Hati Senang

Tanwir-al-Qulub | Bagian Kedua-Bab 10 : Tawakal Tafwidh dan Ikhlas (3/4)

Menerangi Qalbu Manusia Bumi, Manusia Langit Pengarang : Syaikh Muhammad Amin Al Kurdi An Naqsyabandiy Penerbit : Pustaka Hidayah , Bandung

(lanjutan)

hukum dan ketentuan gaib; dan bagi-Nya pula semua gudang kerajaan bumi, meliputi seluruh tangan, hati, sebab-sebab dan segala yang ter-lihat, 1 dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu. Maka demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan,2— tentu si hamba akan yakin bahwa kerajaan segala sesuatu berada dalam genggaman-Nya, bahwa Dialah yang menguasai seluruh pendengaran dan penglihatan, Dialah yang membolak-balikkan semua hati dan tangan sebagaimana membolak-balikkan malam dan siang. Bagi orang-orang yang yakin, Dia sungguh sang pengatur dan penentu hukum yang paling baik. Dan Dia adalah hakim yang paling bijak dan pemberi rezeki yang paling baik. Allah Ta’ala berfirman, “Siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”3 Allah Ta’ālā juga berfirman, “Kemudian Dia bersemayam di atas Arasy untuk mengatur segala urusan. Tiada seorang pun yang akan memberi syafaat kecuali sesudah ada izin-Nya, “4

Apabila hamba telah menyaksikan semua itu, dia akan memandang Tuannya Yang Maha Perkasa, lalu dengan pandangannya itu dia menjadi kuat. Kemudian dengan kekuatannya karena Dia hamba akan menjadi perkasa. Dia akan menjadi kaya dengan kedekatan kepada-Nya. Dia akan menjadi mulia dengan kehadiran di sisi-Nya. Dia memandang-Nya dalam segala hal, teguh hati kepada-Nya, meggantungkan diri kepada-Nya, merasa puas dengan pemberian dari-Nya dalam batas pa-ling minimal, serta tabah dan ridha kepada-Nya. Dalam kondisi seperti itu, si hamba yakin bahwa segala hal semestinya berasal dari Allah.

Orang yang tidak menginginkan sesuatupun selain Dia, tidak berharap kecuali kepada-Nya, senantiasa melihat tangan-Nya dalam setiap pemberian, senantiasa melihat kebijaksanaan-Nya dalam setiap penghukuman, senantiasa melihat kuasa-Nya dalam setiap al-qabdh dan al-basth5, dia sungguh telah benar dalam penghambaannya kepada Allah dan sudah memurnikan tauhidnya. Maka dia pun mengenal makhluk dari mengenal Penciptanya. Dia mencari rezeki dari Dia Yang disembahnya. Dia tidak memuji dan mencela makhluk. Dia tidak memuji seseorang karena orang itu memberinya, atau mencela karena orang itu tidak memberinya. Dia tahu bahwa Allah, Dialah Yang Mahaawal nan Maha Pemberi. Dia berterima kasih kepada makhluk hanya karena Allah memerintahnya untuk berterima kasih dan berakhlak dengan akhlak-Nya serta mengikuti sunnah Rasulullah saw.

Seorang ‘arif berkata, “Salah satu dosa paling buruk dalam pandangan Allah adalah meminta kepada-Nya untuk mendapatkan sesuatu lalu setelah mendapatkannya, kemudian berlepas diri dari-Nya. Kemudian jika Allah memberinya, dia pun memperoleh sesuatu dari-Nya, dia berkeluh kesah dan bersusah payah meminta agar Allah mengalihkan sesuatu yang telah diterimanya itu darinya. Sesungguhnya Allah Ta’ala Maha Pemurah, dan kemurahannya itu memancar meliputi semua hamba-Nya. Dia memiliki waktu-waktu di mana Dia tidak menolak permintaan hamba, meski sang hamba itu kafir. Allah Ta’ālā tidak berada di bawah perintah dan ketaatan kita, sehingga misalnya kita berkata kepada-Nya pada pagi dini hari, ‘berikanlah! Perbuatlah bagi kami sesuatu. Kemudian di penghujung hari kita menyesal dan berkata lagi kepada-Nya, ‘Alihkanlah dari kami sesuatu yang telah Engkau berikan kepada kami pada pagi hari itu.”

Seorang ulama sufi berkata, “Bila Allah memberimu pilihan dalam sesuatu, engkau harus memilih. Dan tambatkanlah pilihanmu itu kepada pilihan-Nya, karena sesungguhnya engkau tidak tahu akibat dari segala sesuatu.”

Nabi Dawud a.s. pernah berkata kepada anaknya, Sulaiman a.s., “Wahai anakku, aku hanya akan menunjukkan tiga hal yang menjadi indikasi ketakwaan seseorang, yaitu:

1. Tawakal yang baik terhadap sesuatu yang akan diperoleh.

2. Keridhaan yang baik terhadap sesuatu yang telah diperoleh.

3. kesabaran yang baik terhadap sesuatu yang tidak diterima.

Luqman al-Hakim juga pernah menasihati anaknya, “Wahai anakku, sesungguhnya dunia itu samudera yang amat dalam, dan sudah banyak orang yang tenggelam di dalamnya. Karena itu, jadikanlah takwa kepada Allah sebagai perahumu untuk mengarunginya dan tawakal kepada Allah sebagai layarnya. Mudah-mudahan engkau selamat, dan aku tidak bisa memperkirakan keselamatanmu.” Di dalam Taurat tertulis, “Terkutuklah orang yang berpegang kepada manusia lainnya.”

Di dalam syair disebutkan:

Bila dengan kemuliaan-Nya Sang Pengasih memuliakan hamba

takkan ada satu makhluk pun yang mampu menghinakannya, tidak seharipun

dan siapa saja yang dihinakan oleh Dia Yang Maha Perkasa

takkan ada yang mampu membantunya menjadi mulia, tidak seharipun

Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa memasrahkan dirinya ke-pada Allah ‘Azza wa Jalla, Dia pasti mencukupkan segala perbekalannya dan memberinya rezeki dari arah yang tidak dia perhitungkan. Dan barangsiapa mencurahkan dirinya kepada dunia, Allah akan menguasakan dirinya kepada dunia.” (HR. ath-Thabrani dan al-Baihaqi)

Asy-Syibli r.a. berkata, “Barangsiapa bersandar kepada dunia, dia akan menjadi debu yang diterbangkan angin. Barangsiapa bersandar pada akhirat, dia akan terbakar oleh cahaya-Nya sehingga menjadi emas merah yang bermanfaat baginya. Barangsiapa bersandar kepada Allah, dia akan terbakar oleh cahaya tauhid sehingga menjadi mutiara yang harganya tiada banding.

Para ulama sufi berkata, “Barangsiapa berlindung kepada Allah dan meminta pertolongan kepada-Nya, maka Allah akan membuatnya dibutuhkan oleh manusia, kata-kata hikmah keluar dari mulutnya dan menjadikannya di antara raja dunia dan akhirat. Dan barangsiapa berlindung kepada makhluk, maka Allah akan menguasakannya kepada dunia, menyiksanya serta memutuskan semua sababnya untuk dunia dan akhirat.

(bersambung)

Catatan:

  1. 1. Gudang-gudang langit adalah rezeki yang dibagikan Allah, sedang gudang-gudang bumi adalah harta yang sudah dijadikan-Nya berada di tangan makhluk.
  2. 2. QS. adz-Dzāriyāt [51]: 22-23.
  3. 3.  QS. al-Ma’idah [5]: 50.
  4. 4. QS. Yūnus [10]: 3.
  5. 5. Secara etimologis, kata qabdh (sempit) adalah lawan dari kata basth (luas). Allah Ta’ala berfirman, “Allah menyempitkan dan meluaskan. Sedangkan di kalangan sufi, qabdh berarti “rasa takut telah menguasai hatı”, dan basth berarti “rasa harap telah menguasai hati”. Jika sufi merasa takut akan ancaman Allah, berarti ia qabdh, sedangkan jika penuh harap pada janji dan nikmat Allah, berarti ia basth. Sebagian imam sufi memandang bahwa Allah Ta’ala, jika menyingkapkan sifat-sifat keperkasaan-Nya kepada hamba, Dia menyempitkan/menahan-Nya, sedangkan jika menyingkapkan sifat keindahan-Nya, Dia meluaskannya. (Imam Qusyairi, al-Tahbir fial-Tadzkir, hal 45). Tentang makna qabdh dan basth, Imam al-Junaid bekata, “(Qabdh dan basth) adalah khauf dan raja. Raja akan meluaskan pada ketaatan, sedangkan khauf akan menahan darı maksiat” (Lihat Abū Khizām. Mu’jam al-Mushthalahat al-Shūfiyyah, hal. 140, dan al-Syarqawi, Mu jam Alfazh al-Shüfiyyah, hal. 231)

Laman Terkait

Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.