Hati Senang

Tawanan Perang Badar – Nurul Yaqin

NŪR-UL-YAQĪN   Judul Asli: Nūr-ul-Yaqīn fī Sīrati Sayyid-il-Mursalīn Penulis: Muhammad al-Khudhari Bek   Alih Bahasa: Muhammad Faisal Fadhil Penerbit: UMMUL QURA   (Diketik oleh: Zulfa)

Tawanan Perang Badar

Ketika pasukan Muslimīn telah memasuki kota Madīnah, Rasūlullāh s.a.w. bermusyāwarah dengan para shahabatnya tentang apa yang akan mereka lakukan terhadap para tawanan. Shahabat ‘Umar berkata: “Wahai Rasūlullāh, mereka telah mendustakanmu, memerangi dan mengusirmu. Menurut pendapatku, biarkan aku menguasai si Fulan yang ada hubungan family denganku, lalu aku penggal lehernya. Biarkan Ḥamzah menguasai saudaranya, al-‘Abbās, serta ‘Alī menguasai saudaranya, ‘Uqail. Demikian seterusnya sehingga semua orang mengetahui bahwa di dalam hati kami tidak ada kecintaan terhadap kaum musyrikīn. Aku tidak mempunyai pendapat lain kecuali semua tawanan harus aku penggal lehernya. Mereka adalah para perwira, pemimpin, dan panglima kaum musyrikīn.” Pendapat ‘Umar ini disetujui oleh Sa‘ad bin Mu‘ādz dan ‘Abdullāh bin Rawāḥah.

Namun, shahabat Abū Bakar berpendapat: “Wahai Rasūlullāh, mereka adalah keluarga dan kaummu. Allah telah memberikan kemenangan dan pertolongan-Nya kepadamu atas mereka. Menurut pendapatku, sebaiknya engkau biarkan mereka hidup, kemudian ambil tebusan mereka. Dengan demikian, apa yang kita ambil dari mereka akan menjadi kekuatan bagi kita untuk melawan orang-orang kafir. Mudah-mudahan Allah s.w.t. memberikan hidayah kepada mereka melalui dirimu. Dengan demikian, mereka akan menjadi pembantumu.” Kemudian Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya Allah telah melunakkan hati beberapa kaum sehingga jadilah mereka seperti air susu. Sesungguhnya Allah telah memperkeras hati beberapa kaum yang lain sehingga mereka menjadi orang yang lebih keras hatinya daripada batu. Sesungguhnya perumpamaan engkau itu, hai Abū Bakar, adalah seperti Nabi Ibrāhīm, yaitu sewaktu ia mengatakan: “Maka barang siapa yang mengikutiku, sesungguhnya orang itu termasuk golonganmu, dan barang siapa yang mendurhakai aku maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” (QS. Ibrāhīm [14]: 36) dan sesungguhnya perumpamaan engkau itu hai ‘Umar, seperti Nabi Nūḥ a.s., yaitu ketika ia mengatakan: “Ya Rabb-ku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang kafir itu tinggal di atas bumi.(QS. Nūḥ [71]: 26)”

Ternyata, Rasūlullāh s.a.w. memilih pendapat shahabat Abū Bakar r.a. (441) setelah terlebih dahulu memuji pendapat kedua shahabat itu karena tujuan kedua pendapat tersebut sama, yaitu memperkuat agama dan menghinakan orang-orang musyrik. Kemudian Rasūlullāh s.a.w. berkata kepada para shahabatnya: “Hari ini kalian fakir maka jangan biarkan seorang pun dari tawanan kalian dilepaskan selain dengan tebusan.”

Berita tentang keputusan Rasūlullāh s.a.w. sehubungan dengan para tawanan itu terdengar oleh orang Quraisy, lalu mereka ber-nihayah, meratapi korban terbunuh dalam Perang Badar selama satu bulan. Namun, salah seorang dari tokoh mereka menasihati mereka agar tidak melakukan hal itu, agar kesedihan mereka itu tidak sampai terdengar oleh Muḥammad sehingga ia dan para shahabatnya bergembira atas hal itu. Maka mereka diam dan bertekad untuk tidak menangisi korban meninggal (dalam perang Badar) hingga nanti tiba saatnya untuk membalas dendam. Lalu mereka saling menasihati antara sesama mereka supaya jangan terburu-buru membayar tebusan untuk orang-orang mereka yang ditawan. Sebab, jika terburu-buru, niscaya kaum Muslimīn akan memasang harga yang tinggi untuknya.

Tebusan

Namun, anjuran tersebut tidak dihiraukan oleh al-Muththalib bin Abī Wadā‘ah as-Sahmi yang ayahnya kini berada dalam tawanan kaum Muslimīn. Ia berangkat secara sembunyi-sembunyi menuju Madīnah. Setelah sampai di Madinah, ia menebus ayahnya dengan bayaran empat ribu dirham. Pada saat itu juga, orang Quraisy mengirimkan utusannya untuk menebus tawanan-tawanan mereka. Nilai tebusan untuk setiap orang adalah empat ribu hingga seribu dirham. Sementara bagi orang yang tidak membayar tebusan dan ia pandai membaca dan menulis maka ia harus mengajari baca tulis kepada sepuluh orang anak Madīnah, dan pekerjaannya itu menjadi tebusan bagi dirinya.

Di antara tawanan itu ada ‘Amru bin Abī Sufyān. Tatkala ia meminta tebusan dirinya kepada ayahnya, Abū Sufyān, ayahnya menolak, bahkan mengatakan, “Demi Allah, tidak boleh Muḥammad mengumpulkan anakku dan hartaku. Biarkan dia tetap berada di tangan mereka. Mereka boleh dengan suka hati memperlakukannya.” Namun, ketika Abū Sufyān berada di Makkah, tiba-tiba ia mendapati Sa‘ad an-Nu‘mān al-Anshārī sedang umrah. Kemudian Abū Sufyān menangkap Sa‘ad dan menyanderanya untuk dijadikan tebusan bagi anaknya, ‘Amr. Lalu kaum Sa‘ad menghadap kepada Rasūlullāh s.a.w. dan memberitahukan tentang peristiwa yang telah menimpa Sa‘ad. Akhirnya Rasūlullāh s.a.w. menyerahkan ‘Amr kepada utusan orang-orang Quraisy, sebaliknya Abū Sufyān dan kaum Musyrikīn melepas pula imbalannya, yaitu Sa‘ad.

Di antara para tawanan itu terdapat pula al-‘Āsh bin ar-Rabī‘, suami putri Rasūlullāh, yaitu Zainab. Sebelum itu, Rasūlullāh s.a.w. sangat memujinya karena kebaikannya dalam hubungannya selaku menantu. Sebab, ketika permusuhan di antara orang-orang musyrik Quraisy dengan Rasūlullāh s.a.w. di Makkah semakin memuncak, mereka meminta kepada Abū-l-‘Āsh untuk menceraikan Zainab seperti apa yang telah dilakukan oleh kedua putra Abū Lahab terhadap kedua putri Rasūlullāh s.a.w. yang lain. Namun, Abū-l-‘Āsh menolak permintaan mereka dan mengatakan: “Demi Allah, aku tidak akan menceraikan teman hidupku ini, dan aku sangat senang mempunyai istri dari kalangan Quraisy.” Ketika Abū-l-‘Āsh ditawan, Zainab mengirimkan tebusan berupa kalung miliknya, yang diterima dari ibunya, Khadījah, pada hari perkawinannya. Ketika Rasūlullāh s.a.w. melihat kalung tersebut, hatinya menjadi sangat sayang kepada putrinya. Lalu Rasūlullāh s.a.w. berkata kepada para shahabatnya: “Jika kalian setuju untuk melepaskan suaminya dan mengembalikan kalung tersebut kepadanya, lakukanlah hal itu.” Akhirnya, para shahabat semua setuju dengan usulan itu kemudian Rasūlullāh s.a.w. melepaskan Abū-l-‘Āsh dengan syarat, hendaknya ia membiarkan Zainab pergi hijrah ke Madīnah. Ketika Abū-l-‘Āsh tiba di Makkah, ia memerintahkan Zainab supaya menyusul ayahnya. Rasūlullāh s.a.w. ketika itu mengirimkan orang-orangnya untuk menjemput putrinya tersebut. Ketika Abū-l-‘Āsh masuk Islām sebelum Fatḥu Makkah, Rasūlullāh s.a.w. mengembalikan putrinya, Zainab, kepadanya atas dasar pernikahan pertama. (452)

Di antara para tawanan lainnya terdapat Suhail bin ‘Amr. Ia seorang ahli pidato dari kabilah Quraisy dan ahli sastra serta sering sekali menyakiti kaum Muslimīn melalui lisannya. Shahabat ‘Umar r.a. berkata: “Wahai Rasūlullāh, biarkan aku mencabut kedua gigi seri Suhail ini. Ia selalu mengumbar mulutnya maka ia tidak akan lagi mencela engkau melalui pidatonya di mana pun ia berada.” Namun, Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Aku tidak akan melakukan pembalasan serupa bagi diriku sekalipun aku adalah seorang Nabi.

Semoga Suhail kelak akan menduduki suatu kedudukan yang engkau tidak akan mencelanya.” (463) Orang yang datang menebusnya ialah Mukariz bin Ḥafsh. Mukariz rela dirinya dijadikan sandera pengganti Suhail. Lalu Suhail datang dengan membawa tebusan dirinya untuk membebaskan Mukariz. Hal ini berlangsung setelah Mukariz mendapat persetujuan dari kaum Muslimīn.

Di kemudian hari, Allah s.w.t. membuktikan kebenaran berita yang telah diucapkan oleh Rasūlullāh s.a.w. itu sehubungan dengan Suhail. Ketika Rasūlullāh s.a.w. wafat, penduduk Makkah banyak yang hendak murtad, keluar dari agama Islam seperti yang telah dilakukan oleh orang-orang ‘Arab lainnya. Maka berdirilah Suhail untuk berkhuthbah kepada mereka. Khuthbahnya dimulai dengan memuji Allah dan shalawat kepada Rasūlullāh s.a.w., selanjutnya ia mengatakan: “Wahai umat manusia, siapa yang menyembah Muḥammad, Muḥammad telah mati; dan siapa yang menyembah Allah, Allah Maha Hidup dan tidak mati. Tidakkah kalian mengetahui bahwa Allah s.w.t. telah berfirman:

إِنَّكَ مَيِّتٌ وَ إِنَّهُمْ مَّيِّتُوْنَ

Sesungguhnya kamu akan mati, dan sesungguhnya mereka akan mati pula”. (QS. az-Zumar [39]: 30)

Dan Allah s.w.t. telah berfirman pula:

وَ مَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُوْلٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَّاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ

Muḥammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasūl, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasūl. Apakah jika ia wafat atau dibunuh, lalu kalian berbalik ke belakang (murtad)?” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 144)”

Selanjutnya, Suhail mengatakan: “Demi Allah, sesungguhnya aku mengetahui bahwa agama ini (Islām) pengaruhnya akan terus meluap sepanjang matahari terbit, maka janganlah kalian terbujuk oleh rayuan orang ini, (yang dimaksud adalah Abū Sufyān). Sebenarnya ia mengetahui perkara ini seperti yang aku ketahui, tetapi hatinya telah terkunci akibat kedengkiannya kepada Bani Hāsyim. Bertawakkallah kepada Rabb kalian karena sesungguhnya agama Allah itu akan tetap tegak dan kalimat-Nya tetap akan sempurna. Sesungguhnya Allah akan menolong siapa yang menolong-Nya dan menguatkan agama-Nya. Sungguh, Allah telah mempersatukan kalian di bawah pimpinan orang terbaik di antara kalian (yang dimaksud adalah Abū Bakar). Hal itu tak lain hanya akan menambah kekuatan bagi agama Islām. Maka barang siapa yang kami lihat murtad, kami akan memenggal lehernya.”

Akhirnya, penduduk Makkah pun menyadari perbuatannya. Dengan demikian, berita ini merupakan mukjizat Nabi kita s.a.w.

Di antara para tawanan tersebut terdapat pula al-Walīd bin Walīd yang kemudian ditebus oleh kedua saudaranya Khālid dan Hisyām. Setelah al-Walīd ditebus dan kembali ke Makkah, ia kemudian masuk Islām.

Ada seseorang yang bertanya kepadanya: “Mengapa engkau tidak masuk Islam sebelum ditebus?” ia menjawab: “Aku khawatir kalau-kalau mereka menganggap keislamanku karena takut.” Selanjutnya, ketika ia bermaksud untuk hijrah ke Madīnah, ia dicegah oleh kedua saudaranya, tetapi ia berhasil lari untuk bergabung dengan Rasūlullāh s.a.w. sewaktu ‘Umrah Qadhā’.

Tawanan lainnya adalah as-Sā’ib bin Zaid. Ia pemegang panji peperangan kaum musyrikīn dalam perang itu. Ia dibebaskan menebus dirinya. Ia adalah kakek kelima dari Muḥammad bin Idrīs asy-Syāfi‘ī.

Tawanan lainnya adalah Wahab bin ‘Umair al-Jumaḥī. Ayahnya bernama ‘Umair, salah seorang penjahat Quraisy dan termasuk orang yang paling banyak menyakiti Rasūlullāh s.a.w. Pada suatu hari setelah Perang Badar, ia duduk-duduk dengan Shafwān bin Umayyah seraya menceritakan kembali kekalahan pada Perang Badar. ‘Umair berkata: “Demi Allah, seandainya aku tidak memiliki utang yang aku tidak mampu membayarnya, dan anak-anak yang aku khawatirkan menjadi miskin bila aku tinggalkan, niscaya aku akan mendatangi Muḥammad, kemudian aku membunuhnya karena sesungguhnya anakku sekarang menjadi tawanan mereka.” Lalu Shafwān berkata kepadanya: “Utangmu menjadi tanggunganku, dan anak-anakmu akan kupelihara bersama anak-anakku. Maka ‘Umair segera mengambil pedangnya, lalu diasahnya dan diberinya racun, kemudian ia berangkat hingga sampai di Madīnah.

Tatkala shahabat ‘Umar bersama segolongan kaum Muslimīn, tiba-tiba ia melihat kedatangan ‘Umair, lengkap dengan pedangnya. Lalu ‘Umar berkata: “Anjing ini adalah musuh Allah. Ia datang tak lain hanya membawa keburukan.” Lalu ‘Umar melaporkan hal itu kepada Rasūlullāh s.a.w.: “Ini adalah musuh Allah, ‘Umair. Ia datang lengkap dengan senjatanya.”

Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Persilahkan ia menghadap kepadaku.”

‘Umar mengambil pedangnya terlebih dahulu, kemudian mempersilahkan menghadap Nabi s.a.w. dengan pengawalan yang ketat. Tatkala Rasūlullāh s.a.w. melihatnya, beliau bersabda: “Lepaskan dia, wahai ‘Umar. Engkau ‘Umair, mari mendekat kepadaku.”

Lalu ‘Umair mendekat dan berkata memberi hormat: “Selamat pagi.”

Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Allah telah menggantikan ucapan penghormatan itu dengan yang lebih baik, yaitu as-salām (selamat).” Kemudian Rasūlullāh s.a.w. bertanya: “Apakah gerangan yang membuatmu datang kemari, hai ‘Umair?”

‘Umair menjawab: “Aku datang untuk tawanan yang berada di tangan kalian, perlakukanlah ia dengan baik-baik.”

Rasūlullāh s.a.w. bertanya lagi: “Kalau begitu, apa gunanya pedang itu?”

‘Umair menjawab: “Qabbahallāh, pedang sial ini, apakah ia berguna untukku?”

Rasūlullāh s.a.w. bertanya: “Jujurlah kepadaku. Apakah yang menyebabkanmu datang kemari?”

‘Umair menjawab: “Aku hanya datang untuk itu.”

Rasūlullāh s.a.w. berkata: “Tidak, bahkan engkau telah berbincang-bincang dengan Shafwān di dekat Ka‘bah, lalu kalian berdua mengatakan demikian dan demikian.”

Akhirnya, ‘Umair masuk Islām lalu berkata: “Sebelumnya kami mendustakan berita dari langit yang engkau sampaikan dan waḥyu yang diturunkan kepadamu. Sungguh, hal tersebut tiada orang yang menyaksikannya selain aku dan Shafwān saja.”

Selanjutnya, Rasūlullāh s.a.w. berkata kepada shahabatnya: “Ajarkan kepadanya agama Islām, dan bacakanlah kepadanya al-Qur’ān, kemudian bebaskanlah tawanannya.” Kemudian ‘Umair kembali ke Makkah, dan sesampainya di Makkah ia menampakkan keislamannya.

Tawanannya yang lainnya lagi adalah Abū ‘Azīz bin ‘Umair, saudara Mush‘ab bin ‘Umair. Pada suatu hari Mush‘ab bertemu dengan saudaranya itu, lalu Mush‘ab berkata kepada orang yang menawannya: “Pegang dia erat-erat karena ibunya seorang wanita yang kaya, barangkali saja ia mau menebusnya.” Maka Abū ‘Azīz berkata: “Hai saudaraku, apakah demikian pesanmu kepadaku.” Akhirnya, ibunya yang kaya itu mengirimkan tebusan untuk membebaskannya. Jumlah tebusan itu empat ribu dirham.

Tawanan lainnya lagi adalah al-‘Abbās bin ‘Abd-il-Muththalib, paman Rasūlullāh s.a.w. sendiri. Ia ikut dalam perang ini karena dipaksa. Ketika ia menjadi tawanan, ia diminta untuk menebus dirinya dan anak saudaranya yang ikut tertawan pula, yaitu ‘Uqail bin Abī Thālib. Lalu ia berkata, untuk apa kami harus membayar, sedangkan kami ikut hanyalah karena dipaksa?”

Kemudian Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Namun, secara lahiriah engkau tetap musuh kami.”

Akhirnya, ia terpaksa membayar tebusan dirinya dan keponakannya. Selanjutnya, ia mengatakan kepada Rasūlullāh s.a.w.: “Sungguh engkau telah menjadikan aku orang yang paling miskin di antara orang-orang Quraisy untuk selamanya.”

Namun, Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Mana mungkin begitu, bukankah engkau sendiri telah meninggalkan harta yang cukup banyak kepada Umm-ul-Fadhl, (istrinya sendiri), lalu engkau berkata kepadanya: ‘Bila aku mati, aku meninggalkanmu dalam keadaan kaya?”

Al-‘Abbās menjawab: “Demi Allah, tiada seorang pun yang mengetahui hal tersebut, tetapi mengapa engkau mengetahuinya?” (474)

Keputusan tersebut merupakan keadilan dan kearifan Rasūlullāh s.a.w. yang luar biasa. Rasūlullāh s.a.w. tidak memberikan ampunan kepada pamannya sendiri, sekalipun ia mengetahui bahwa pamannya itu ikut berperang karena dipaksa. Bahkan, Rasūlullāh s.a.w. sendiri telah memberikan maaf kepada banyak tawanan lainnya yang memang terbukti tidak mampu. Begitulah keadilan. Hal itu tidak aneh karena merupakan terjemahan firman Allah s.w.t.

Allah s.w.t. berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ للهِ وَ لَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَ الْأَقْرَبِيْنَ

Hai orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biar pun terhadap diri kalian sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabat kalian.” (QS. an-Nisā’ [4]: 135)

Tawanan lainnya, Abū ‘Azzah al-Jumaḥī, seorang penyair. Dahulu, ia orang yang paling keras dalam menyakiti Rasūlullāh s.a.w. sewaktu di Makkah. Tatkala ia tertawan dalam Perang Badar, ia berkata kepada Rasūlullāh s.a.w.: “Wahai Muḥammad, sesungguhnya aku adalah orang yang miskin dan banyak tanggungan serta kebutuhan seperti yang telah engkau ketahui sendiri. Maka tolong bebaskanlah aku.” Maka Rasūlullāh s.a.w. membebaskan Abū ‘Azzah berkat kemurahan Beliau.

Catatan:

  1. 44). HR Muslim (1763).
  2. 45). HR Abū Dāwūd (2692).
  3. 46). Al-Bidāyatu wan-Nihāyah (3/311).
  4. 47). HR Al-Bukhārī (4018)
Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.