Syibli1apabila duduk di halaqahnya dan tak seorang pun bertanya kepadanya, maka beliau membaca firman Allah (yang artinya],”Dan jatuhlah perkataan (azab) atas mereka disebabkan oleh kelaliman mereka, maka mereka tidak dapat berkata [apa-apa].“(QS. an-Naml: 85)
Nabi Saw. bersabda, “Ilmu adalah simpanan, kuncinya adalah pertanyaan. Karena itu, bertanyalah, karena sesungguhnya ada empat pihak yang diberi ganjaran, orang yang bertanya, orang alim (yakni, yang ditanya dan memberikan jawaban), orang yang mendengar, dan orang yang mencintai mereka.“2
Terdapat pula suatu hadits marfu “Pertanyaan yang baik adalah setengah ilmu.”3
Dari uraian yang telah lalu dapat diketahui bahwa setiap orang yang tidak tahu wajib bertanya kepada orang yang mengetahui, yakni para ulama yang mengamalkan ilmunya.
Hendaklah orang seseorang berhati-hati, jangan sampai ia menanyakan masalah agamanya kepada ulama yang tidak memiliki sifat ini. Yakni, yang mencari dunia dengan ilmunya dan menjadikannya sebagai pancing dan jala untuk mengumpulkan harta dunia. Berhati-hatilah kepada orang yang demikian dan berlarilah darinya sebagaimana engkau berlari dari singa, karena bahayanya terhadap dirimu lebih besar dibanding manfaatnya. Karena sesungguhnya orang yang tidak dapat dipercaya dalam mengurus agama bagi dirinya sendiri, bagaimana dapat dipercaya dalam mengurus agama bagi orang lain?! Pahamilah itu. Para salaf saleh sangat menekankan dalam permasalahan menimba ilmu, bagi mereka yang memiliki keahlian sempurna dan tampak kedekatannya dengan agama.
Muhammad bin Sirin 4dan Mâlik bin Anas mengatakan, “Ilmu adalah agama. Maka lihatlah dengan siapa kamu sekalian menimba agamamu.”
Sayyidina al-Quthb Ahmad bin Zain al-Habsyi mengatakan, “Tanda seorang alim yang terpercaya-yakni orang yang engkau ingin mengambil agama darinya- adalah takut kepada Tuhannya, dan tanda takutnya tampak pada perbuatannya. Maka orang yang engkau lihat pada dirinya terdapat tanda ini, ambillah agama darinya dan ikuti pada semua yang dibawanya.
Jika tidak mendapatinya demikian, maka tinggalkan dan jangan mengikutinya. Tetapi janganlah berburuk sangka karena engkau tidak melihat rasa takut pada dirinya, yang merupakan syarat ilmu berdasarkan firman Allah Ta’ala,”Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba- hamba-Nya hanyalah ulama.“(QS. Fathir: 28)
(bersambung)
Catatan:
- Seorang ‘Arif billah besar, Syaikh ath-Thaifah Abu Bakar Dulaf bin Jahdar asy-Syibli al-Baghdadi (247-334 H). As-Sulami mengatakan dalam Thabagat-nya halaman 337, bahwa beliau bersahabat dengan al- Junaid dan para syaikh lain pada masanya. Tak ada bandingnya dalam haal dan ilmunya. Beliau seorang yang alim dan faqih dalam mazhab Maliki.
- Di-takhrij-kan oleh Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (3: 192) dari hadits Ali yang marfu’ dengan sanad dha’if sebagaimana dikatakan oleh al-Hafizh al-‘Iraqi dalam Takhrij al-Ihya (1: 9).
- Di-takhrij-kan oleh al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman (5: 255) dari hadits Ibnu Umar dan dia memandang sanadnya lemah.
- Imam dan tabi’in besar, Abu Bakar Muhammad bin Sirin al-Anshari al-Bashri. Di samping seorang imam dalam fiqih dan hadits, beliaumerupakan contoh dalam sifat wara’ dan seorang yang sangat unggul dalam mengartikan mimpi.