Tahun Ketujuh Hijriah – Nurul Yaqin (2/3)

NŪR-UL-YAQĪN
 
Judul Asli:
Nūr-ul-Yaqīn fī Sīrati Sayyid-il-Mursalīn
Penulis: Muhammad al-Khudhari Bek

 
Alih Bahasa: Muhammad Faisal Fadhil
Penerbit: UMMUL QURA
 
(Diketik oleh: Zulfa)

Kemudian pasukan kaum Muslimīn meneruskan serangannya ke Benteng Wathīḥ (الوطيح) dan Benteng Sulālim, tetapi penduduknya tidak mengadakan perlawan sedikit pun bahkan mereka menyerah. Mereka meminta kepada Rasūlullāh s.a.w. agar jiwa mereka dilindungi. Untuk itu, mereka bersedia keluar dari Khaibar beserta anak-cucu mereka. Tiada seorang pun dari mereka yang membawa selain satu pasang pakaiannya di badannya. Rasūlullāh s.a.w. menyetujui permintaan mereka. Kaum Muslimīn memperoleh ghanīmah dari kedua benteng ini berupa 100 baju besi, 400 bilah pedang, 1000 pucuk tombak, dan 500 buah busur panah buatan ‘Arab. Selain itu, mereka menemukan kitab-kitab Taurāt, lalu mereka memberikannya kepada orang-orang yang menginginkannya.

Dalam perang tersebut, Rasūlullāh s.a.w. memerintahkan supaya Kinānah bin ar-Rabī‘ bin ‘Abd-il-Ḥuqaiq dihukum mati karena ia menyembunyikan perhiasan milik Ḥuyay bin Akhthab. Hal ini diketahui oleh kaum Muslimīn. Setelah dibuka, ternyata di dalamnya terdapat banyak perhiasan berupa gelang, anting, dan cincin yang semuanya terbuat dari emas. Di dalamnya ditemukan pula berbagai macam permata dan zamrūd serta perhiasan lainnya.

Orang-orang yang gugur sebagai syuhadā’ dari pasukan kaum Muslimīn ada lima belas orang, sedangkan dari pasukan Yahudi berjumlah 93 orang yang tewas dalam perang tersebut. Dalam perang ini, ada seorang wanita Yahudi yang menghadiahkan masakan paha kambing kepada Rasūlullāh s.a.w. Sebelumnya, wanita itu menaburkan racun pada masakannya. Rasūlullāh s.a.w. mengambil sebagian daripadanya, lalu dikunyahnya, tetapi tidak ditelan, bahkan langsung dimuntahkan karena beliau diberitahu bahwa masakan itu telah dibubuhi racun. Tapi malang, Bisyr bin Barrā’ telah memakan sebagiannya, dan ia mati seketika itu juga. Selanjutnya, Rasūlullāh s.a.w. berdiam diri, kemudian memerintahkan supaya wanita yang melakukan perbuatan itu ditangkap. Ketika Rasūlullāh s.a.w. menginterogasinya mengapa ia melakukan hal tersebut, wanita Yahudi itu menjawab: “Aku berkata kepada diriku sendiri, apabila dia benar-benar seorang nabi, niscaya makanan itu tidak akan membahayakannya; dan apabila dia bukan nabi maka Allah akan membebaskan kami daripadanya.” Lalu Rasūlullāh s.a.w. memaafkannya, tetapi dia tetap dihukum mati menjalani hukum qishash karena Bisyr bin Barrā’ telah meninggal akibat racun itu. (1261)

Pernikahan dengan Shafiyyah (1272)

Sesudah berhasil memperoleh kemenangan dan keberuntungan, Rasūlullāh s.a.w. menikahi Shafiyyah binti Ḥuyay, putri pemimpin Bani Nadhīr. Shafiyyah kemudian masuk Islam dan berhasil memperoleh kehormatan sebagai Umm-ul-Mu’minīn.

Larangan Nikah Mut‘ah (1283)

Ketika di Khaibar, Rasūlullāh s.a.w. melarang nikah mut‘ah, yaitu nikah sementara. Pada masa jahiliah, pernikahan semacam ini diperbolehkan dan pada permulaan Islam masih tetap berlaku, kemudian oleh syarī‘at diharamkan pada tahun ketujuh hijriah, yaitu ketika Rasūlullāh s.a.w. berada di Khaibar. Rasūlullāh s.a.w. juga melarang makan daging keledai jinak. Tatkala larangan itu disampaikan, kaum Muslimīn menumpahkan panci-panci mereka yang berisi daging keledai jinak, padahal sudah matang, tetapi mereka tidak memakannya karena ada larangan dari Rasūlullāh s.a.w.

Kembalinya Kaum Muhājirīn Ḥabasyah

Ketika kaum Muslimīn kembali dari Khaibar, datanglah dari Ḥabasyah Ja’far bin Abī Thālib bersama-sama orang Asy‘ariyūn, yaitu Abū Mūsā dan kaumnya. Mereka tinggal dengan aman dan tenang di Ḥabasyah selama sepuluh tahun. Rasūlullāh s.a.w. menyambut kedatangan mereka dengan gembira, kemudian beliau memberikan bagian ghanīmah dari benteng-benteng yang ditaklukkan secara damai kepada orang-orang Asy‘ariyīn. Ja’far datang bersama dengan Ummu Ḥabībah binti Abī Sufyān, Umm-ul-Mu’minīn.

Pada kesempatan itu, datang pula orang-orang Daus kepada Nabi s.a.w. Mereka adalah teman-teman Abū Hurairah r.a. Ketika itu, Abū Hurairah ikut bersama mereka. Rasūlullāh s.a.w. juga memberikan ghanīmah kepada mereka.

Penaklukan Fadak

Setelah Khaibar ditaklukkan secara tuntas, Rasūlullāh s.a.w. mengirimkan surat kepada kaum Yahudi yang mendiami tanah Fadak (1294) agar mereka tunduk dan taat kepadanya. Kaum Yahudi bersedia mengadakan perjanjian dengan Rasūlullāh s.a.w. dengan syarat darah mereka dipelihara. Untuk itu, mereka bersedia meninggalkan harta mereka. Tanah Fadak ini khusus bagi Rasūlullāh s.a.w. dan beliau menggunakan tanah ini untuk menafkahi keluarganya, selebihnya digunakan untuk menafkahi anak-anak kecil (yatim) Bani Hāsyim dan untuk biaya pernikahan janda-jandanya.

Perjanjian Taimā’

Ketika kaum Yahudi Taima’ mendengar apa yang telah dilakukan kaum Muslimīn terhadap kaum Yahudi Khaibar, maka mereka mengadakan perjanjian damai dengan kaum Muslimīn. Untuk itu, mereka bersedia membayar jizyah, dan karenanya mereka dapat hidup di tempat tinggal mereka dengan tenang dan aman.

Takluknya Tanah WādīlQurā

Kemudian Rasūlullāh s.a.w. menyeru kepada kaum Yahudi yang mendiami tanah Wādī-l-Qurā untuk menyerah, tetapi mereka menolak dan memilih berperang. Akhirnya, kaum Muslimīn memerangi mereka dan dapat menawan dua belas orang lelaki dari kalangan mereka serta memperoleh cukup banyak ghanimah. Rasūlullāh s.a.w. mengambil seperlimanya dan tanah Wādī-l-Qurā boleh digarap oleh pemiliknya dan separuh hasilnya diberikan kepada kaum Muslimīn. Hal yang sama juga ditetapkan untuk tanah pertanian di Khaibar. Untuk itu, Rasūlullāh s.a.w. mengutus ‘Abdullāh bin Rawāḥah untuk menghitung hasil buah (kurma)-nya.

‘Abdullāh bin Rawāḥah sangat ketat dalam melakukan penghitungan terhadap kaum Yahudi Khaibar. Oleh sebab itu, mereka berupaya untuk menyuap ‘Abdullāh bin Rawāḥah. Maka, ia mengatakan kepada mereka: “Hai musuh-musuh Allah, apakah kalian mau memberikan barang haram kepadaku? Demi Allah, aku datang kepada kalian dari sisi orang yang paling aku cintai, dan sungguh kalian ini lebih aku benci daripada kera dan babi. Jangan sampai kebencianku terhadap kalian dan cintaku kepadanya (Nabi Muḥammad s.a.w.) membuatku berbuat tidak adil.”

Demikianlah, dengan ditaklukkannya semua kaum Yahudi yang tinggal di sekitar Madīnah, maka terbebaskanlah kaum Muslimīn dari kejahatan musuh yang sebelumnya selalu mengintai untuk menjatuhkannya, meskipun antar dua kubu ada perjanjian dan kesepakatan

Kemudian kaum Muslimīn kembali ke Madīnah dalam keadaan kuat dan membawa kemenangan.

Catatan:

  1. 126). HR al-Bukhārī (3169, 4249)
  2. 127). HR an-Nasā’ī dalam al-Kubrā (9/138)
  3. 128). HR al-Bukhārī (5115) dan Muslim (1407)
  4. 129). Benteng yang terletak dekat dengan Khaibar, jarak tempuh dari Madīnah adalah 6 malam.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *