Peristiwa Perang Khaibar ini disusul oleh peristiwa lain yang mengembirakan, yaitu masuk Islamnya tiga orang yang sebelumnya adalah orang-orang kuat dalam memimpin barisan pasukan untuk melawan kaum Muslimīn. Mereka adalah Khālid bin al-Wālid al-Makhzūmī, ‘Amr bin al-‘Āsh as-Sahmī, dan ‘Utsmān bin Abī Thalḥah al-‘Abdarī. Rasūlullāh s.a.w. sangat gembira menyambut keislaman mereka, dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepadamu. Sungguh aku melihat dirimu sebagai orang cerdas, dan aku berharap semoga dirimu tidak diarahkan oleh-Nya selain kepada kebaikan (Islam).”
Kemudian Khālid berkata: “Wahai Rasūlullāh, berdoalah kepada Allah s.w.t. untuk memohonkan ampunan untukku atas berbagai peperangan yang telah aku jalani dalam melawanmu.”
Maka Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Islam menghapuskan (dosa) yang telah berlalu.” (1301)
Pada bulan Sya‘ban, Rasūlullāh s.a.w. mendengar berita bahwa ada segolongan orang Hawāzin di Turbah (1312) yang menampakkan permusuhan terhadap kaum Muslimīn. Maka Rasūlullāh s.a.w. mengutus ‘Umar bin Khaththāb bersama tiga puluh pasukan berkuda untuk memberikan pelajaran kepada mereka. ‘Umar berangkat membawa pasukannya, tetapi ketika mendengar kedatangan pasukan itu, mereka melarikan diri sehingga ‘Umar tidak menemukan seorang pun. Lalu ‘Umar kembali ke Madīnah.
Kemudian Rasūlullāh s.a.w. mengutus Basyīr bin Sa‘ad al-Anshārī untuk memerangi Bani Murrah yang mendiami kawasan tanah Fadak. Namun, tatkala Basyīr bin Sa‘ad sampai ke tempat mereka bersama bala tentaranya, ia tidak menemukan seorang pun. Akhirnya, ia mengambil semua ternak mereka. Adapun kaum yang dituju oleh mereka sedang berada di lembah, lalu datang mengejar Basyīr pada malam hari yang pada waktu itu sedang dalam perjalanan pulang. Kemudian kedua pasukan saling memanah.
Pada keesokan harinya, kedua pasukan bertemu dan terlibat dalam pertempuran sengit sehingga anggota pasukan kaum Muslimīn pun banyak yang gugur. Basyīr sendiri dalam pertempuran itu menderita luka yang parah sehingga musuh menduganya telah mati. Ketika musuh telah pergi meninggalkannya, Basyīr memaksakan dirinya bangkit dan pulang ke Madīnah. Sesampainya di hadapan Rasūlullāh s.a.w., ia menceritakan semua yang telah terjadi pada diri dan pasukannya.
Pada bulan Ramadhān, Rasūlullāh s.a.w. mengutus Ghālib bin ‘Ubaidillāh al-Laitsī untuk menyerang Mīfa‘ah (1323) bersama 130 prajurit. Ghālib bersama pasukannya sempat membunuh sebagian musuh dan menawan sebagian lainnya dalam peperangan tersebut. Usāmah bin Zaid, sewaktu perang sedang berkecamuk sempat mengejar seorang musyrik. Ketika orang musyrik itu melihat tidak ada jalan lain untuk meloloskan diri dari Usāmah maka ia membaca syahadat. Namun, Usāmah menduga bahwa orang musyrik tersebut mau mengatakan demikian untuk menyelamatkan diri. Akhirnya, Usāmah tetap membunuhnya.
Ketika kaum Muslimīn kembali ke Madīnah, Rasūlullāh s.a.w. dikabari tentang apa yang telah dilakukan Usāmah. Setelah mendengar kisah itu, Rasūlullāh s.a.w. berkata: “Apakah engkau membunuhnya sesudah ia mengucapkan Lā ilāha illallāh?”
Usāmah menjawab: “Wahai Rasūlullāh, sesungguhnya ia mengatakan itu hanya untuk melindungi dirinya dari kematian.”
Rasūlullāh s.a.w. berkata: “Mengapa tidak engkau belah dadanya saja sehingga engkau mengetahui apakah ia jujur atau dusta?”
Usāmah berkata: “Wahai Rasūlullāh, mohonkanlah ampun untukku.”
Rasūlullāh s.a.w. bertanya: “Lalu bagaimana dengan Lā ilāha illallāh?” Hal itu membuat Usāmah sangat menyesal sehingga ia berharap belum masuk Islam pada waktu itu. Sehubungan dengan peristiwa ini, Allah s.w.t. menurunkan firman-Nya:
“Dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan salam kepadamu: ‘Kamu bukan seorang mu’min (lalu kamu membunuhnya)’.” (an-Nisā’: 94)
Kemudian Rasūlullāh s.a.w. memerintahkan Usāmah untuk memerdekakan seorang hamba sahaya sebagai denda karena ia dikategorikan membunuh secara keliru. (1334)
Pada bulan Syawwāl, sampaikanlah berita kepada Rasūlullāh s.a.w. bahwa ‘Uyainah bin Ḥashīn telah berjanji dengan segolongan orang Gathafān yang tinggal di dekat tanah Khaibar, yaitu suatu daerah yang dikenal dengan nama Yumn dan Jubār, untuk menyerang kaum Muslimīn di Madīnah. Rasūlullāh s.a.w. mengutus Basyīr bin Sa‘ad bersama tiga ratus pasukan guna menyerang mereka terlebih dahulu. Basyīr membawa pasukannya berjalan pada malam hari, dan bila siang hari mereka berhenti sehingga sampailah mereka ke tempat yang dituju.
Ketika sampai di tempat itu, mereka langsung menyerbu. Kaum Muslimīn mendapat banyak ghanimah berupa hewan ternak, sedangkan para penggembalanya melarikan diri dan memberitahukan apa yang telah mereka alami kepada kaumnya. Mereka terkejut atas serbuan yang mendadak ini, sedangkan kaum Muslimīn mengejar mereka sampai ke dataran tinggi daerah mereka. Dalam peperangan kali ini, kaum Muslimīn hanya dapat menangkap dua orang dari pihak musuh yang kemudian dua-duanya masuk Islam. Kemudian kaum Muslīmin kembali ke Madīnah dengan membawa ghanīmah.
Setelah genap setahun sejak umrah Ḥudaibiyah, maka Rasūlullāh s.a.w. keluar bersama orang-orang yang dicegah pada tahun lalu untuk meng-qadhā’a ‘umrahnya. Sebelum itu, Rasūlullāh s.a.w. mengangkat shahabat Abū Dzarr al-Ghifārī sebagai penggantinya untuk mengatur urusan kota Madīnah. Keberangkatan Rasūlullāh s.a.w. disertai pula dengan membawa hewan untuk kurban yang jumlahnya enam puluh ekor unta. Selain itu, Rasūlullāh s.a.w. juga membawa senjata, demikian pula para shahabat karena dikhawatirkan orang Quraisy akan mengkhianati janjinya. Di dalam rombongan itu terdapat seratus pasukan berkuda yang dipimpin oleh Basyir bin Sa‘ad.
Rasūlullāh s.a.w. memulai ihram dari pintu Masjid Madīnah. Ketika sampai di Dzul-Ḥulaifah, beliau s.a.w. menempatkan pasukan berkuda di barisan paling depan. Ada shahabat yang berkata: “Wahai Rasūlullāh, engkau membawa senjata sementara mereka mempersyaratkan engkau tidak membawa senjata?”
Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Kita tidak akan masuk (Makkah) dengannya (pasukan berkuda), tetapi ia hanya dekat dengan kita. Apabila ada yang menyerang maka kita akan membuat kejutan bagi mereka.”
Ketika di daerah Marr azh-Zhahrān, kaum Muslimīn bertemu dengan segolongan kaum Quraisy. Mereka semua kaget melihat perlengkapan (pasukan) itu. Mereka segera melaporkan hal itu kepada kaum Quraisy. Kemudian beberapa pemuda Quraisy menemui kaum Muslimīn. Mereka berkata: “Demi Allah, wahai Muḥammad, aku belum pernah mengetahui engkau berbuat khianat baik sewaktu kecil maupun setelah dewasa. Dan sesungguhnya kami tidak melakukan apa-apa.”
Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Sesungguhnya kami tidak akan memasuki Tanah Suci dengan membawa senjata.”
Ketika tiba saatnya Rasūlullāh s.a.w. memasuki kota Makkah, semua penduduk keluar dari kota Makkah karena benci melihat kaum Muslimīn melakukan thawaf di Baitullāh. Kemudian Rasūlullāh s.a.w. dan para shahabat memasuki kota Makkah dari lembah Kada’ seraya menyarungkan pedang mereka. Di depan Rasūlullāh s.a.w. berjalan shahabat ‘Abdullāh bin Rawāḥah seraya mengucapkan:
“Tiada ilāh (yang berhak diibadahi dengan sebenarnya) selain Allah semata. Dia telah menunaikan janjinya, menolong hamba-Nya, memenangkan tentara-Nya, dan mengalahkan golongan bersekutu sendirian.”
Rasūlullāh s.a.w. thawaf di Baitullāh seraya menaiki kendaraan dan memegang Ḥajar Aswad hanya dengan tongkat bengkoknya. Kemudian Beliau s.a.w. memerintahkan para shahabat supaya melakukan tiga kali thawaf berikutnya dengan langkah yang cepat, untuk memamerkan kepada kaum musyrikīn bahwa mereka kuat karena orang-orang musyrik berkata: “Hari ini akan thawaf di Ka‘bah suatu kaum yang telah kepayahan karena terkena pengaruh panas kota Yastrib.” Rasūlullāh s.a.w. berkata: “Semoga Allah memberikan rahmat kepada seseorang yang memperlihatkan kepada mereka bahwa dirinya kuat.” Pada saat itu, Rasūlullāh s.a.w. menyingsingkan rida’-nya yang sebelah kanan sehingga lengan kanannya kelihatan. Hal ini mirip dengan kebiasaan yang dilakukan oleh para pemuda. Kemudian sikap itu ditiru oleh kaum Muslimīn.
Kini, kaum Muslimīn telah menyempurnakan thawaf mereka di Baitullāh dalam keadaan aman. Setelah itu, mereka ada yang mencukur rambutnya dan ada pula yang hanya memendekkan saja atau memotongnya. Mimpi yang pernah dilihat oleh Rasūlullāh s.a.w. pun telah menjadi kenyataan. (1345)
Sewaktu di Makkah, Rasūlullāh s.a.w. menikah dengan Maimūnah binti al-Ḥārits al-Hilāliyyah, mantan istri pamannya, Hamzah bin al-‘Abd-il-Muththalib, shahabat yang syahīd dalam Perang Uhud. Maimūnah adalah bibi shahabat ‘Abdullāh bin al-‘Abbās. Maimūnah adalah wanita terakhir yang dinikahi Rasūlullāh s.a.w. Beliau s.a.w. tidak mencampurinya sewaktu di Makkah, tetapi (beliau mencampurinya) setelah keluar dari kota itu, yaitu di Sarif. (1356)
Ketika keluar dari Makkah, Rasūlullāh s.a.w. memerintahkan orang-orang yang tidak ikut (‘umrah bersama Nabi) karena menjaga kuda-kuda mereka untuk melakukan thawaf. Lalu mereka melakukannya. Setelah semuanya selesai, Rasūlullāh s.a.w. kembali ke Madīnah dengan hati yang gembira atas karunia yang telah diberikan Allah kepadanya, yaitu mimpi beliau menjadi kenyataan.