Tahun Ketiga Hijriah – Nurul Yaqin

NŪR-UL-YAQĪN
 
Judul Asli:
Nūr-ul-Yaqīn fī Sīrati Sayyid-il-Mursalīn
Penulis: Muhammad al-Khudhari Bek

 
Alih Bahasa: Muhammad Faisal Fadhil
Penerbit: UMMUL QURA
 
(Diketik oleh: Zulfa)

Rangkaian Pos: Ghazawat & Saraya - Nurul Yaqin

TAHUN KETIGA HIJRIAH

Ya Allah, cabutlah nyawa orang celaka dengan kecelakaan sehingga ia tidak terdengar dan terlihat lagi. Sebab, jika dibiarkan, ia akan selalu berbuat curang dan berkhianat sehingga tidak ada yang selamat darinya sampai dicabut nyawanya.

Inilah dia, Ka‘ab bin al-Asyraf, pemimpin Yahūdī Bani Nadhīr. Ia telah dibutakan oleh permusuhan dengan kaum Muslimīn sehingga rela menanggalkan tabir perasaan malunya dan mulai menyemangati kaum Quraisy untuk memerangi Rasūlullāh s.a.w., memprovokasi beliau dengan syair, dan bekerja keras menyebarkan permusuhan di antara kaum Muslimīn. Setiap kali Rasūlullāh s.a.w. berhasil mengatasi suatu perpecahan maka si celaka ini menyulutnya kembali dengan mulutnya yang beracun itu.

Terbunuhnya Ka‘ab bin al-Asyraf

Ketika kaum Muslimīn menang dalam Perang Badar, Ka‘ab bin al-Asyraf melihat para tawanan dalam keadaan terikat tangannya dengan tali. Lalu ia menemui kaum Quraisy seraya menangisi korban tewas dari mereka dan menyemangati mereka supaya memerangi kaum Muslimīn lagi. Maka Rasūlullāh s.a.w.bersabda: “Siapa yang bisa menghukum Ka‘ab bin al-Asyraf? Karena ia telah menyakiti Allah dan Rasūl-Nya.

Muḥammad bin Maslamah al-Anshārī al-Ausī berkata: “Apakah engkau suka jika aku membunuhnya?”

Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Ya.”

Muḥammad bin Maslamah berkata: “Akulah yang akan membunuhnya demi engkau, tetapi sebelumnya idzinkanlah kami nanti mengatakan sesuatu kepadanya supaya kami dapat menguasainya.”

Rasulullah s.a.w. pun mengidzinkan Muhammad bin Maslamah untuk melakukannya.

Kemudian Muḥammad bin Maslamah berangkat bersama empat orang dari kaumnya menemui Ka‘ab. Lalu Muḥammad bin Maslamah berkata kepada Ka‘ab bin al-Asyraf: “Sesungguhnya lelaki itu telah meminta zakat kepada kami, dan ia benar-benar telah membuat susah kami. Karena itu, kami datang kepadamu untuk mencari pinjaman.”

Ka‘ab bin al-Asyraf berkata: “Namun, mengapa engkau masih mengikuti agamanya juga?”

Muḥammad bin Maslamah menjawab: “Sesungguhnya kami mengikutinya sekedar ingin tahu sampai di mana akhir perkaranya. Oleh sebab itu, kami tidak mau meninggalkannya. Kami datang dengan maksud meminjam kepadamu satu atau dua wasaq.”

Ka‘ab bin al-Asyraf berkata: “Ya, boleh saja asalkan kalian memberikan jaminannya kepadaku.”

Mereka berkata: “Jaminan apakah yang engkau inginkan?”

Ka‘ab menjawab: “Berikanlah wanita-wanita kalian kepadaku sebagai jaminannya.”

Mereka berkata: “Bagaimana kami harus memberikan jaminan wanita-wanita kami kepadamu, sedangkan engkau adalah orang yang paling rupawan?”

Ka‘ab berkata: “Baiklah, kalau begitu berikanlah anak-anak laki-laki kalian kepadaku sebagai jaminannya.”

Mereka menjawab: “Bagaimana kami harus memberikan anak-anak lelaki kami kepadamu sebagai jaminannya? Niscaya salah satu dari mereka akan berkata dengan nada memaki bahwa dirinya dijadikan sebagai jaminan dengan satu atau dua wasaq saja. Ini adalah aib bagi kami. Bagaimana bila kami memberikan jaminannya kepadamu berupa senjata?”

Akhirnya Ka‘ab setuju. Lalu Muḥammad bin Maslamah berjanji bahwa pada suatu malam akan mendatanginya.

Pada malam itu, Muḥammad bin Maslamah mendatanginya bersama Abū Nā’ilah, yaitu saudara sepersusuan Ka‘ab, ‘Abbād bin Bisyr, al-Ḥārits bin Aus, dan Abū ‘Abs bin Jabr, semuanya dari kabilah Aus. Lalu Muḥammad bin Maslamah memanggilnya. Ka‘ab bermaksud turun dari rumahnya menemui Muḥammad dan kawan-kawannya, tetapi tiba-tiba istrinya berkata: “Hendak ke manakah engkau malam-malam begini? Ingat engkau adalah orang yang sedang dalam keadaan berperang.”

Ka‘ab bin al-Asyraf menjawab: “Sesungguhnya orang yang memanggilku itu adalah keponakanku sendiri, Muḥammad bin Maslamah, dan saudara sepersusuanku, Abū Nailah. Sesungguhnya orang mulia itu jika diajak berperang sekalipun dalam malam hari, niscaya ia akan menyambutnya.”

Muḥammad bin Maslamah berkata kepada teman-temannya: “Apabila ia mendatangiku, aku akan memegang rambutnya kemudian aku menciumnya. Apabila kalian melihat aku benar-benar telah memegang kepalanya, kalian harus menebasnya dengan pedang.”

Ka‘ab turun dari rumahnya menemui mereka seraya menyandang pedangnya dan memakai minyak kesturi. Muḥammad bin Maslamah berkata: “Aku belum pernah mencium harumnya wewangian seperti malam ini. Bolehkan aku mencium kepalamu?”

Ka‘ab bin al-Asyraf menjawab: “Ya, boleh saja.”

Maka Muḥammad bin Maslamah segera mencium kepalanya. Setelah Muḥammad berhasil memegang kepalanya, ia berkata kepada teman-temannya: “Cepatlah kalian bunuh dia!”

Mereka pun segera membunuhnya. Akhirnya, Allah s.w.t. membebaskan kaum Muslimīn dari kejahatan perbuatan-perbuatan Ka‘ab yang biasa dilancarkan terhadap mereka.

Muḥammad bin Maslamah dan kawan-kawannya memberitahukan kepada Rasūlullāh s.a.w. bahwa tugas mereka telah mereka tuntaskan dengan baik. (511) Terbunuhnya si celaka itu pada bulan Rabī-‘ul-Awwal tahun itu juga. Bila terlihat ada seorang pemimpin kabilah yang berbuat khianat dan bermaksud jahat serta menimbulkan peperangan, Rasūlullāh s.a.w. segera mengirim seseorang untuk membungkam kejahatannya itu. Rasūlullāh s.a.w. telah berbuat serupa terhadap Abū ‘Afak, seorang Yahūdī yang sikapnya sama dengan Ka‘ab bin al-Asyraf, yaitu tukang menghasut.

Perang Ghathafān (522)

Rasūlullāh s.a.w. mendengar berita bahwa Bani Tsa‘labah dan para perwira perang dari Ghathafān telah menghimpun suatu kekuatan di bawah pimpinan seorang yang terkemuka dari kalangan mereka, yang bernama Du‘tsur. Mereka hendak menyerang Madīnah. Maka Rasūlullāh s.a.w. ingin melumpuhkan kekuatan mereka terlebih dahulu supaya mereka tidak melaksanakan penyerangan itu. Untuk itu, Rasūlullāh s.a.w. keluar dari Madīnah bersama 450 orang pasukan pada tanggal 12 Rabī‘-ul-Awwal. Beliau mengangkat ‘Utsmān bin ‘Affān untuk memimpin Madīnah sebelum berangkat.

Tatkala mereka mendengar bahwa Rasūlullāh s.a.w. sedang dalam perjalanan mereka melarikan diri ke puncak-puncak pegunungan. Pasukan Muslimīn terus melanjutkan perjalanan sampai pada suatu tempat yang bernama Dzā Amarra lalu berkemah di tempat tersebut. Di tempat itu, Rasūlullāh s.a.w. melepas bajunya untuk dikeringkan karena basah oleh air hujan, lalu beristirahat di bawah sebuah pohon yang rindang. Sementara itu, kaum Muslimīn berpencar. Tak disangka ternyata Du‘tsur melihat Rasūlullāh s.a.w. lalu mendatangi Beliau sambil membawa pedangnya hingga ia berdiri di atas kepala Rasūlullāh s.a.w. Lalu ia berkata: “Hai Muḥammad! Siapakah yang akan mencegah dirimu dari tanganku?”

Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Allah!”

Mendengar jawaban itu tiba-tiba Du‘tsur menjadi gemetar ketakutan sehingga pedangnya jatuh dari tangannya. Rasūlullāh s.a.w. segera memungut pedangnya dan berkata: “Sekarang, siapakah yang akan mencegah dirimu dari tanganku?”

Du‘tsur menjawab: “Tak seorang pun.”

Rasūlullāh s.a.w. pun memaafkannya dan akhirnya Du’tsur masuk Islām. Ternyata, Allah telah mengubah hatinya yang semula sangat memusuhi Rasūlullāh s.a.w. dan bahkan mengajak orang-orang yang memeranginya, kini ia menjadi orang yang sangat cinta kepada Rasūlullāh s.a.w., bahkan ia sangat rajin menyeru manusia untuk membantu Rasūlullāh s.a.w. Allah s.w.t. berfirman:

ذلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَ اللهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ

Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-Mā’idah [5]: 54) (533)

Itulah buah dari perlakuan baik dan jauh dari sikap keras dan hati yang kasar. Allah s.w.t. berfirman:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللهِ لِنْتَ لَهُمْ وَ لَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَ اسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَ شَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ

Maka disebabkan dari rahmat Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 159)

Perang Buḥrān (544)

Rasūlullāh s.a.w. mendengar berita bahwa ada segolongan orang dari Bani Salīm hendak menyerang Madīnah. Oleh karena itu, Rasūlullāh s.a.w. berangkat bersama tiga ratus orang untuk menghadang mereka. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 6 Jumād-il-Awwal. Beliau mengangkat ‘Abdullāh bin Ummi Maktūm (555) untuk memimpin Madīnah sebelum berangkat. Namun, ketika Rasūlullāh s.a.w. sampai di Buḥrān, ternyata mereka telah melarikan diri sehingga Rasūlullāh s.a.w. tidak bertemu musuh lalu kembali ke Madīnah.

Sariyyah Zaid bin Ḥāritsah ke al-Qardah

Setelah kaum Quraisy yakin bahwa jalan ke Syām telah tertutupi bagi kafilah dagang mereka, dan mereka tidak mungkin bersabar dengan keadaan seperti itu, karena perdagangan itu menyangkut kehidupan mereka, maka mereka harus mengirimkan kafilah dagang ke Syām melalui ‘Irāq. Kafilah Quraisy ini dikawal oleh segolongan orang Quraisy, di antaranya ialah Abū Sufyān bin Ḥarb, Shafwān bin Umayyah dan Ḥuwaithib bin ‘Abd-il-‘Uzzā.

Kabar tentang mereka itu pun terdengar oleh Rasūlullāh s.a.w., lalu Beliau mengirimkan Zaid bin Ḥāritsah bersama seratus pasukan berkendara untuk menunggu kedatangan mereka. Peristiwa itu terjadi pada bulan Jumādi-l-Ākhir. Pasukan Muslimīn terus berjalan sampai bertemu dengan kafilah Quraisy di suatu mata air yang bernama al-Qardah, terletak di kawasan Najd. Pasukan Muslimīn berhasil merampas sebagian dari barang milik kafilah itu berikut orang-orangnya yang berjalan kaki. Setelah ghanīmah sampai di hadapan Rasūlullāh s.a.w., Beliau mengambil seperlimanya.

Catatan:

  1. 51). HR al-Bukhārī (4037).
  2. 52). Al-Bidāyatu wan-Nihāyah (4/3).
  3. 53). HR. al-Bukhārī (2910), dan Muslim (843).
  4. 54). Zād-ul-Ma‘ād (3/190), As-Sīrat-un-Nabawiyyah, Ibnu Hisyām (2/455).
  5. 55). Rasūl s.a.w. juga menyuruh Ibnu Ummi Maktūm untuk menggantikannya dalam imam shalat di masjid.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *