Tahun Keempat Hijriah – Nurul Yaqin

NŪR-UL-YAQĪN
 
Judul Asli:
Nūr-ul-Yaqīn fī Sīrati Sayyid-il-Mursalīn
Penulis: Muhammad al-Khudhari Bek

 
Alih Bahasa: Muhammad Faisal Fadhil
Penerbit: UMMUL QURA
 
(Diketik oleh: Zulfa)

Rangkaian Pos: Ghazawat & Saraya - Nurul Yaqin

PERISTIWA-PERISTIWA PADA TAHUN KEEMPAT HIJRIAH

Sariyyah Abū Salamah ke Qathn (691)

Pada permulaan tahun keempat, Rasūlullāh s.a.w. mendengar berita bahwa Thulaiḥah dan Salamah, keduanya anak Khuwailid dari kabilah al-Asad, mengajak kaumnya untuk memerangi Rasūlullāh s.a.w. Lalu Rasūlullāh s.a.w. memanggil Abū Salamah bin ‘Abd-il-Asad dari kabilah Makhzūm dan mengangkatnya sebagai pemegang panji peperangan, lalu berkata: “Berjalanlah sampai di daerah Bani Asad bin Khuzaimah, lalu seranglah mereka.”

Beliau s.a.w. juga mengirimkan beberapa orang bersama Abū Salamah. Abū Salamah berangkat pada bulan Muḥarram hingga sampai di perkemahan mereka (702), lalu menyerang mereka. Namun, ternyata mereka telah meninggalkan kampung itu. Akhirnya, Abū Salamah hanya menemukan unta dan kambing mereka saja. Maka semuanya diambil oleh Abū Salamah. Dengan demikian, Abū Salamah tidak mengalami peperangan dan pulang setelah sepuluh hari sejak hari keberangkatannya.

Pada permulaan tahun ini juga, Rasūlullāh s.a.w. mendengar berita bahwa Sufyān bin Khālid bin Nubaiḥ al-Hudzalī yang tinggal di daerah ‘Uranah (713) telah mengumpulkan orang-orang untuk memerangi Rasūlullāh s.a.w. Maka, Beliau s.a.w. mengirimkan ‘Abdullāh bin Unais al-Juhanī sendirian untuk membunuhnya. Namun, sebelum itu, ‘Abdullāh bin Unais meminta idzin kepada Rasūlullāh s.a.w. untuk menyampaikan cerita yang dibuat-buat supaya ia dapat meringkusnya. Rasūlullāh s.a.w. memberikan idzin untuk melakukan hal tersebut seraya berpesan kepadanya: “Mengakulah bahwa engkau berasal dari Kabilah Khuzā’ah.” Lalu ‘Abdullāh bin Unais keluar dari Madīnah pada tanggal 5 Muḥarram.

Setelah bertemu, Sufyān bin Khālid bertanya kepada ‘Abdullāh: “Dari manakah engkau?”

‘Abdullāh bin Unais menjawab: “Dari Kabilah Khuzā‘ah. Aku mendengar berita bahwa engkau telah mengumpulkan orang-orang untuk memerangi Muḥammad. Maka aku datang ke sini untuk bergabung denganmu.”

Sufyān bin Khālid berkata: “Memang betul, aku telah mengumpulkan orang-orangku untuk memeranginya.”

Selanjutnya, ‘Abdullāh bin Unais berjalan bersamanya sambil berbincang-bincang. Ketika itu Sufyān berbicara ramah sekali. Setelah sampai di kemahnya, semua orang yang berkumpul di situ bubar, dan kini yang ada di dalam hanya Sufyān dan ‘Abdullāh. Keduanya berbincang-bincang hingga Sufyān tertidur, lalu ‘Abdullāh bin Unais bangkit dan langsung membunuhnya. Setelah itu, ‘Abdullāh bin Unais pergi tanpa permisi hingga sampai di Madīnah, dan ternyata tidak ada orang yang mengejarnya. Dengan demikian, Allah s.w.t. telah membuat kaum Mu’minīn tidak perlu repot-repot melakukan peperangan dengan Sufyān.

Sariyyah Āshim bin Tsābit al-Anshārī

Pada bulan Shafar, Rasūlullāh s.a.w. mengirimkan sepuluh shahabat untuk memata-matai kaum Quraisy. Sepuluh shahabat itu berangkat bersama dengan rombongan ‘Adhal dan al-Qārah yang datang kepada Rasūlullāh s.a.w. untuk meminta (diutus) seseorang guna mengajarkan kepada mereka agama Islām.

Rasūlullāh s.a.w. mengangkat ‘Āshim bin Tsābit al-Anshārī menjadi pemimpinnya. Mereka pun berangkat dan berjalan pada malam hari, sedangkan pada siang hari mereka berhenti bersembunyi. Sampai ketika tiba di suatu tempat bernama ar-Rajī‘, (724) ternyata rombongan Adhl dan al-Qārah berkhianat. Mereka menunjukkan keberadaan utusan Rasūlullāh s.a.w. kepada Hudzail, kaumnya Sufyān bin Khālid al-Hadzalī yang telah dibunuh oleh ‘Abdullāh bin Unais. Maka kaum Sufyān itu berangkat bersama sekitar dua ratus pasukan pemanah mengikuti jejak mereka, hingga mereka berada dekat dengan rombongan sariyyah yang dikirim oleh Rasūlullāh s.a.w.

Tatkala rombongan sariyyah merasa dikejar oleh kaum Sufyān maka mereka berlindung ke salah satu bukit yang ada di tempat tersebut. Musuh-musuh mereka berkata: “Turunlah kalian, kami berjanji tidak akan membunuh kalian.” Lalu turunlah tiga yang tertipu oleh janji mereka, sedangkan sisanya tetap melawan mereka. Bersama orang-orang yang tidak rela turun dan berada di bawah perlindungan kaum Musyirikīn itu ada ‘Āshim bin Tsābit.

Saat ketiga orang yang turun tersebut merasakan adanya pengkhianatan maka salah seorang dari mereka menolak, lalu mereka membunuhnya. Sementara dua orang lainnya (735) dijual di Makkah kepada orang-orang yang mempunyai dendam terhadap kaum Muslimīn, dan di sana keduanya dibunuh. Salah seorang dari keduanya, yaitu Khubaib bin ‘Adī melantunkan syair ketika mereka hendak membunuhnya:

Aku tidak peduli bila dibunuh dalam keadaan Muslim
Di mana pun, di jalan Allah matiku
Itu semua untuk Allah, jika Dia berkehendak
Dia memberkahi setiap anggota tubuhku yang terpotong-potong(746)

Sariyyah al-Mundzir bin ‘Amru Beserta Para Qurrā’ ke Bi’ru Ma‘ūnah

Pada bulan Safar, datanglah seorang utusan kepada Rasūlullāh s.a.w. bernama Abū ‘Āmir bin Mālik Mulā‘ib al-Asinnah, salah seorang pimpinan Bani ‘Āmir. Rasūlullāh s.a.w. mengajaknya masuk agama Islām, tetapi ia tidak mau dan juga tidak menolaknya. Dia hanya mengatakan: “Sesungguhnya aku melihat perkaramu itu baik lagi mulia. Alangkah baiknya seandainya engkau mengutus beberapa orang shahabatmu bersamaku ke penduduk Najd untuk menyeru penduduk Najd memeluk agamamu. Aku berharap mudah-mudahan mereka mau menerimanya.”

Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Namun, aku khawatir dengan nasib mereka saat menghadapi orang-orang Najd.”

Abū ‘Āmir menjawab: “Akulah yang akan menjamin keselamatan mereka.”

Setelah mendengar kesediaan Abū ‘Āmir, Rasūlullāh s.a.w. mengutus bersama rombongan Abū ‘Āmir sebanyak tujuh puluh orang dari para shahabat di bawah pimpinan al-Mundzir bin ‘Amr. Rombongan utusan Rasūlullāh s.a.w. itu dinamakan para ahli qurrā’ karena mereka adalah orang-orang yang banyak hafal al-Qur’ān. Mereka berjalan sampai di Bi’ru Ma‘ūnah. (757) Lalu mereka mengutus Ḥarām bin Milḥān untuk menyampaikan surat kepada ‘Āmir bin ath-Thufail, pemimpin Bani ‘Āmir. Ketika Ḥarām sampai kepadanya, ‘Āmir bin ath-Thufail tidak membaca surat tersebut, bahkan membunuh Ḥarām bin Milhān. Lalu ‘Āmir bin ath-Thufail meminta bantuan kepada teman-temannya dari kalangan Bani ‘Āmir untuk menghadapi utusan Rasūlullāh s.a.w. yang lain, tetapi mereka tidak mau melanggar jaminan yang telah diberikan oleh Abū ‘Āmir bin Mālik.

‘Āmir bin ath-Thufail tidak putus asa; ia pun meminta bantuan untuk menyerang mereka kepada kabilah Bani Salīm, yaitu orang-orang Dzakwān dan ‘Ashiyyah. Ternyata, mereka mengabulkan permintaannya. Mereka berangkat bersamaan. Ketika telah berhadapan dengan para ahli qurrā’, mereka mulai mengepungnya dari segala penjuru. Akhirnya, para ahli qurrā’ terbunuh setelah melakukan perlawanan sengit. Perlawanan yang mereka lakukan tidak mempunyai arti apa-apa mengingat jumlah mereka sedikit dan musuh terlalu banyak. Hampir tidak seorang pun di antara mereka yang selamat selain Ka‘ab bin Zaid yang jatuh terluka di antara orang-orang yang gugur sehingga mereka mengira ia sudah mati. Orang yang selamat lainnya ialah ‘Amr bin Umayyah yang ditawan oleh mereka.

Berita tentang nasib para ahli qurrā’ ini sampai kepada Rasūlullāh s.a.w., lalu Beliau berpidato kepada para shahabat. Di antara hal yang Beliau sampaikan adalah:

Sesungguhnya saudara-saudara kalian telah bertempur melawan kaum musyrikīn, dan kaum musyrikīn telah membunuh mereka. Sungguh, mereka telah berdoa: ‘Ya Rabb kami, sampaikanlah kepada kaum kami bahwa kami telah bertemu dengan Rabb kami (meninggal dunia), dan kami telah rela kepada-Nya dan Dia telah rela terhadap kami’.” (768)

Berita tentang sariyyah (al-Mundzir bin ‘Āmr) ini dan sariyyah ar-Rajī‘ (Sariyyah ‘Āshim bin Tsābit al-Anshārī) sampai kepada Rasūlullāh s.a.w. dalam satu hari yang sama. Sehingga Rasūlullāh s.a.w. sangat sedih, lalu Beliau mendoakan kebinasaan bagi orang-orang yang mengkhianati mereka, selama sebulan penuh di dalam shalat.

Perang Bani Nadhīr (779)

Ya Allah, betapa buruknya akibat sikap sembrono itu. Pada saat itu, keadaan umat sangat tenang, damai, dan aman, sampai ada beberapa orang dari pemimpinnya melakukan pengkhianatan. Mereka menduga akan meraih kemenangan dengan perbuatannya itu, tetapi justru hal itu membawa malapeta bagi mereka sendiri dan terusir dari tempat tinggal mereka. Itulah yang terjadi pada kaum Yahudi Bani Nadhīr, sekutu kabilah Khazraj, yang tinggal di sebelah Madīnah, bertetangga dengan kaum Muslimīn. Di antara mereka dan kaum Muslimīn terdapat perjanjian, yaitu masing-masing pihak terikat dengan perjanjian untuk melindungi pihak yang lain. Namun, Bani Nadhīr tidak memenuhi perjanjian ini karena terdorong oleh kedengkian dan permusuhan yang telah mengakar di hati mereka terhadap kaum Muslimīn.

Ketika Rasūlullāh s.a.w. bersama beberapa shahabat berada di tempat Bani Nadhīr, ada sekelompok orang Bani Nadhīr bersekongkol hendak membunuh Beliau. Caranya adalah seorang dari mereka mengambil batu besar kemudian menjatuhkannya kepada Rasūlullāh s.a.w. dari tempat yang tinggi. Namun, Rasūlullāh s.a.w. telah mengetahui rencana busuk mereka itu lalu segera meninggalkan tempat tersebut dan diikuti oleh para shahabatnya. Kemudian Rasūlullāh s.a.w. mengirimkan Muḥammad bin Maslamah untuk mengatakan kepada mereka: “Keluarlah kalian dari negeriku ini. Kalian benar-benar telah bertekad untuk berbuat khianat.” Ketegasan memang diperlukan, jangan pernah main-main dengan orang yang terkenal suka berkhianat.

Ketika Bani Nadhīr berkemas-kemas hendak pergi, datanglah utusan kawan-kawan mereka dari kaum munāfiqīn mengatakan kepada mereka: “Janganlah kalian keluar dari tempat tinggal kalian karena kami telah siap membantu kalian.” Kisah tentang mereka itu disebutkan dalam Firman Allah berikut ini:

Sesungguhnya jika kamu diusir niscaya kami pun akan keluar bersamamu; dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapa pun untuk (menyusahkan) kamu, dan jika kamu diperangi pasti kami akan membantu kamu. Dan Allah menyaksikan bahwa sesunguhnya mereka benar-benar pendusta. Sesungguhnya jika mereka diusir, orang-orang munāfiq itu tidak akan keluar bersama mereka, dan sesungguhnya jika mereka diperangi, niscaya mereka tidak akan menolongnya; sesungguhnya jika mereka menolongnya, niscaya mereka akan berpaling lari ke belakang; kemudian mereka tidak akan mendapatkan pertolongan.” (al-Ḥasyr [59]: 11-12)

Rupanya, kaum Yahūdī ini tergiur oleh janji mereka sehingga dengan sengaja mereka memperlambat keberangkatannya. Sementara itu, Rasūlullāh s.a.w. memerintahkan untuk bersiap memerangi mereka. Ketika orang-orang sudah berkumpul, Rasūlullāh s.a.w. keluar bersama mereka setelah mengangkat ‘Abdullāh bin Ummi Maktūm untuk memimpin di Madīnah. Panji peperangan diberikan Rasūlullāh s.a.w. kepada shahabat ‘Alī r.a.

Bani Nadhīr hanya berlindung di dalam benteng mereka dengan dugaan bahwa benteng itu akan dapat melindungi mereka dari Allah s.w.t. Rasūlullāh s.a.w. mengepung benteng tempat mereka berlindung selama enam malam dan memerintahkan agar pohon-pohon kurma mereka ditebang supaya mereka lebih cepat menyerah. Allah menjatuhkan perasaan takut yang amat sangat ke dalam hati mereka. Ternyata, mereka tidak mendapat bantuan apa pun dari ‘Abdullāh bin Ubay (pemimpin kaum munāfiqīn), bahkan ia menelantarkan mereka sebagaimana sebelumnya ia menelantarkan Bani Qainuqā‘.

Setelah melihat kenyataan ini, mereka meminta kepada Rasūlullāh s.a.w. supaya membiarkan mereka meninggalkan tempat itu, agar darah mereka dilindungi saat keluar nanti, dan diperbolehkan membawa harta benda sebatas yang bisa dimuat unta mereka, kecuali senjata. Rasūlullāh s.a.w. menyetujui usul mereka itu. Kemudian, sebelum meninggalkan kampung halaman, mereka merusak rumah-rumah tempat tinggal mereka dengan tangan mereka sendiri dengan maksud supaya kaum Muslimīn tidak bisa memanfaatkannya.

Setelah mereka meninggalkan tempat tersebut, sebagian dari mereka ada yang tinggal di tanah Khaibar, termasuk pemimpin mereka yang bernama Ḥuyaiy bin Akhthab dan Sallām bin ‘Abd-il-Ḥuqaiq. Di antara mereka ada yang meneruskan perjalanannya ke Adzri’at yang terletak di negeri Syām. Ada pula yang masuk Islām sebanyak dua orang, yaitu Yāmīn bin ‘Āmr dan Abū Sa‘īd bin Wahb.

Kali ini, Rasūlullāh s.a.w. tidak mengambil seperlima dari apa yang telah diambil dari Bani Nadhīr karena itu adalah harta fai’ yang diambil dari musuh tanpa perlawanan sedikit pun. Harta seperti itu diperuntukkan untuk perbekalan perang, dan dari harta itu, Rasūl diperbolehkan memberikannya kepada karib kerabatnya, anak-anak yatim, kaum fakir-miskin, dan ibnu-sabīl, seperti yang dijelaskan oleh Allah s.w.t. dalam firman-Nya:

Apa saja harta rampasan (fai’) yang diberikan Allah kepada Rasūl-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasūl, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS. al-Ḥasyr []: 7)

Rasūlullāh s.a.w. memberikan harta fai’ ini kepada kaum fakir miskin Muhājirīn, yaitu mereka yang diusir dari tempat tinggal mereka dan harta benda milik mereka. Lalu para shahabat Muhājirīn yang mendapat bagian mengembalikan kepada saudara-saudara mereka dari kaum Anshār, apa-apa yang pernah mereka ambil sewaktu hijrah dari para shahabat Anshār. Rasūlullāh s.a.w. sendiri mengambil sebidang lahan, lalu disimpan penghasilannya untuk makanan pokok yang cukup bagi keluarganya selama satu tahun.

Perang Dzāt-ur-Riqā’

Pada bulan Rabī‘-ul-Ākhir, Rasūlullāh s.a.w. menerima berita bahwa kabilah-kabilah Najd telah bersiap-siap untuk memeranginya. Mereka terdiri atas Bani Muḥārib dan Bani Tsa‘labah. Maka, Rasūlullāh s.a.w. bersiap-siap untuk menghadapi mereka lalu berangkat dengan membawa tujuh ratus orang pasukan. Sebelum berangkat, Beliau mengangkat ‘Utsmān bin ‘Affān untuk memimpin Madīnah. Rasūlullāh s.a.w. dan balatentaranya terus berjalan menuju wilayah mereka. Namun, ketika sampai di sana, ternyata Nabi s.a.w. tidak mendapati seorang pun selain beberapa kaum wanita, lalu mereka ditangkap. Kabar mengenai hal ini sampai juga ke telinga kaum lelakinya, dan mereka ketakutan lalu berpencar ke puncak-puncak bukit.

Kemudian ada sekelompok orang dari mereka berkumpul untuk berperang. Dua pasukan pun saling mendekat dan saling menakuti satu sama lain. Saat tiba waktu shalat ‘Ashar dan Rasūlullāh s.a.w. khawatir kalau musuh menyerang ketika (pasukan) sedang shalat maka beliau melakukan shalat khauf. Namun, tidak lama kemudian Allah s.w.t. melemparkan rasa takut yang sangat dalam ke dalam hati musuh-musuh Rasūlullāh s.a.w. Akhirnya, musuh-musuh bercerai-berai karena takut terhadap Rasūlullāh s.a.w.

Imām al-Bukhārī cenderung berpegang kepada pendapat bahwa peperangan ini terjadi pada tahun ketujuh Hijriah, sedangkan para ahli sejarah sepakat dengan pendapat lainnya.

Perang Badar Terakhir

Saat bulan Sya‘bān tiba pada tahun ini, tiba pula janji Abū Sufyān. Sebab, setelah Perang Uhud selesai, ia berkata kepada kaum Muslimīn: “Janji kita untuk bertemu lagi adalah tahun depan di Badar.” Rasūlullāh s.a.w. pun menyanggupi tantangan itu.

Badar merupakan tempat diselenggarakannya pasar untuk jual-beli setiap tahun di bulan Sya‘bān. Di sana para pedagang akan tinggal selama delapan hari. Namun, ketika waktunya tiba, sementara orang-orang Quraisy dalam keadaan pailit, Abū Sufyān pun tidak dapat memenuhi janjinya. Oleh sebab itu, Abū Sufyān hendak menggagalkan kaum Muslimīn berangkat ke Badar agar ia tidak dicap sebagai orang yang menyelisihi janjinya. Ia pun mengupah Nu‘aim bin Mas‘ūd al-Asyjā‘ī agar pergi ke Madīnah untuk menakut-nakuti penduduknya dengan berita yang dibuat-buat bahwa Abū Sufyān telah mengumpulkan pasukannya dengan jumlah yang sangat besar. Setelah tiba di Madīnah, Nu‘aim berkata: sebagaimana disebutkan dalam surah Āli ‘Imrān:

Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka’, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: ‘Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung’.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 173)

Rasūlullāh s.a.w. tidak menghiraukan gertakan itu karena hanya bertawakal kepada Rabb-nya. Bahkan, Rasūlullāh s.a.w. berangkat dengan seribu lima ratus shahabat. Sebelum itu, Rasūlullāh s.a.w. mengangkat ‘Abdullāh bin ‘Abdillāh bin Ubay untuk memimpin Madīnah. Kemudian pasukan kaum Muslimīn berjalan menuju Badar. Setibanya di Badar, ternyata mereka tidak menjumpai seorang pun dari musuh-musuhnya. Hal itu terjadi karena Abū Sufyān menyarankan kepada kaum Quraisy untuk keluar dengan niat akan kembali ke Makkah sesudah melakukan perjalanan satu atau dua malam, dengan asumsi bahwa gertakan yang dibuat Nu‘aim berjalan efektif, sehingga pihak yang menyelisihi janji adalah kaum Muslimīn (bukan Abū Sufyān). Kemudian Abū Sufyān membawa pasukannya hingga di Majinnah, nama sebuah tempat yang sudah terkenal dengan pasarnya, terletak di daerah Marr az-Zhahrān. Sesampainya di Majinnah, Abū Sufyān berkata kepada kaumnya: “Sesungguhnya tahun ini adalah tahun paceklik, dan tidak layak bagi kita semua selain tahun yang subur. Maka kembalilah kalian semua.”

Karena tidak menjumpai pasukan musuh, kaum Muslimīn pun bermukim di Badar untuk melakukan jual-beli sehingga tidak ada orang lain di dalam perniagaan itu kecuali mereka. Hal ini diungkapkan oleh firman-Nya:

Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 174)

Setelah berita mengenai hal tersebut tersiar, Shafwān bin Umayyah berkata kepada Abū Sufyān: “Sungguh, aku telah mencegahmu untuk memulangkan kaum (pasukan Quraisy). Kini mereka berani terhadap kita karena mereka memandang bahwa kitalah yang mulai ingkar janji.”

Beberapa Peristiwa

Pada tahun ini, lahir al-Ḥusain bin ‘Alī, dan pada tahun ini pula, wafat Zainab binti Jaḥsy, Umm-ul-Mu’minīn r.a. Wafat pula Abū Salamah r.a., putra bibi Rasūlullāh s.a.w. (7810), dan sekaligus saudara sepersusuannya. Abū Salamah adalah salah seorang yang terdahulu melakukan hijrah ke Ḥabasyah. Pada tahun itu juga, Rasūlullāh s.a.w. menikahi Ummu Salamah, Hindun, setelah suaminya, Abū Salamah, wafat.

Catatan:

  1. 69). Ath-Thabaqāt, Ibnu Sa‘ad (2/68).
  2. 70). Di Qathn, yaitu nama sebuah bukit di Daerah bani Asad, arah timur laut Madīnah.
  3. 71). Daerah di dekat ‘Arafah.
  4. 72). Ar-Rajī‘ adalah nama sebuah mata air milik Bani Hudzail, terletak di antara kota Makkah dan ‘Asfan.
  5. 73). Keduanya ialah; Khubaib bin ‘Adī dan Zaid bin Ditsnah.
  6. 74). HR Al-Bukhārī (4089), lihat pula: Ath-Thabaqāt, Ibnu Sa‘ad (2/70-75).
  7. 75). Bi’ru Ma‘ūnah terletak di sebelah timur kota Madīnah, di antara daerah Bani ‘Āmir dan daerah Bani Salīm.
  8. 76). HR. al-Bukhārī (3989, 4086), dan ath-Thabaqāt, Ibnu Sa‘ad (2/75-78).
  9. 77). Zād-ul-Ma’ād (3/248), dan Jawāmi‘-us-Siyar, hlm. 144.
  10. 78). Yaitu Barrah binti ‘Abd-il-Muththalib.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *