Ketahuilah, bahwa yang kita yakini sebagai Ahl-us-Sunnah dan kita patuhi karena Allah bahwa di antara sebab-sebab dan penyebab-penyebabnya terdapat keterkaitan yang efektif.
Maksudnya, Allah s.w.t. menciptakan pengaruh-pengaruh pada sesuatu saat terjadi sebab-sebabnya. Terjadi kebakaran saat barang yang terbakar tersentuh api. Allah menciptakan pemotongan saat pisau menyentuh barang yang dipotong. Allah menciptakan kesembuhan ketika orang yang sakit mengkonsumsi obat.
Demikian pula terkait setiap perkara. Siapa yang meyakini pandangan ini, maka dia adalah mu’min sejati yang benar-benar mengimplementasikan keimanannya.
Tawassul dengan kekasih-kekasih Allah yaitu para nabi dan wali termasuk dalam kategori ini. Kita menjadikan mereka sebagai perantara dan sebab yang efektif di antara kita dengan Allah s.w.t. terkait pemenuhan berbagai keperluan dan pencapaian berbagai permohonan, lantaran kedekatan mereka dengan Allah s.w.t. dan kedudukan mereka di sisi-Nya, serta kecintaan-Nya kepada mereka dan kecintaan mereka kepada-Nya, tanpa meyakini bahwa mereka memiliki pengaruh pada suatu apapun. Mereka dijadikan perantara dalam tabarruk dan permohonan pertolongan hanya lantaran kedudukan mereka, karena mereka adalah kekasih-kekasih Allah. Sebab itulah Allah memperkenankan doa mereka dan menerima syafā‘at mereka.
Dalam hadits qudsi dari Allah s.w.t., Dia berfirman:
وَ مَا يَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ، وَ بَصَرَهُ الَّذِيْ يَبْصُرُ بِهِ، وَ يَدَهُ الَّتِيْ يَبْطِشُ بِهَا، وَ رِجْلَهُ الَّتِيْ يَمْشِيْ بِهَا، وَ لَئِنْ سَأَلَنِيْ لَأُعْطِيَنَّهُ، وَ لَئِنِ اسْتَعَاذَنِيْ لَأُعِيْذَنَّهُ.
“Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku hingga Aku mengasihinya. Ketika Aku telah mengasihinya, maka Aku menjadi pendengarannya yang digunakannya untuk mendengar, penglihatannya yang digunakannya untuk melihat, tangannya yang digunakannya untuk bertindak, dan kakinya yang digunakannya untuk berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku, niscaya Aku memberinya. Jika ia memohon perlindungan kepada-Ku, niscaya Aku melindunginya.” (11)
Mayoritas Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah dan kaum muslimin pada umumnya berpendapat bahwa tawassul dengan diri yang shāliḥ atau orang-orang shāliḥ yang rajin menjalankan ajaran-ajaran agama, sebagaimana dibolehkan pula dengan ‘amalk-‘amal shāliḥ, berdasarkan keumuman firman Allah s.w.t.:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَ ابْتَغُوْا إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ.
“Hai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dan carilah wasilah untuk mendekatkan diri kepada-Nya.” (QS. al-Mā’idah: 35).
Ini perintah dari Allah agar berupaya mencari wasīlah. Wasīlah adalah setiap yang Allah jadikan sebagai sebab untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan perantara yang mengantarkan pada terkabulkannya berbagai keperluan di sisi-Nya.
Diriwayatkan dengan mata rantai riwayat yang shaḥīḥ dari ‘Utsmān bin Ḥunaif, seorang buta datang kepada Nabi s.a.w. dan berkata: “Ya Rasūlullāh, berdoalah kepada Allah agar menyembuhkan penglihatanku.”
Beliau bersabda: “Jika kamu mau, aku berdoa kepada Allah, dan jika kamu mau, kamu dapat bersabar.”
Periwayat mengatakan bahwa kemudian beliau menyuruh orang itu berwudhu’ dengan sebaik-baiknya, kemudian mengucapkan doa ini:
اللهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَ أَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ (ص) نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، يَا مُحَمَّدٌ، إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّيْ فِيْ حَاجَتِيْ لِتُقْضَى لِيْ، اللهُمَّ شَفِّعْهُ فِيَّ
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan nabi-Mu, Muḥammad s.a.w., nabi yang rahmat. Ya Muḥammad, sesungguhnya aku menghadap denganmu kepada Tuhanmu terkait keperluanku agar dipenuhi untukku. Ya Allah, perkenankan beliau memberi syafā‘at padaku.”
Orang buta itu segera melaksanakan perintah beliau. Ia kembali lagi dalam keadaan sudah dapat melihat. Para sahabat dan generasi setelah mereka, salaf maupun khalaf, kerap meng‘amalkan doa ini dalam rangka memenuhi hajat-hajat mereka.
Ibnu Mājah meriwayatkan dari Abū Sa‘īd al-Khudrī r.a. secara marfū‘: “Siapa yang keluar dari rumahnya untuk menunaikan salat dan mengucapkan doa:
اللهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّائِلِيْنَ عَلَيْكَ وَ بِحَقِّ الرَّاغِبِيْنَ إِلَيْكَ وَ بِحَقِّ مِمْشَايَ هذَا إِلَيْكَ فَإِنِّيْ لَمْ أَخْرُجْ بَطَرًا وَ لَا أَشَرًا وَ لَا رِيَاءً وَ لَا سُمْعَةً، بَلْ خَرَجْتُ اتِّقَاءَ سَخَطِكَ وَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِكَ، فَأَسْأَلُكَ اللهُمَّ أَنْ تُنْقِذَنِيْ مِنَ النَّارِ، وَ أَنْ تَغْفِرْ لِيْ ذُنُوْبِيْ، فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلَّا أَنْتَ.
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan kesungguhan orang-orang yang meminta kepada-Mu, kesungguhan orang-orang yang mendambakan-Mu, dan dengan kesungguhan perjalananku ini kepada-Mu. Sesungguhnya aku keluar bukan dengan keangkuhan, kesombongan, riyā’, tidak pula pamrih kemasyhuran. Aku keluar demi menghindari murka-Mu dan menggapai ridha-Mu. Maka aku mohon kepada-Mu ya Allah agar Engkau selamatkan aku dari neraka dan mengampuni dosa-dosaku, sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Engkau.”
Lalu Allah menugaskan baginya tujuh puluh ribu malaikat yang menohonkan ampunan baginya, dan Allah menghadapkan wajah-Nya kepadanya hingga dia menyelesaikan shalatnya.” (22).
Ini adalah tawassul secara terang-terangan dengan seorang hamba yang beriman baik hidup atau mati. Nabi s.a.w. mengamalkan doa ini pada saat beliau keluar untuk menunaikan shalat, sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Baihaqī, Ibnu Sunnī, dan Abū Nu‘aim. (33).
Tawassul dengan kekasih-kekasih Allah adalah menjadikan mereka sebagai wasithah (perantara) kepada Allah s.w.t. dalam rangka memenuhi keperluan demi keperluan. Sebab, telah nyata pada diri mereka adanya kedudukan dan keagungan di sisi Allah s.w.t. Perlu dipahami bahwa di samping mereka adalah hamba dan makhluk ciptaan Allah, Allah pun telah menetapkan mereka sebagai manifestasi nyata bagi setiap kebaikan dan keberkahan, serta sebagai pembuka bagi setiap rahmat.
Seseorang yang bertawassul pada hakikatnya tidak memohon dipenuhi keperluannya kecuali dari Allah. Orang itu meyakini bahwa Allah-lah yang memberi dan yang mencegah. Bukan yang selain-Nya. Orang yang bertawassul mengedepankan/memperhadapkan para kekasih Allah ta‘ālā itu ke hadapan-Nya, sebab ketimbang dirinya maka kedudukan mereka lebih dekat kepada Allah ta‘ālā.
Allah ta‘ālā menerima permohonan dan syafā‘at kekasih-kekasihNya itu lantaran kecintaan-Nya pada mereka dan lantaran kecintaan mereka pada-Nya.
Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan serta menyukai orang-orang yang bertaqwa.
Pendapat pihak yang menyimpang dan memisahkan diri dari jamā‘ah tidak menjadi pertimbangan. Pihak itu menyatakan tawassul merupakan perbuatan syirik atau haram, serta menilai orang-orang yang bertawassul sebagai kaum musyrikin. Ini kebatilan yang nyata. Sebab, pendapat itu mengarah pada penilaian bahwa mayoritas umat bersepakat atas perbuatan haram atau menyekutukan (Allah s.w.t.). Ini mustahil, berdasarkan berbagai ketetapan atas keterlindungan umat ini dari bersepakat dalam kesesatan, sebagaimana ini dinyatakan oleh al-Ḥabīb-ul-Ma‘shūm s.a.w. yang bersabda:
سَأَلْتُ رَبِّيْ أَنْ لَا تَجْتَمِعَ أُمَّتِيْ عَلَى ضَلَالَةٍ فَأَعْطَانِيْهَا.
“Aku memohon kepada Tuhanku agar umatku tidak bersepakat pada kesesatan, dan Allah pun memperkenankan permohonanku itu.” (44).
Dari Ibnu ‘Abbās r.a. secara marfū‘:
لَا يَجْمَعُ اللهُ أُمَّتِيْ عَلَى الضَّلَالَةِ أَبَدًا.
“Allah tidak menghimpun umatku pada kesesatan selama-lamanya.” (55).
Ibnu Mas‘ūd r.a. berkata:
مَا رَآهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ.
“Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka di sisi Allah itu baik.” (66).
Ini tak bisa disebut termasuk dalam kategori pendapat.
Tidak begitu, berdasarkan keumuman makna dari ayat-ayat yang telah disebutkan sebelum ini. Siapa yang berkata tawassul boleh dengan ‘amal tapi tak boleh dengan pribadi dan ia membatasi maksud ayat pada yang pertama (tawassul dengan ‘amal), maka tiada dalil atas (pernyataan) itu. Sebab, ayat itu dinyatakan secara mutlak (umum).
Bahkan (ayat itu) lebih tepat dipahami dengang makna yang kedua (tawassul dengan pribadi) karena pada ayat itu Allah s.w.t. perintahkan ketaqwaan dan mencari wasīlah. Taqwa itu pelaksanaan perintah-perintah dan penghindaran larangan-larangan.
Jika kita tafsirkan “mengupayakan wasīlah” dengan “ ‘amal-‘amal shāliḥ”, maka perintahnya menjadi pengulangan dan penegasan. Tapi jika yang dimaksud dengan wasīlah adalah pribadi yang utama, maka ini penegakan (makna dasarnya) dan ini lebih diutamakan daripada penegasan.
Juga, jika tawassul dengan ‘amal-‘amal dibolehkan padahal ‘amal-‘amal ini merupakan bentuk-bentuk upaya yang diperbuat, maka pribadi yang diridhai di sisi Allah lebih utama untuk diperkenankan. Pertimbangannya, di dalam pribadi itu termuat pencapaian berbagai tingkat ketaatan tertinggi, keyakinan, dan pengetahuan terhadap Allah Tuhan seluruh alam.
Allah s.w.t. berfirman:
وَ لَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوْا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوْكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللهَ وَ اسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُوْلُ لَوَجَدُوا اللهَ تَوَّابًا رِحِيْمًا.
“Dan sungguh, sekiranya setelah menzhalimi diri mereka sendiri mereka datang kepadamu (Muḥammad), lalu memohon ampunan kepada Allah, dan Rasūl pun memohonkan ampunan untuk mereka, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat Maha Penyayang.” (QS. an-Nisā’: 64).
Ini cukup jelas terkait penetapan Rasūlullāh s.a.w. sebagai wasīlah kepada Allah s.w.t. berdasarkan firman-Nya: “Mereka datang kepadamu.” Dan firman-Nya: “Dan Rasūl pun memohonkan ampunan untuk mereka.” Kalau bukan begitu ketentuannya, untuk apa ada firman-Nya: “Mereka datang kepadamu”?!