Pada bulan Rabī‘-ul-Awwal, tahun (keenam hijriah) ini juga, Rasūlullāh s.a.w. mendengar kabar bahwa orang-orang yang mendiami daerah Dzū-l-Qashshah (1031) bermaksud menyerang ternak milik kaum Muslimīn di Haifā’. (1042) Lalu Rasūlullāh s.a.w. mengutus Muḥammad bin Maslamah bersama sepuluh pasukan kaum Muslimīn untuk memberikan pelajaran kepada mereka. Kaum Muslimīn sampai di tempat mereka malam hari, tetapi kaum musyrikīn yang telah mengetahui kedatangan mereka, memasang perangkap buat kaum Muslimīn. Ketika kaum Muslimīn tidur untuk beristirahat, tanpa sepengetahuan mereka, tiba-tiba banyak anak panah musuh telah menghujani mereka. Kaum Muslimīn berlompatan menuju senjata masing-masing. Namun, musuh telah mencegat mereka terlebih dahulu. Akhirnya, musuh dapat membunuh mereka semua, kecuali Muḥammad bin Maslamah sendiri. Musuh mengira bahwa ia telah mati bersama teman-temannya. Ia ditinggalkan begitu saja, lalu kembali seorang diri dan mengabarkan semua peristiwa yang dialaminya.
Selanjutnya, Rasūlullāh s.a.w. mengirimkan shahabat Abū ‘Ubaidah ‘Āmir bin al-Jarrāḥ untuk membalas perlakuan mereka. Ketika pasukan kaum Muslimīn sampai di tempat mereka, ternyata mereka telah melarikan diri meninggalkan kampung halaman mereka. Akhirnya kaum Muslimīn menggiring semua ternak mereka dan pulang ke Madīnah.
Bani Sulaim adalah orang-orang yang tergabung dengan golongan yang bersekutu dalam Perang Khandaq. Mereka selalu mengganggu kaum Muslimīn yang mengadakan perjalanan melewati daerah mereka. Rasūlullāh s.a.w. mengirimkan shahabat Zaid bin Ḥāritsah bersama pasukan kaum Muslimīn untuk menyerang mereka di al-Jamūm. Hal ini terjadi pada bulan Rabī‘-ul-Ākhir tahun keenam hijriah.
Ketika Zaid bersama pasukannya sampai di tempat mereka, ternyata ia tidak menemukan seorang pun karena mereka sudah lari meninggalkannya. Di tempat tersebut, ia dan bala tentaranya hanya menemukan seorang wanita dari Muzainah. Kemudian, wanita itu menunjukkan kepada kaum Muslimīn tempat perkemahan Bani Sulaim. Akhirnya, di tempat mereka kaum Muslimīn memperoleh banyak ternak unta dan domba. Mereka pun menemukan pula kaum lelaki. Semuanya ditawan termasuk suami wanita tersebut yang bersama mereka. Kemudian kaum Muslimīn kembali ke Madīnah. Sesampainya di Madīnah, mereka dihadapkan kepada Rasūlullāh s.a.w. dan Beliau membebaskan wanita tersebut bersama suaminya. (1053)
Rasūlullāh s.a.w. mendapat informasi bahwa kafilah dagang milik kaum Quraisy sedang dalam perjalanan pulang ke Makkah. Rasūlullāh s.a.w. mengirimkan shahabat Zaid bin Ḥāritsah bersama 170 pasukan berkendara guna mencegat mereka. Sariyyah kaum Muslimīn tersebut berhasil mengambil semua yang dibawa oleh kafilah tersebut, sedangkan para pembawanya ditawan, termasuk Abū-l-‘Āsh bin ar-Rabī‘, suami dari putri Rasūlullāh s.a.w., Zainab. Abū-l-‘Āsh bin ar-Rabī‘ termasuk orang yang terpandang dalam hal berniaga, banyak harta dan dipercaya. Ia meminta perlindungan kepada istrinya, dan Zainab mau memberikan perlindungan kepadanya. Kemudian Zainab meminta dukungan dari kelompok Quraisy yang telah masuk Islām. Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Kaum Muslimīn itu bagaikan satu tangan. Orang-orang yang paling bawah dari kaum Muslimīn dapat memberikan perlindungan kepada mereka (yang ditawan). Sekarang kami mau membebaskan orang-orang yang engkau lindungi.” (1064)
Sikap Rasūlullāh s.a.w. ini merupakan gambaran terbaik tentang prinsip persamaan yang paling kuat di kalangan Muslimīn. Kemudian Rasūlullāh s.a.w. mengembalikan semua harta yang dibawanya. Selanjutnya, Abū-l-‘Āsh bin ar-Rabī‘ kembali ke Makkah dengan selamat, lengkap dengan hasil perniagaannya. Sesampainya di Makkah, ia mengembalikan setiap hak kepada pemiliknya. Kemudian ia kembali ke Madīnah dalam keadaan Muslim. Lalu Rasūlullāh s.a.w. mengembalikan istrinya.
Pada bulan Jumād-il-Ākhir tahun keenam hijriah, Rasūlullāh s.a.w. mengirim shahabat Zaid bin Ḥāritsah bersama 15 orang pasukan untuk menyerang Bani Tsa‘labah. Mereka adalah orang-orang yang telah membunuh sahabat-sahabat Muḥammad bin Maslamah ketika mereka tinggal di ath-Tharf. (1075) Sariyyah pun segera berangkat untuk menyerang mereka. Ketika musuh melihat mereka, musuh menduga bahwa mereka adalah regu pengintai untuk pasukan Rasūlullāh s.a.w. Musuh pun ketakutan kemudian lari dan meninggalkan ternak unta berikut domba yang mereka miliki. Akhirnya, kaum Muslimīn menggiring semua ternak mereka pulang ke Madīnah setelah empat hari.
Pada bulan Rajab, Rasūlullāh s.a.w. mengirim Zaid bin Ḥāritsah untuk menyerang Bani Fazārah, karena mereka pernah mencegat kafilah Zaid bin Ḥāritsah ketika pulang membawa barang dagangannya dari negeri Syām. Mereka merampas semua yang dibawa Zaid dan bahkan mereka hampir saja membunuhnya.
Sesampainya di Madīnah, Zaid melaporkan semua kejadian tersebut kepada Rasūlullāh s.a.w. Lalu Beliau segera mengirim Zaid bersama beberapa orang untuk membalas perlakuan Bani Fazārah yang bermukim di Wādī-l-Qurā (1086). Zaid berangkat hingga sampai ke tempat musuh lalu menyerbu dan mengepung serta membunuh banyak musuh. Selain itu, sariyyah Zaid ini menawan seorang wanita dari kalangan pembesar mereka. Sesampainya di Madīnah, tawanan itu diminta oleh Rasūlullāh s.a.w. untuk dijadikan pertukaran tawanan (Muslim) yang ditawan di Makkah.
Pada bulan Sya‘bān tahun keenam Hijriah, Rasūlullāh s.a.w. mengutus shahabat ‘Abd-ur-Raḥmān bin ‘Auf bersama tujuh ratus shahabat untuk memerangi Bani Kalb di Daumat-ul-Jandal (1097). Sebelum pasukan diberangkatkan, Rasūlullāh s.a.w. berpesan kepada mereka: “Berperanglah kalian semua di jalan Allah. Bunuhlah siapa yang kafir kepada Allah, tetapi janganlah kalian mencuri (barang ghanīmah), jangan berbuat khianat, jangan membunuh dengan cara mencincang, dan jangan membunuh anak-anak. Itu merupakan janji Allah dan akhlāq nabi-Nya di antara kalian.” (1108)
Kemudian Rasūlullāh s.a.w. menyerahkan panji peperangan kepada shahabat ‘Abd-ur-Raḥmān bin ‘Auf. Beliau pun berangkat dengan berkah dari Allah hingga sampai di tempat musuh. Kemudian kaum Muslimīn menyeru mereka selama tiga hari untuk masuk Islām. Pada hari keempat, pemimpin mereka yang bernama al-Asbagh bin ‘Amr masuk Islam. Turut masuk Islām bersamanya seorang Nashrānī bersama segolongan kaumnya. Sementara yang lainnya, dengan sukarela memilih membayar jizyah. Selanjutnya, shahabat ‘Abd-ur-Raḥmān bin ‘Auf menikahi anak perempuan pemimpin mereka (1119) sesuai dengan perintah Rasūlullāh s.a.w. kepadanya. Hal ini merupakan sarana yang paling mengena demi memperkuat hubungan di antara para pemimpin hingga terjalinlah hubungan kekeluargaan di antara mereka, di mana masing-masing memperlihatkan satu sama lainnya. Yang demikian itu merupakan cara yang terbaik dalam menjalin perdamaian dan rasa kasih sayang.