Pada bulan Shafar, Rasūlullāh s.a.w. mengirim shahabat Ghālib bin ‘Abdullāh al-Laitsī ke Bani al-Mulawwiḥ, suatu kaum dari bangsa ‘Arab yang mendiami daerah al-Kadīd (1361). Berangkatlah Ghālib bin ‘Abdullāh bersama bala tentaranya. Ketika sampai di al-Kadīd mereka bertemu dengan al-Ḥārits bin Mālik al-Laitsī yang dikenal dengan nama julukan Ibn-ul-Barshā’. Dia adalah musuh besar lalu mereka menangkap dan menawannya. Al-Ḥārits berkata kepada mereka: “Aku datang hanya untuk Islam.” Mereka menjawab: “Bila engkau ini benar-benar seorang Muslim niscaya tidak akan membahayakan dirimu ikut berjaga semalam suntuk. Bila engkau tidak mau niscaya engkau akan kami ikat.”
Kemudian mereka meneruskan perjalanan hingga sampai di perkampungan orang Bani al-Mulawwiḥ, lalu menggiring ternak berupa unta dan kambing milik mereka. Para penggembalanya meminta tolong kepada kaumnya, lalu Bani al-Mulawwiḥ datang dengan jumlah yang sangat besar yang tidak diduga sama sekali oleh kaum Muslimīn. Namun, Allah s.w.t. menganugerahkan karunia-Nya kepada kaum Muslimīn pada saat itu. Allah mengirimkan banjir yang sangat besar. Banjir itu memisahkan kedua pasukan, yaitu antara kaum Muslimīn dan musuh mereka sehingga kaum Musyrikīn tidak mampu mengadakan serangan terhadap kaum Muslimīn. Mereka hanya bisa melihat kaum Muslimīn menggiring ternak milik mereka di seberang dan mereka sama sekali tidak mampu merebutnya karena terhalang oleh banjir besar yang memenuhi lembah.
Setelah Ghālib bin ‘Abdullāh kembali ke Madīnah dengan membawa kemenangan, Rasūlullāh s.a.w. mengirimnya kembali bersama dua ratus pasukan guna membalas apa yang telah dilakukan oleh Bani Murrah di Fadak. Bani Murrah adalah orang-orang yang telah mengalahkan sariyyah di bawah pimpinan Basyīr bin Sa‘ad. Kemudian mereka berangkat untuk menunaikan tugas ini. Ketika sudah dekat dari tempat yang dituju, Ghālib bin ‘Abdullāh berkhutbah kepada para pasukannya. Terlebih dahulu Ghālib memanjatkan puja dan puji kepada Allah s.w.t., lalu berkata:
“Amma ba‘du. Sesungguhnya aku berwasiat kepada kalian untuk bertaqwā kepada Allah s.w.t. semata, yang tiada sekutu bagi-Nya. Hendaknya kalian taat kepadaku, dan jangan sekali-kali kalian melanggar perintahku karena sesungguhnya pemimpin itu harus ditaati.”
Kemudian Ghālib bin ‘Abdullāh r.a. mempersaudarakan bala tentaranya dengan mengatakan: “Hai fulan, engkau bersaudara dengan si fulan; hai fulan engkau harus bersaudara dengan si fulan. Jangan sekali-kali seseorang berpisah dari saudaranya. Janganlah seseorang di antara kalian kembali sendirian lalu jika aku bertanya kepadanya ke manakah saudaramu? Lalu ia menjawab: “Tidak tahu”. Apabila aku bertakbīr maka bertakbīrlah kalian semuanya sebagai pertanda dimulainya serangan.”
Pada bulan Rabī-‘ul-Awwal, Rasūlullāh s.a.w. mengirim shahabat Ka‘ab bin ‘Umair al-Ghifārī ke Dzātu Athlāḥ—-termasuk wilayah Syām—-dengan membawahi lima belas pasukan. Ketika sampai di tempat tersebut, mereka menjumpai penduduknya banyak sekali. Lalu Ka‘ab bin ‘Umair menyeru mereka untuk masuk Islam, tetapi mereka tidak mau. Akhirnya, terjadilah pertempuran di antara kedua belah pihak, sedangkan jumlah musuh sangat banyak. Dalam pertempuran itu, seluruh kaum Muslimīn gugur sebagai syuhadā’ kecuali pemimpin mereka, Ka‘ab bin ‘Umair karena dapat meloloskan diri.
Kemudian Ka‘ab bin ‘Umair melaporkan kejadian tersebut kepada Rasūlullāh s.a.w. Mendengar berita itu, Rasūlullāh s.a.w. sangat sedih. Beliau s.a.w. bermaksud mengirimkan pasukan untuk mengadakan pembalasan terhadap mereka, tetapi ada suatu berita yang mengatakan bahwa mereka telah berpindah tempat dan tidak diketahui ke mana. Akhirnya, Rasūlullāh s.a.w. mengurungkan niatnya.
Pada bulan Jumād-il-Awwal tahun ketujuh hijrah, Rasūlullāh s.a.w. mempersiapkan bala tentaranya untuk mengadakan pembalasan terhadap orang-orang yang telah membunuh al-Ḥārits bin ‘Umair al-Azadī yang diutus untuk mengantarkan surat beliau kepada Penguasa Busrā. Rasūlullāh s.a.w. mengangkat Zaid bin Ḥāritsah sebagai pemimpin mereka, dan beliau s.a.w. berpesan: “Apabila ia (Zaid bin Ḥāritsah) gugur maka penggantinya adalah Ja‘far bin Abī Thālib, dan jika ia (Ja‘far) gugur maka penggantinya adalah ‘Abdullāh bin Rawāḥah.”
Jumlah pasukan kaum Muslimīn adalah tiga ribu orang. Mereka berangkat dilepas oleh Rasūlullāh s.a.w. sendiri. Di antara pesan Rasūlullāh s.a.w. kepada mereka ialah seperti berikut ini:
“Berperanglah kalian dengan nama Allah! Perangilah musuh Allah dan musuh kalian di negeri Syām itu. Di sana kalian akan menjumpai kaum laki-laki di dalam Shawāmi‘ (tempat peribadahan) mereka untuk mengasingkan diri. Karena itu, janganlah kalian mengganggu mereka dan jangan kalian membunuh wanita, anak-anak kecil, dan orang-orang yang sudah tua renta; dan janganlah kalian menebang pohon dan jangan pula merubuhkan bangunan.”
Kemudian pasukan kaum Muslimīn melakukan perjalanan hingga sampai di Mu’tah tempat dibunuhnya shahabat al-Ḥārits bin ‘Umair. Di tempat itu, kaum Muslimīn bertemu dengan orang-orang Romawi yang telah mempersiapkan pasukannya dengan jumlah yang sangat besar. (1372) Di antara mereka terdapat orang-orang ‘Arab yang telah memeluk agama Nashrānī. Pasukan kaum Muslimīn bermusyāwarah di antara sesama mereka tentang apa yang harus mereka perbuat dalam menghadapi pasukan musuh yang demikian besar itu. Apakah mereka harus mengirimkan berita kepada Rasūlullāh s.a.w. untuk meminta bantuan, atau mereka tetap maju ke medan peperangan.
Shahabat ‘Abdullāh bin Rawāḥah berkata: “Hai kaum, demi Allah, sesungguhnya hal yang kalian benci adalah apa (peperangan) yang kalian berangkat karenanya. Kalian berangkat mencari syahādah (mati syahīd), dan kita tidak berperang karena jumlah, kekuatan, dan bukan pula karena banyak jumlah kita. Kita berperang hanya karena (membela) agama yang dengannya Allah s.w.t. telah memuliakan kita. Hanya ada satu dari dua kebaikan: menang atau mati syahīd!”
Maka orang-orang pun mengatakan: “Demi Allah, benarlah (‘Abdullāh) bin Rawāḥah.” Lalu mereka maju untuk berperang. Mereka menghadapi bala tentara yang sangat besar. Maka bertempurlah shahabat Zaid bin Ḥāritsah hingga gugur sebagai syahīd. Lalu panji peperangan diambil oleh shahabat Ja‘far bin Abī Thālib r.a. seraya berkata:
Aduhai surga yang kini sudah dekat
Ia begitu indah dan sejuk minumannya
Orang-orang Romawi kini sudah dekat masa ‘adzābnya
Mereka kafir lagi jauh nasabnya
Aku harus memukul mereka saat bertemu mereka
Shahabat Ja‘far bin Abī Thālib pun terus berperang hingga gugur sebagai syahīd. Kemudian ‘Abdullāh bin Rawāḥah r.a. mengambil alih panji peperangan. Ia pun maju, tetapi agak ragu. Maka ia berkata kepada dirinya sendiri:
(mereka adalah Kristen ‘Arab) yang juga mencapai 100 ribu pasukan.
Aku bersumpah, majulah engkau wahai diri
Turutilah perintahku atau aku akan memaksamu maju
Engkau harus maju pantang mundur
Aku kira engkau tidak akan membenci surga
Yang selama ini engkau tunggu-tunggu
Bukankah engkau hanya berasal dari air mani?
Kemudian ia maju terus menyerang musuh dengan kudanya. Ia terus bertempur hingga gugur sebagai syahīd. Ketika itu, sebagian pasukan kaum Muslimīn bermaksud mundur, tetapi shahabat ‘Uqbah bin ‘Āmir berkata: “Hai kaum, pasukan yang gugur dalam keadaan maju itu lebih baik daripada gugur dalam keadaan mundur!” Akhirnya, bala tentara kaum Muslimīn bersiap-siap lagi untuk maju. Kemudian mereka sepakat untuk mengangkat seseorang yang terkenal berani lagi gagah yaitu shahabat Khālid bin al-Wālid sebagai panglima mereka. Berkat pengalaman dan keahliannya, Khālid berhasil menyatukan kembali tekad pasukan kaum Muslimīn sehingga mereka tidak kocar-kacir. Sebab, apa yang bisa dilakukan tiga ribu pasukan melawan seratus lima puluh ribu pasukan?
Ketika shahabat Khālid bin al-Wālid memegang tampuk pimpinan kaum Muslimīn, pada hari itu juga ia bertempur dengan gigihnya. Pada keesokan harinya, ia mengubah strategi pasukan kaum Muslimīn. Ia memindahkan barisan tengah menjadi di depan dan barisan-barisan yang tadinya di depan menjadi di belakang. Sayap kanan diubah untuk menempati sayap kiri, sedangkan sayap kiri ditempatkan di sayap kanan. Siasatnya ini ternyata berhasil membuat gentar pasukan musuh karena mereka mengira bahwa bala bantuan kaum Muslimīn telah datang.
Kemudian shahabat Khālid al-Wālid membawa mundur pasukannya sehingga sampai di Mu’tah. Di tempat tersebut, kaum Muslimīn berperang melawan musuhnya selama tujuh hari. Setelah itu, kedua belah pihak menghentikan serangan karena orang-orang kafir menduga bahwa bala bantuan kaum Muslimīn kini datang berbondong-bondong. Mereka kini merasa gentar karena khawatir kaum Muslimīn menjebaknya ke padang pasir sehingga mereka tidak dapat melarikan diri lagi bilamana terpukul mundur. Dengan demikian berhentilah peperangan itu.
Sementara itu, Rasūlullāh s.a.w. telah mengabarkan gugurnya Zaid, Ja‘far, dan Ibnu Rawāḥah kepada kaum Muslimīn sebelum kabarnya sampai kepada mereka. Beliau s.a.w. menceritakan keadaan medan pertempuran: “Panji peperangan dipegang oleh Zaid, lalu ia gugur. Kemudian panji peperangan diambil oleh Ja‘far lalu ia gugur. Kemudian panji peperangan diambil oleh Ibnu Rawahah, dan ia pun gugur.” Pada saat menceritakan itu kedua mata Rasūlullāh s.a.w. berlinang air mata. Kemudian beliau meneruskan kisahnya: “Akhirnya, panji peperangan dipegang oleh salah satu pedang dari pedang-pedang Allah hingga Allah memenangkan kaum Muslimīn.” (1383)
Pada saat itu, datanglah seorang laki-laki dan langsung berkata: “Wahai Rasūlullāh, istri-istri Ja‘far menangis.” Rasūlullāh memerintahkan dia agar mencegah mereka menangis. Lalu laki-laki itu berangkat, tetapi tidak lama kemudian ia kembali lagi dan berkata: “Saya telah mencegah mereka, tetapi mereka tidak mau juga berhenti.” Rasūlullāh s.a.w. memerintahkannya supaya pergi lagi kepada mereka untuk kedua kalinya. Namun, ia datang lagi seraya berkata: “Demi Allah, kami tidak mampu menghadapi mereka.” Rasūlullāh s.a.w. berkata kepadanya: “Kalau begitu taburkanlah debu ke mulut mereka.”
Ketika pasukan itu tiba di Madīnah, kaum Muslimīn menyambut kedatangan mereka seraya mengatakan: “Hai orang-orang yang lari.” Tapi Rasūlullāh s.a.w. langsung memotong perkataan mereka: “Mereka adalah orang-orang yang akan kembali maju berperang.” Kaum Muslimīn yang tinggal di Madīnah menduga bahwa mundurnya Khālid bersama dengan pasukannya merupakan kekalahan. Namun, kemudian Rasūlullāh s.a.w. memberikan pengertian kepada mereka bahwa hal tersebut merupakan salah satu strategi dalam perang. Rasūlullāh s.a.w. memuji tindakan yang telah diambil oleh Khālid itu. (1394)
Pada bulan Jumād-il-Ākhir, Rasūlullāh s.a.w. mendengar berita bahwa sekelompok orang Qudhā‘ah telah menghimpun kekuatan di wilayah mereka, yaitu di belakang Wādī-l-Qurā’ dengan tujuan menyerang Madīnah. Rasūlullāh s.a.w. mengirimkan shahabat ‘Amr bin ‘Āsh bersama tiga ratus orang pasukan yang terdiri dari kaum Muhājirīn untuk menyerang mereka terlebih dahulu. Kemudian Rasūlullāh s.a.w. mendukung mereka dengan pasukan di bawah pimpinan ‘Ubaidah bin al-Jarrāḥ sejumlah dua ratus orang dari kaum Muhājirīn dan Anshār, termasuk Abū Bakar dan ‘Umar. Lalu mereka menyusul pasukan yang dipimpin oleh ‘Amr sebelum sampai ke tempat tujuan.
Pada saat itu, ada sebagian dari pasukan kaum Muslimīn yang ingin menyalakan api, tetapi dicegah oleh ‘Amr. Namun, shahabat ‘Umar tidak mau menerima larangan itu. Berkatalah shahabat Abū Bakar: “Sesungguhnya ia telah diangkat oleh Rasūlullāh s.a.w. untuk menjadi pemimpin kita karena pengetahuannya dalam hal peperangan jauh lebih banyak daripada kita. Oleh sebab itu, janganlah engkau menentangnya.” Barulah shahabat ‘Umar mau menaatinya.
Ketika kaum Muslimīn sampai di tempat musuh dan langsung menyerang, hanya dalam beberapa saat, musuh telah kocar-kacir dan melarikan diri. Kemudian kaum Muslimīn mengumpulkan ghanīmah. Ketika mereka bermaksud hendak mengejar musuh dicegah oleh pemimpin mereka. Kemudian pasukan kaum Muslimīn kembali ke Madīnah dengan kemenangan dan memperoleh ghanīmah. Namun, sewaktu mereka sedang beristirahat, pada malam yang sangat dingin, shahabat ‘Amr bin al-‘Āsh mengalami jinābah.
Pada keesokan harinya, dia berkata: “Sesungguhnya jika aku mandi niscaya aku akan binasa karena kedinginan, sedangkan Allah s.w.t. telah berfirman:
“Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri kedalam kebinasaan.” (Al-Baqarah: 195)
Kemudian shahabat ‘Amr bin al-‘Āsh hanya bertayamum, lalu mengerjakan shalat. Selanjutnya, ‘Amr memerintahkan pasukannya untuk meneruskan perjalanan. Ketika sampai di Madīnah, mereka disambut oleh Rasūlullāh s.a.w. Sebagaimana biasanya, Rasūlullāh s.a.w. menanyakan pengalaman yang mereka peroleh dalam perjalanannya. Lalu orang-orang menceritakan kepada beliau semua yang tidak mereka sukai dari ‘Amr bin al-‘Āsh, yaitu ketika ‘Amr melarang mereka menyalakan api, mengejar musuh, serta melakukan shalat dalam keadaan jinābah (hanya tayammum).
Lalu Nabi s.a.w. menanyakan hal tersebut kepada ‘Amr. Lalu ‘Amr menjawab: “Aku sengaja mencegah mereka menyalakan api (padahal malam dingin sekali) supaya musuh tidak melihat jumlah mereka yang sedikit itu. Jika musuh dapat melihat keadaan mereka, maka musuh akan tambah berani. Sengaja pula aku mencegah mereka mengejar musuh yang kalah supaya mereka tidak terkena jebakan musuh. Kemudian sengaja pula aku melakukan shalat dalam keadaan junub karena Allah s.w.t. telah berfirman: “Dan janganlah kalian menjatuhkan diri sendiri ke dalam kebinasaan”. (al-Baqarah: 195). Sebab, apabila aku mandi niscaya aku binasa karena kedinginan.” Setelah mendengar jawaban ‘Amr, Rasūlullāh s.a.w. tersenyum lalu memuji tindakan yang telah diambilnya itu. (1405)
Pada bulan Rajab, Rasūlullāh s.a.w. mengutus shahabat Abū ‘Ubaidah; ‘Āmir bin al-Jarrāḥ bersama 300 pasukan berkuda untuk menyerang kabilah Juhainah yang mendiami daerah pantai. Rasūlullāh s.a.w. membekali pasukan ini dengan beberapa karung kurma.
Berangkatlah pasukan kaum Muslimīn ini hingga sampai di daerah pantai. Mereka tinggal di sana selama setengah bulan menunggu kedatangan musuh, sedangkan perbekalangan makanan yang mereka bawa semuanya sudah habis. Mereka terpaksa memakan daun-daunan yang ada hingga bibir mereka pecah-pecah. Sebelum dimakan, terlebih dahulu mereka membasahi daun-daunan itu dengan air.
Di dalam barisan kaum Muslimīn terdapat seorang yang dermawan dan anak seorang yang dermawan pula, yaitu Qais bin ‘Ubaidah. Qais menyembelih tiga ekor unta untuk mereka; setiap hari disembelih seekor. Pada hari yang keempat, ketika Qais bermaksud menyembelih untanya yang keempat, Abū ‘Ubaidah, pemimpinnya, melarang melakukannya karena Abū ‘Ubaidah mengetahui bahwa Qais mengambil unta-unta itu secara utang dari ayahnya sehingga ia khawatir Qais tidak mampu membayar utang kepada ayahnya. Namun, Qais berkata: “Tidakkah engkau melihat bahwa Sa‘ad (ayahnya) mau membayar utang-utang orang-orang, dan ia mau memberi makan dalam musim paceklik, lalu apakah ia tega menagih utang yang aku pinjam dari padanya untuk memberi makan kaum Mujahidin di jalan Allah?”
Setelah pasukan kaum Muslimīn putus harapan dapat bertemu dengan musuh, mereka kembali ke Madīnah. Sesampainya di Madīnah, Qais berkata kepada ayahnya, Sa‘ad: “Aku berada di dalam barisan pasukan, lalu mereka kelaparan.” Sa‘ad menjawab: “Kalau demikian, sembelihlah untaku.” Qais berkata: “Aku telah menyembelihnya, tetapi mereka lapar lagi.” Sa‘ad menjawab: “Mengapa engkau tidak sembelihkan lagi?” Qais menjawab: “Aku telah melakukannya, tetapi mereka masih lapar juga, dan ketika aku menyembelih yang keempat, aku dilarang melakukannya lagi.”