Pada bulan Rabī‘-ul-Awwal tahun kelima hijriah, Nabi s.a.w. mendengar kabar bahwa ada segolongan orang ‘Arab di Daumat-ul-Jandal yang selalu berbuat aniaya terhadap orang-orang yang melewati daerah mereka, dan mereka mempunyai maksud mendekati kota Madīnah. Maka, Rasūlullāh s.a.w. mempersiapkan pasukan guna memerangi mereka. Beliau s.a.w. berangkat bersama seribu orang shahabat, setelah terlebih dahulu mengangkat Sibā‘ bin ‘Urfuthah al-Ghifārī untuk memimpin Madīnah.
Rasūlullāh s.a.w. membawa mereka berjalan hanya pada malam hari, dan bila siang hari bersembunyi, sampai mendekati posisi mereka. Namun, ketika mereka mendengar berita kedatangan Rasūlullāh s.a.w. bersama pasukannya, mereka pun lari berhamburan. Akhirnya, pasukan kaum Muslimīn menyerang ternak milik mereka dan para gembalanya hingga ada yang terbunuh dan ada pula yang lari. Selanjutnya, kaum Muslimīn memasuki kampung halaman mereka, tetapi tidak menemukan seorang pun di dalamnya. Rasūlullāh s.a.w. mengirimkan pasukan-pasukan khusus untuk mencari mereka, tetapi ternyata tidak ada seorang pun yang mereka jumpai. Beberapa waktu kemudian Rasūlullāh s.a.w. pulang dengan membawa ghanīmah.
Dalam perjalanan pulang itu, Beliau s.a.w. mengadakan perjanjian dengan ‘Uyainah bin Ḥishn al-Fazārī, orang yang oleh Rasūlullāh s.a.w. dijuluki sebagai al-aḥmaq al-muthā‘, si Tolol yang ditaati, karena ia selalu diikuti oleh seribu orang gadis. Kemudian Rasūlullāh s.a.w. memberikan kepadanya tanah untuk mengembalakan ternaknya, dikarenakan tanah miliknya mengalami kekeringan. Tanah tersebut letaknya sejauh 36 mil di Madīnah.
Dalam bulan Sya‘bān tahun itu juga, ada berita yang sampai kepada Rasūlullāh s.a.w. bahwa al-Ḥārits bin Abī Dhirār, pemimpin Bani Mushthaliq yang pernah membantu orang Quraisy memerangi kaum Muslimīn di Uhud, telah berhasil mengumpulkan orang-orangnya untuk memerangi Rasūlullāh s.a.w. Dengan sigap, Rasūlullāh s.a.w. segera mengumpulkan pasukan yang cukup banyak guna memerangi al-Ḥārits bin Abī Dhirār dan orang-orangnya. Sebelum berangkat, Beliau mengangkat Zaid bin Ḥāritsah untuk memimpin Madīnah.
Pada saat itu, Rasūlullāh s.a.w. membawa dua orang istrinya saja, sedangkan istri-istri yang lain tetap berada di Madīnah. Ikut pula pada saat itu segolongan orang munāfiq, yaitu mereka yang sama sekali belum pernah keluar untuk berperang bersama Rasūlullāh s.a.w. Kali ini mereka mau ikut dengan harapan akan memperoleh keuntungan duniawi, yaitu ghanīmah.
Di tengah perjalanan, Rasūlullāh s.a.w. berhasil menangkap seseorang yang ternyata mata-mata kaum Bani Mushthaliq. Lalu orang itu diinterogasi tentang keadaan musuh, tetapi dia tidak mau menjawab. Akhirnya, Rasūlullāh s.a.w. memerintahkan agar ia dihukum mati. Ketika berita kedatangan kaum Muslimīn terdengar oleh al-Ḥārits, pemimpin pasukan kaum Bani Mushthaliq, dengan maksud untuk memeranginya, dan kaum Muslimīn telah berhasil menangkap dan membunuh mata-mata mereka, al-Ḥārits merasa takut. Demikian pula bala tentaranya sehingga sebagian dari mereka memisahkan diri dan tidak mau ikut berperang.
Ketika kaum Muslimīn sampai di Muraisī‘ (802), mereka berbaris berhadap-hadapan dengan musuh. Setelah Rasūlullāh s.a.w. menawarkan mereka untuk masuk Islām dan mereka menolak, maka kedua kubu saling melepas anak panah selama beberapa saat. Setelah itu, kaum Muslimīn menyerang mereka secara serentak sehingga tidak memberikan kesempatan bagi seorang pun dari musuh-musuhnya untuk melarikan diri. Kaum Muslimīn berhasil membunuh sepuluh orang dari musuh-musuhnya, kemudian menawan sisanya yang terdiri dari kaum wanita dan anak-anak, dan menggiring semua unta dan kambing milik mereka. Jumlah hewan yang berhasil digiring oleh kaum Muslimīn adalah dua ribu ekor unta dan lima ribu ekor kambing. Untuk menghitung semua ternak itu, Rasūlullāh s.a.w. memerintahkan maulā (mantan budak) Beliau, yaitu Syuqrān. Sementara orang yang ditugaskan untuk menghitung jumlah tawanan ialah Buraidah.
Di antara tawanan kaum wanita terdapat Barrah binti al-Ḥārits, putri pemimpin Bani Musthaliq, dan berhasil ditawan dari kaumnya sebanyak dua ratus wanita dan dibagi-bagikan kepada kaum Muslimīn. Di sini, tampak kebijaksanaan politik dan sifat kedermawanan Rasūlullāh s.a.w. yang luar biasa. Perlu diketahui, Bani Musthaliq termasuk kabilah bangsa ‘Arab yang terpandang sehingga penawaran kaum wanita mereka dengan keadaan seperti itu merupakan perkara yang amat sulit bagi mereka. Oleh sebab itu, Rasūlullāh s.a.w. bermaksud agar kaum Muslimīn mau membebaskan tawanan kaum wanita secara sukarela. Untuk itu, Rasūlullāh s.a.w. menikahi Barrah binti al-Ḥārits yang kemudian diganti namanya menjadi Juwairiyah. Pada saat itu, kaum Muslimīn berkata: “Saudara-saudara ipar Rasūlullāh s.a.w. tidak patut menjadi tawanan kita.” Maka, dengan sukarela mereka memerdekakan semua tawanan wanita yang berada di tangan mereka tanpa tebusan apa pun. Menurut ‘Ā’isyah r.a., Juwairiyah adalah wanita yang paling dipercaya oleh kaumnya. (813)
Kedermawanan dan perlakuan yang penuh hormat itu ternyata menyebabkan Bani Mushthaliq masuk Islām, tanpa terkecuali. Sekarang mereka menjadi kawan kaum Muslimīn yang sebelumnya adalah musuh kaum Muslimīn.
Dalam peperangan (Bani Mushthaliq) ini, terjadi dua peristiwa yang amat langka di kalangan kaum Muslimīn. Seandainya dua peristiwa itu tidak diiringi dengan sikap bijak dari Rasūlullāh s.a.w. niscaya menyebabkan perpecahan bagi kaum Muslimīn. Dua peristiwa tersebut adalah:
Pertama: ada pekerja ‘Umar bin al-Khaththāb yang bertengkar dengan seorang sekutu kabilah Khazraj. Pekerja ‘Umar itu memukul sekutu Khazraj hingga terluka berdarah. Lalu ia berteriak meminta tolong kepada kaum Khazraj. Pekerja ‘Umar itu pun juga meminta tolong kepada kaum Muhājirīn hingga ketegangan meliputi kedua kubu sehingga nyaris terjadi pertempuran di antara mereka, seandainya Rasūlullāh s.a.w. tidak melerai mereka. Beliau berkata kepada mereka: “Mengapa seruan jahiliah dipakai lagi?”
Seruan jahiliah ialah perkataan yang diucapkan oleh seseorang, sewaktu meminta pertolongan seperti: “Hai fulan! Tolong bantu saya.”
Lalu beliau s.a.w. diberitahu duduk perkaranya, lalu bersabda: “Tinggalkan kata-kata itu karena sesungguhnya kata-kata itu busuk.”
Rasūlullāh s.a.w. menasihati orang yang terpukul sehingga ia tidak menuntut haknya. Dengan demikian, redalah fitnah (perselisihan) tersebut.
Ketika berita kejadian tersebut terdengar oleh ‘Abdullāh bin Ubay, ia marah sekali. Pada saat itu, di hadapannya terdapat sejumlah orang Khazraj. Lalu ia berkata: “Aku belum pernah mendapatkan penghinaan seperti hari ini. Kenapa mereka berani berbuat kurang ajar seperti itu? Tantanglah kami oleh kalian di tempat kami untuk berperang. Demi Allah, perumpamaan antara kami dan Muhājirīn tiada lain seperti apa yang telah dikatakan oleh orang-orang dahulu: “Gemukkanlah anjingmu, niscaya ia akan memakanmu.” Ingatlah, demi Allah, sesungguhnya, jika kita telah kembali ke Madīnah, niscaya orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah daripadanya.”
Kemudian ‘Abdullāh bin Ubay melayangkan pandangannya kepada orang-orang Khazraj yang sedang bersamanya pada saat itu. Lalu ia berkata untuk membakar amarah mereka: “Itulah balasan mereka kepada kalian, padahal kalian telah membagikan harta kalian sendiri bersama mereka. Ingatlah, demi Allah, seandainya kalian menggenggamkan tangan dengan tidak memberikan apa yang kalian miliki kepada mereka, niscaya mereka akan meninggalkan negeri kalian. Kemudian ternyata mereka masih kurang puas dengan apa yang telah kalian lakukan itu, lalu mereka menjadikan kalian sebagai sasaran maut untuk melindungi diri Muḥammad, sehingga kalian membuat anak-anak kalian menjadi yatim dan jumlah kalian menjadi sedikit, sedangkan jumlah mereka semakin banyak. Janganlah kalian membelanjakan harta kalian untuk mereka, sehingga orang-orang yang bersama Muḥammad bubar meninggalkannya.”
Pada saat itu, di tempat tersebut ada seorang pemuda yang Islāmnya kuat, namanya Zaid bin Arqam. Ia segera memberitakan hal itu kepada Rasūlullāh s.a.w. Ketika mendengar berita itu, raut muka Beliau s.a.w. berubah, lalu berkata: “Hai anak muda, apakah engkau membencinya sehingga engkau mengatakan apa yang telah engkau katakan tadi mengenainya?”
Zaid bin Arqam menjawab: “Demi Allah, wahai Rasūlullāh, aku benar-benar telah mendengarnya secara langsung.”
Rasūlullāh s.a.w. berkata: “Barangkali saja engkau salah dengar,”
Setelah itu, shahabat ‘Umar r.a. meminta idzin kepada Rasūlullāh s.a.w. untuk membunuh ‘Abdullāh bin Ubay, atau dia memberikan idzin kepadanya untuk memerintahkan orang lain agar membunuhnya. Namun, Rasūlullāh s.a.w. melarangnya. Lalu Beliau berkata: “Hai ‘Umar! Bagaimana nanti jika orang-orang mengatakan bahwa Muḥammad telah membunuh teman-temannya sendiri.” Kemudian Rasūlullāh s.a.w. memerintahkan semua orang untuk pulang, padahal saat itu bukan waktunya pulang karena panas matahari sangat terik. Rasūlullāh s.a.w. sengaja memerintahkan demikian supaya perhatian mereka teralihkan dan tidak membicarakan lagi masalah tersebut.
Usaid bin Ḥudhair menanyakan kepada Rasūlullāh s.a.w. tentang penyebab keberangkatannya pada saat yang ini. Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Tidakkah engkau mendengar apa yang telah dikatakan oleh ‘Abdullāh bin Ubay tadi? Ia menduga bahwa bila ia kembali ke Madīnah, niscaya orang-orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah daripadanya.”
Usaid bin Ḥudhair berkata: “Wahai Rasūlullāh, demi Allah, engkaulah yang akan mengusirnya jika engkau suka; dan dia, demi Allah, adalah orang yang lemah, sedangkan engkau adalah orang yang menang.”
Rasūlullāh s.a.w. membawa orang-orang untuk kembali dengan langkah perlahan-lahan hingga mereka kepayahan karena sengatan terik matahari. Setelah melihat mereka telah benar-benar kelelahan, Beliau s.a.w. mengajak mereka beristirahat, dan begitu mereka menyentuh tanah yang teduh, mereka langsung tertidur.
Selanjutnya, ada beberapa orang dari kalangan shahabat Anshār yang pergi menemui ‘Abdullāh bin Ubay dan berbicara kepadanya supaya ia meminta maaf kepada Rasūlullāh s.a.w. Namun, ia memalingkan muka dan bersikap sombong, tidak mau meminta maaf. Pada saat itu, turunlah kepada Rasūlullāh s.a.w. surah al-Munāfiqūn yang isinya membuka kedok ‘Abdullāh bin Ubay dan teman-temannya serta membenarkan apa yang telah diucapkan oleh shahabat Zaid bin Arqam.
Ketika berita tersebut sampai ke telinga ‘Abdullāh bin ‘Abdullāh bin Ubay ia segera meminta idzin kepada Rasūlullāh s.a.w. untuk membunuh ayahnya. Ia melakukan demikian karena khawatir bila Rasūlullāh s.a.w. menugaskan orang lain untuk melakukan hal tersebut maka akibatnya ia akan mendendam kepada orang itu. Namun, ternyata Rasūlullāh s.a.w. justru memerintahkan kepadanya untuk berbuat baik kepada ayahnya, dan Rasūlullāh s.a.w. tidak memberikan hukuman terhadap ayahnya itu. (824)